Special for your loving life...

...Do the best for our life...

Wednesday 9 December 2009

Paradigma dalam Penelitian Ilmiah

Abstraksi.

Sebuah tinjauan teoritis sangat diperlukan untuk digunakan sebagai landasan dalam mengadakan sebuah penelitian ilmiah. Keberadaannya dapat memberikan sebuah jalur atau arahan dalam alur sebuah pemikiran atau perspektif terhadap fokus dan pandangan secara teori bagaimana dan dari mana penelitian atau karya ilmiah itu diperoleh dan diwujudkan. Dari alasan inilah, munculnya pemahaman tentang definisi positivisme, relativisme, dan rekonsialisme sampai dengan pengertian deduktif-induktif diperlukan dalam sebuah kajian karya ilmiah. Beberapa paradigma tersebut secara berkesinambungan memberi pengaruh dan memposisikan sebuah penelitian atau karya ilmiah dapat menjelaskan dan dijelaskan secara teoritis sekaligus membawa pemahaman lebih lugas tentang isi yang ada di dalamnya.

Kata Kunci: positivisme, relativisme, rekonsialisme, deduktif, induktif


Dalam menyusun sebuah penelitian, di dalam ranah ini, kita akan dihadapkan kepada beberapa jenis filsafat atau paradigma penelitian yang dapat digunakan sebagai sebuah landasan demi fokusnya sebuah karya ilmiah terhadap sudut pandang tertentu. Paradigma pertama adalah positivisme. Berawal dari pemikiran Aguste Comte yang menginginkan diterapkannya kaidah-kaidah empiris dan ilmiah dalam setiap aspek penelitian dalam ilmu sosial sehingga dihasilkan sebuah kaidah-kaidah hukum umum (ilmiah/abstrak) mengenai perilaku manusia. Dari kaidah hukum umum tersebut dapat dijadikan dasar eksplanasi yang memiliki objektifitas berdasarkan pada fakta empiris dan terpisah dari asumsi-asumsi nilai (subjektifitas) belaka. Comte menganggap manusia memiliki daya nalar yang dapat dijadikan sebagai pondasi dalam menemukan pengetahuan tentang dunianya.[1] Oleh sebab itu, menurut Comte, sarana yang dapat dilakukan untuk melakukan kajian ilmiah ialah: pengamatan, perbandingan, eksperimen, dan metode historis. Positivisme tidak mempertentangkan antara logika induktif atau deduktif, melainkan lebih menekankan fakta empiris yang menjadi sumber teori dan penemuan ilmiah yang lebih menekankan pada pembahasan singkat dan menolak pembahasan deskripsi yang panjang dan bertele-tele seperti halnya sebuah cerita yang deskriptif.[2] Dari dasar inilah yang kemudian membuat inti dari positivisme adalah berusaha memformulasikan hukum ilmiah dalam ilmu sosial seperti halnya ilmu eksakta.[3] Positivisme menganggap bahwa dalam menganalisis dan menjelaskan sebuah peristiwa atau fenomena harus didasarkan pada fakta itu sendiri dengan menimbang data-data yang telah didapat, bukan berdasar pada pertimbangan nilai yang ada. Pertimbangan nilai akan berdampak pada semakin menjauhkan makna realitas itu sendiri secara alamiah, selain bahwa nilai-nilai tersebut tidak dapat dijelaskan secara ilmiah, setidaknya menurut pemikiran positivis.[4] Di dalam ruang positivisme, pengumpulan data empiris yang signifikan merupakan proses penting yang kemudian berguna untuk pengukuran, klasifikasi, generalisasi, sampai akhirnya perumusan hipotesis, dan pengajuan dan/atau pengujian sebuah teori. Melalui titik ini segala sesuatu yang terdapat dalam dunia sosial dapat diukur dengan menggunakan metodologi ilmiah. Pada akhirnya, verifikasi merupakan hal yang tak terpisah dalam proses ilmiah sebagai wujud menuju kebenaran, dimana kebenaran tersebut diperoleh dari fakta empiris. Dengan demikian, kebenaran yang dihasilkan dari fakta empiris bersifat holistik dan probalistik.[5] Setidaknya terdapat beberapa sifat dasar yang melekat erat dalam ilmu sosial menurut kaum positivis, diantaranya regularitas, teknik, verifikasi, bebas nilai, sistematisasi, ilmu murni, kuantifikasi, dan integrasi.[6]


