Special for your loving life...

...Do the best for our life...

Sunday 20 February 2011

Weak States and International Legitimacy

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, weak states merupakan kondisi pemerintahan yang lemah, ketidakberdayaan institusi dalam sebuah negara menjasi satu masalah serius dalam level internasional pada saat ketidakstabilan di dalamnya mulai merongrong sistem internal-eksternal yang dimilikinya. Dan akhirnya berujung pada munculnya weak atau failing state yang menjadi masalah paling penting dalam international order, khususnya di era pasca Perang Dingin. Pada tahap selanjutnya, masalah yang dihadapi mulai muncul, khususnya dalam keadaan seperti itu. Dan ini mulai memunculkan pertanyaan krusial, siapakah kemudian yang berhak atau memiliki legitimasi untuk menyelesaikan masalah yang ada dalam negara tersebut. Pemerintah di dalamnya bahkan sudah tidak memiliki legitimasi untuk itu. Kedaulatan negara lain apalagi.

Sebuah negara diidentifikasi lemah ketika kemampuan untuk penyediaan political goods sudah tidak ada. Berbeda dengan negara kuat yang bercirikan adanya demokrasi, legitimasi, dan sovereignity, hingga ketiganya bisa menghasilkan self defence bagi suatu negara yang bersangkutan. Di lain pihak, lemahnya sebuah negara mungkin bukan semata karena secara alamiah lemah namun karena problem manajemen sumber daya. Oleh karena itu negara lemah (weak state) seringkali diwarnai dengan konflik etnis dan religious, urban crimes, infrastruktur terbengkalai, sekolah dan rumah sakit diabaikan, GDP per capita menurun, korupsi, dan sebagainya. Sejak pasca Perang Dingin, banyak contoh kasus yang masuk dalam kondisi ini, diantaranya beberapa contoh kasus lemahnya pemerintahan negara hingga melibatkan pihak internasional antara lain: Somalia, Haiti, Kamboja, Bosnia, Kosovo, Rwanda, Liberia. Sierra Leon, Kongo, Timor Timur. Komunitas internasional dikerahkan untuk berusaha meredamkan konflik yang terjadi di negara-negara tersebut. Di sisi yang lain, jika dalam negara lemah konflik cenderung horizontal tanpa mengancam penguasa, maka dalam kasus negara gagal konflik yang terjadi berorientasi vertikal dan mengancam penguasa (status quo). Oleh karena itulah, yang terjadi di Zaire, Sierra Leone, Nigeria, dan Somalia adalah kasus failed states, karena yang terjadi adalah perebutan kekuasaan politik.

Sementara itu, ada pula kasus yang lebih spsifik, yaitu goyahnya konstelasi nasional atau domestik yang dialami oleh Kamboja dan Myanmar. Hal ini dapat ditinjau dari situasi dimana Kamboja menyadari adanya kemungkinan matinya negaranya saat konflik, berbeda dengan Myanmar, Kamboja bersikap terbuka terhadap intervensi asing dalam resolusi konflik negara tersebut. Pihak luar yang berinisiatif untuk ikut berusaha menyelesaikan konflik yang ada sdilakukan oleh intervensi ASEAN terhadap konflik di Kamboja. Sedangkan, di Myanmar sendiri, karena sikapnya yang tidak menginginkan intervensi asing dalam konflik negaranya, sangat susah untuk ikut menyelesaikan konflik yang terjadi. Akibatnya, konflik di Myanmar terus berlangsung dalam waktu yang lama.

Kesimpulan yang dapat diperoleh adalah bahwa keberhasilan suatu legitimasi internasional bergantung pada seberapa kuat kedaulatan yang ada dalam suatu negara yang bersangkutan. Semakin lemah kedaulatan yang ada dalam suatu negara, contohnya Kamboja, maka pihak asing dapat dengan mudah masuk dan intervensi dunia luar pun tidak akan mengalami kesulitan. Sedangkan di Myanmar, kedaulatan pemerintah masih cukup kuat, yang mana pemerintahannya lebih memilih mengisolasi negara dari dunia luar, sehingga intervensi pun slit dilakukan.

Referensi.

Anon. Weak States and International Legitimacy

Rotberg, Robert I.. 2002. “Failed States, Collapsed States, Weak States: Causes and Indicators”

No comments:

Post a Comment