Paradigma kedua adalah relativisme. Paradigma ini merupakan lawan dari positivisme. Poin utama dari pandangan ini dalam lingkupanya sebagai salah satu sudut pandang dalam penelitian ilmiah meyatakan bahwa realitas atau fakta sosial dapat diinterpretasikan secara berbeda berdasarkan pengalaman dan sudut pandang (persepsi) kita, sehingga dalam setiap aspek kehidupan memiliki tingkat kebenaran yang relatif terbatas pada bagaimana kita menafsirkan atau menginterpretasikan fakta sosial tersebut. Dinamika yang terjadi dalam ruang keilmuan menunjukkan bahwa persepsi, sikap, dan tingkah laku, serta kepercayaan masayarakat telah berubah. Sehingga dinamika tersebut terjadi bukan karena dunia itu berubah dengan sendirinya. Untuk itu, pengetahuan yang kita peroleh tidak seutuhnya secara definitif mendeskripsikan realitas tersebut, karena pemahaman dan pemaknaan akan realitas (external reality), menurut relativist, sangatlah individual (uniquely individual). Selain itu, tak selamanya apa yang kita lihat seperti apa adanya. Terkadang keyakinan kita akan sesuatu dapat mengelabui pemahaman dan pemaknaan kita. Relativist menganggap bahwa kita memerlukan sebuah formula murni (neat formula)[7] yang dapat memahami dan menjelaskan fenomena yang begitu tidak sesederhana dengan apa yang kita pikirkan. Dari situ jelas bahwa relativist menolak adanya generalisasi sesuatu, terlebih membuat prediksi dari generalisasi tersebut walaupun menggunakan kondisi yang sama.[8] Metode scientific, bagi relativist belum bisa menjembatani inkonsistensi, konflik, kepercayaan, gagasan, dan perasaan yang terdapat dalam realitas sosial. Terlebih apa yang dinamakan scientific research, belum bisa menggeser posisi pola pikir masyarakat mengenai kepercayaan mereka akan realitas di dunia ini. Keyakinan bahwa bumi adalah pusat alam semesta menjadi paradigma berpikir dan mindset masyarakat kala itu.[9] Usaha-usaha scientific yang dilakukan kaum positivis dapat juga terdistorsi oleh kepentingan diluar cara scientific tersebut.[10] Nampaknya, relativisme tetap mengindahkan not free value dalam menafsirkan dan menjelaskan realitas/fakta sosial. Hal mendasar bagi relativisme adalah bagaimana kita bisa menafsirkan makna dan perasaan seseorang (fakta sosial) ketika kita bukan bagian dari tatanan masyarakat setempat yang memiliki tata nilai yang beda.


Yang ketiga adalah paradigma rekonsiliasionisme. Pada dasarnya rekonsialist beranggapan bahwa kita dapat mengetahui sesuatu dengan derajat kebenaran yang pasti dan oleh karena itu dimungkinkan membuat prediksi berdasarkan pengetahuan yang telah diperoleh. Namun, kita tidak boleh meniadakan “kekurangan” (complications and failings) yang terdapat dalam kapasitas manusia untuk memperoleh kebenaran pasti dan prediksi. Oleh sebab itu, rekonsiliasianisme sering dianggap sebagai ‘jalan tengah’ yang menjembatani antara teori positivisme dan relativisme. Seperti yang diungkapkan oleh Roy Bhaskar yang menyatakan bahwa dalam dunia scientific, terdapat formasi strata yang menunjukkan adanya derajat penyelidikan scientific secara keseluruhan, dimana setiap tingkatan (layer) scientific akan melengkapi pondasi scientific yang lain sehingga lebih kompleks. Sehingga tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan hukum-hukum ilmiah bidang studi tertentu untuk diterapkan dalam bidang studi lainnya, dengan catatan bahwa setiap bidang studi tentunya memiliki hukum tersendiri yang lebih “unik” dari bidang studi yang lain.[11] Atas dasar hal tersebut, maka rekonsialist berpandangan, dalam dunia keilmuan pasti terdapat kesalingterhubungan yang kompleks dimana ilmu yang satu dapat “menunjang” pondasi ilmu yang lainnya. Oleh karena itu, penjelasan rekonsialist sering disebut juga sistem stratifikasi ilmu.


Selain ketiga perspektif di atas, terdapat pula pola deduktif-induktif yang membawa sudut pandang tersendiri dalam penelitian ilmiah. Di dalam konsep deduktif, kita diarahkan pada model berpikir untuk menarik kesimpulan dari pernyataan umum menjadi pernyataan yang lebih khusus. Yang dimaksud pernyataan umum disini adalah teori-teori yang sudah mapan. Dasar penarikan tersebut menggunakan penalaran rasio. Artinya, tidak perlu dibuktikan secara fakta, cukup dengan menggunakan akal sehat atau teori, postulat, atau anggapan dasar yang sudah ada. Penggunaan pola berpikir deduktif dalam penelitian adalah untuk merumuskan atau menentukan masalah penelitian serta untuk meramalkan kemungkinan jawaban pemecahan masalah. Inti dari suatu penelitian ilmiah adalah harus berdasar pada nilai keilmuan, sehingga permasalahan yang dibahas, dan penyelesaiannya harus berdasarkan nilai keilmuan. Disinilah deduktif menjadi penting.


Sedangkan induktif, tidak lain adalah lawan dari deduktif yang mengusung konsep menarik kesimpulan dari pernyataan khusus ke pernyataan umum. Pernyataan khusus tidak lain adalah gejala, fakta, data, informasi dari lapangan dan bukanlah teori. Jika data atau fakta dari berbagai gejala menunjukkan kesamaan tertentu, dari kesamaan tersebut dapat ditarik kesimpulan atau generalisasi. Fungsi dari pemikiran induktif sama dengan deduktif yakni untuk merumuskan masalah dan menduga alternatif jawaban terhadap suatu masalah. Hanya bedanya, berpikir deduktif menggunakan rasio atau logika, sedangkan berpikir induktif menggunakan fakta atau data lapangan. Keduanya pun dapat saling berhubungan. Hal ini dikarenakan dugaan jawaban yang didasarkan dengan penalaran atau logika dibuktikan dengan data atau fakta yang diperoleh di lapangan. Dalam suatu penelitian, menentukan jawaban atas dasar kajian teori atau berpikir rasional disebut hipotesis. Dan hipotesis perlu diuji melalui data atau gejala lapangan yang berhasil diperoleh.


Dari ketiga paradigma yang telah dijelaskan sebelumnya, menurut penelaahan saya, satu paradigma yang cocok dengan penelitian kita sebagai mahasiswa yang berkecimpung dalam urusan yang fokusnya lebih kepada bidang sosial-politik adalah paradigma rekonsilialisme. Alasan utama dari pilihan ini bukannya saya hanya sekedar mencari jalan aman dan menghindari perdebatan dari dua paradigma yang berlawanan lainnya, tetapi lebih cenderung kepada usaha untuk mencari hasil yang maksimal dari penelitian saya tersebut. Sistem rekonsilialisme yang lebih menekankan pada pengetahuan terhadap sesuatu dengan derajat kebenaran yang pasti dan dimungkinkan membuat prediksi berdasarkan pengetahuan yang telah diperoleh tanpa meniadakan “kekurangan” (complications and failings) yang terdapat dalam kapasitas manusia untuk memperoleh kebenaran pasti dan prediksi, menurut saya lebih cocok digunakan sebagai landasan dasar penelitian kita terhadap aspek-aspek sosial yang cenderung lebih dinamis. Selain itu, dengan penggunaan rekonslialisme sebagai ‘jalan tengah’, dimungkinkan bagi kita untuk benar-benar dapat melihat sesuatu dari sudut pandang berbeda secara bersamaan dengan maksud mendapatkan poin utama dari penelitian kita agar bisa diterima dan dipahami oleh semua kalangan.


Sumber.

Varma, S.P., Teori Politik Modern, terj, Yohanes Kristiarto SL, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007

Smith, Steve; Booth, Ken; and Zalewski, Marysia, International Theory: Positivism and Beyond, Cambridge: Cambridge University Press, 1997

Ritzer, Georg & Goodman, Douglas J., Teori Sosiologi Modern, terj, Alimandan, Kencana, Jakarta, 2003

Jackson, Robert & Sorensen, Georg, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar, Jakarta, 1998

Widoyoko, S. Eko Putro, Analisis Kualitatif dalam Penelitian Sosial, 2008, bisa diakses di http://www.umpwr.ac.id/publikasi/13/analisis-kualitatif-dalam-penelitian-sosial (tanggal 13 September 2009)

Indro, Nur P.Y., ‘Karakter Interdisipliner-Diagonal Ilmu Hubungan Internasional’, Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu, dan Metodologi, Yulius P. Hermawan (ed), Graha Ilmu, Yogyakarta, 2007

Walliman, Nicholas S. R., Your Undergraduate Dissertations: The Essential Guide for Success, Sage, London, 2000




[1] Hal ini telah mempengaruhi pembedaan antara das sein dan das sollen, seperti yang diungkapkan Arnold Kitz bahwa sesuatu ada bukan berarti seharusnya ada, tapi lebih pada sesuatu tersebut pernah dan/atau akan ada. Untuk lebih jelasnya, lihat S.P. Varma dalam Teori Politik Modern, terj, Yohanes Kristiarto SL, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal.119-120

[2] Lihat Steve Smith, Ken Booth,and Marysia Zalewski, International Theory: Positivism and Beyond, Cambridge: Cambridge University Press, 1997

[3] Oleh karena itu, Jonathan Turner menyatakan bahwa “semesta sosial menerima perkembangan hukum-hukum abstrak yang dapat diuji melalui pengumpulan data yang hati-hati” dan “hukum abstrak itu dapat menunjukkan kandungan mendasar dan umum dari semesta sosial, dan akan menspesifikasikan ‘relasi naturalnya’.” Kajian lebih lanjut bisa dilihat di dalam karya Georg Ritzer & Douglas J. Goodman dalam Teori Sosiologi Modern, terj, Alimandan, Kencana, Jakarta, 2003, hal.20

[4] Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa positivisme bersifat scientific. Untuk lebih jelasnya, lihat Robert Jackson & Georg Sorensen dalam Pengantar Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar, Jakarta, 1998, hal.60

[5] Lihat karya S. Eko Putro Widoyoko dalam Analisis Kualitatif dalam Penelitian Sosial, 2008, yang bisa diakses di

http://www.um-pwr.ac.id/publikasi/13/analisis-kualitatif-dalam-penelitian-sosial (diakses pada tanggal 13 September 2009)

[6] Nur P.Y. Indro, ‘Karakter interdisipliner-diagonal ilmu hubungan internasional,’ dalam Transformasi dalam studi hubungan internasional: aktor, isu, dan metodologi, Yulius P. Hermawan (ed), Graha Ilmu, Yogyakarta, 2007.

[7] Neat formula diperlukan untuk menghindari simplifikasi dan/atau oversimplifikasi yang “sering” dilakukan positivist.

[8] Lihat karya Nicholas S. R. Walliman, Your Undergraduate Dissertations: The Essential Guide for Success, Sage, London, 2005, p. 55-57

[9] Walaupun terdapat gagasan yang menentang paradigma tersebut, seperti yang diajukan Galileo Galilei.

[10] Ibid., p. 57

[11] Opcit., p. 58

2 comments: