Special for your loving life...

...Do the best for our life...

Showing posts with label Write Wrote Written for Writer. Show all posts
Showing posts with label Write Wrote Written for Writer. Show all posts

Wednesday, 18 August 2010

Minor Atas Nama Perbedaan

Saat manusia terhubung satu sama lain, itu lah tanda dimana perbedaan mulai mencuat ke permukaan. Tak ada sesuatu yang sama dalam kehidupan ini. Mereka yang kembar identik pun memiliki beberapa sisi yang mungkin kasat mata dan di situ lah nilai perbedaannya. Perbedaan dari apa yang dimiliki manusia merupakan performa mereka dalam meneguhkan eksistensinya sebagai manusia. Manusia dengan latar belakang yang berbeda dan menciptakan sesuatu yang berbeda pula. Dari sini kita bisa mengambil benang merah bahwa perbedaan membuat manusia semakin paham akan keberadaan alam yang harus dibentuk dengan sebuah titik balik perbedaan itu sendiri. Melengkungnya pelangi di langit setelah hujan reda, tak akan disebut pelangi kalau warnanya sama. Tubuh kita juga akan melemah dan mati saat makanan yang kita asup hanya satu nutrisi saja. Di situ lah kita mengenal kekuasaan Tuhan yang bisa menciptakan perbedaan sehingga menjadi sebuah komposisi terlegalitas tanpa dusta bagi ciptaan-Nya sendiri. Satu kalimat: Kita tak bisa memungkiri itu. Lantas, di kala perbedaan menjadi suatu bumerang bagi manusia sendiri untuk menegaskan, sekali lagi, menegaskan dirinya sebagai khalifah di dunia. Haruskan konsep perbedaan yang disalahkan? Bukannya manusia memiliki egoisitas dan ideosinkretis yang berbeda, hingga mereka paham mereka memiliki itu untuk menciptakan sebuah perbedaan. Sesekali boleh lah kita mengatakan perbedaan itu membawa noktah hitam, tapi akankah noktah itu akan peka di tempatnya? Tidak, tentu tidak. Semua bisa dihapus dengan perbedaan yang dibentuk manusia sendiri. Kaya-miskin, rupawan-jelek, normal-cacat, dan sebagainya. Semua itu adalah warna. Warna-warna yang bisa disinkronisasikan menjadi sebuah rajutan nada indah itu sendiri. Sesuatu yang menggambarkan bahwa kita sebagai manusia bisa merasa bangga karena bisa merasakan dan memahami warna-warna tersebut yang merupakan bagian dari relasi kita dengan alam. Bahkan dibanding makhluk lain ciptaan-Nya. Suatu malam, sahabat saya berkata: "Jika Tuhan saja menciptakan begitu banyak perbedaan hingga indera kita tidak bisa mendeskripsikan semuanya, lantas kenapa manusia berusaha untuk menyamakan perbedaan dengan menghancurkan dan meminoritaskan perbedaan lainnya?" Tolong lihat dan rasakan dalam hati kita...

Wednesday, 9 December 2009

Praktek Penelitian Ilmiah

CONTOH LATAR BELAKANG MASALAH DAN

RUMUSAN MASALAH

LAPORAN PRAKTEK PENELITIAN ILMIAH DAN ANALISIS DATA

(Latar Belakang Masalah dan Rumusan Masalah)

Tema : Hubungan Bilateral

Judul : Perjanjian Kerjasama Pertahanan (Defense Cooperation Agreement/DCA) antara Indonesia dan Singapura sebagai Ancaman terhadap Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Tempat Penelitian : Kampus, perpustakaan, internet

Waktu Penelitian : 6-7 Desember 2009

Nama Peneliti : Amal Mushollini (NIM. 070710437)

Teknik Penelitian : Pendekatan Kuantitatif dengan Studi Literatur/Pustaka

Analisis Data Kuantitatif

Latar Belakang Masalah

Masalah kedaulatan wilayah merupakan masalah sensitif. Tidak ada negara yang rela kehilangan sejengkal wilayahnya. Karena itu, masalah perbatasan tidak didiamkan. Namun, dokumen-dokumen ASEAN hanya sedikit menyinggung solusi soal sengketa wilayah. Ini menegaskan jalan menuju komunitas ASEAN masih jauh. Di sisi lain, sebuah komunitas membutuhkan ”pengorbanan” setiap anggota dengan ”membagi” sebagian wilayah untuk dilebur ke dalam suatu nilai-nilai bersama. Namun, ada pertanda baik, ASEAN sudah mulai menyerap unsur-unsur kedaulatan itu menjadi suatu nilai bersama. Kemajuan lain, prinsip non-interferensi mulai ditembus. Akan tetapi, ada keengganan menyentuh lebih dalam masalah sengketa perbatasan. Ini mengindikasikan masih besarnya resistensi untuk melonggarkan urusan kedaulatan.[1] Hal yang diketahui dari persoalan ini adalah bahwa masalah perbatasan berpotensi besar menimbulkan konflik. Hal ini sebisa mungkin harus dihilangkan dengan menyelesaikan sengketa perbatasan. Hilangnya sengketa perbatasan membuat kedaulatan lebih terjamin. Tapi yang jadi pertanyaan adalah bagaimana menyelesaikannya? Dibutuhkan upaya terkoordinasi dengan mekanisme lebih sederhana dan bisa diterima semua pihak, contohnya kerjasama bilateral yang dapat dilakukan dalam suatu daerah tertentu milik negara tertentu yang dapat dijadikan basis kerjasama, militer misalnya. Tanpa koordinasi ini, penyelesaian masalah perbatasan sering membutuhkan waktu lama. Dan untuk menyikapi kasus ini, contoh masalah kedaulatan wilayah dan sub-sub masalah yang mengekorinya yang saat ini sedang hangat dibahas adalah masalah hubungan Indonesia-Singapura terkait dengan konsepsi kedaulatan yang menjadi kerucut masalah tersebut.


Kita tentu tahu, Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara yang memiliki posisi paling menguntungkan. Apabila ditinjau secara geopolitik dan geostrategi, perairan NKRI merupakan perairan yang sangat strategis di kawasan ini, khususnya di kawasan Asia Pasifik yaitu sebagai penghubung antara dua samudera dan dua benua. Selat di perairan ini pun merupakan Sea Lanes of Communication (SLOC). Jadi, selain penting bagi perdagangan dunia, jalur pelayaranan ini juga menjadi choke points strategis bagi proyeksi armada Angkatan Laut negara maritim besar dalam rangka menunjukkan keberadaannya ke seluruh penjuru dunia. Namun, posisi yang strategis ini justru menjadi ancaman tersendiri bagi Indonesia. Khususnya ancaman yang muncul dari negara tetangga dalam satu kawasan.


Sementara itu di Selat Malaka sendiri, sedikitnya terdapat 10 pulau terluar, diantaranya: pulau Nipah dan Berhala yang berbatasan dengan Singapura dan Malaysia. Bagi Singapura pulau-pulau tersebut dapat dijadikan lokasi kegiatan intelijen dan aktivitas militer lainnya. Sudah sejak lama, khususnya di era Perang Dunia, negara sekutu mengincar pangkalan militer di kawasan Asia Tenggara paska ditutupnya pangkalan militer Subic di Filipina. Salah satu lokasi yang dipilih adalah Riau yang dekat dengan Selat Malaka. Berbagai manuver dilakukan agar keinginan tersebut terwujud. Pada tahun 2005, keamanan di Selat Malaka sengaja dipersoalkan kembali. Dengan dalih pengamanan, AS mengusulkan armada kapal perangnya diijinkan mengawal setiap kapal kargo yang melintasi perairan selat sepanjang 800 kilometer itu. Usulan bernuansa politis ini awalnya ditentang Malaysia, Singapura dan Indonesia. Tetapi kemudian sikap Malaysia dan Singapura melunak setelah Komandan Militer AS di Asia Pasifik, Laksamana Thomas Fargo melakukan manuver politik mengunjungi Malaysia, Singapura, Thailand dan melobi organisasi maritim dunia (IMO). Keadaan ini tidak dapat ditentang oleh Indonesia yang mengantongi kepemilikan sah pulau Riau sementara negara tetangganya berangsur-angsur seperti menjadi antek Amerika Serikat, Singapura khususnya.


Fakta ini pun diperparah dengan munculnya Defense Cooperation Agreement Indonesia-Singapura yang merupakan sebuah perjanjian antara dua negara tersebut yang ditandatangani pada tahun 2007. Berhasilnya penandatanganan DCA antara Indonesia dan Singapura ini senantiasa memunculkan stigma negatif dan pesimistis di berbagai kalangan. Padahal perjanjian yang akan beroperasi selama 25 tahun ini akan membuat hubungan antara Indonesia dan Singapura menjadi lebih fokus namun belum jelas untung-ruginya bagi bangsa Indonesia. Salah satu isi perjanjian ini adalah disepakatinya beberapa daerah di Indonesia menjadi wilayah latihan militer bagi Singapura.


Sebenarnya, hal ini bukanlah yang pertama dilakukan oleh kedua negara untuk menyepakati daerah Indonesia sebagai wilayah latihan militer. Kerjasama militer Indonesia dan Singapura telah berlangsung lama, sejak kerjasama latihan militer dirintis tahun 1986 yang dikenal dengan sebutan "Latma Indopura" (Latihan Bersama Indonesia-Singapura). Di lain pihak, Defense Cooperation Agreement yang ditandatangani oleh Menteri Pertahanan kedua Negara di Bali pada tanggal 27 April 2007, telah menyatakan bahwa wilayah Natuna (Kepri), Baturaja (Sumsel) dan Desa Siabu (Riau) akan menjadi medan latihan tentara Singapura. Pemberlakuan ini akan ditinjau ulang setelah 13 tahun dan dikaji berikutnya enam tahun berikutnya. Bersama perjanjian ini disepakati pula kerjasama daerah latihan militer bersama. Dimana Indonesia memberikan fasilitas wilayah latihan udara dan laut tertentu kepada Singapura dalam lingkup yurisdiksi hukum Indonesia. Sedangkan Singapura memberikan fasilitas militer bagi TNI seperti menggunakan akses terhadap peralatan dan teknologi militer yang dimiliki Singapura.[2]


Di samping itu, daerah Baturaja yang terletak sekitar 250 km arah selatan kota Palembang, merupakan satu dari daerah latihan militer TNI AD yang merupakan jawaban atas tantangan modernisasi militer di Indonesia. Baturaja menjadi alternatif pilihan daerah latihan militer karena daerah latihan militer sebelumnya, Jawa, sudah tidak mampu lagi dijadikan daerah latihan militer akibat ledakan penduduknya yang semakin besar. Fasilitas yang disiapkan untuk kepentingan latihan militer ini sangat meyakinkan. Memiliki areal sekitar 43.000 hektar dan dilengkapi lapangan terbang bekas peninggalan Jepang. Daerah Baturaja juga memiliki medan yang menarik untuk tempat latihan, karena di sana masih ada hutan lebat, rawa-rawa, gunung-gunung, bahkan laut. Untuk itu, di tempat ini dibangun pula kubu-kubu pertahanan untuk simulasi serangan terhadap musuh. Masih ada lagi fasilitas berupa perkantoran, barak, gudang, bengkel, dapur instalasi listrik, air, dan komunikasi. Lokasinya lainnya, di Selat Malaka tepatnya dari barat Batam (Kepulauan Riau) hingga Pulau Bengkalis, Provinsi Riau (Alpha I). Sebelah timur Pulau Bintan hingga selatan Kepulauan Anambas di laut Natuna (Alpha II) dan di perairan Kepulauan Anambas hingga Kepulauan Natuna Besar di laut China Selatan (Bravo).[3]


Kondisi ini telah memperlihatkan bahwa ada interfensi yang mengaitkan antara masalah ekstradisi dan pertahanan dari berlakunya DCA. Seperti apa yang telah disebutkan sebelumnya, Singapura telah melaksanakan latihan militer di wilayah Indonesia, yang diklaim sebagai daerah tradisional latihan militer sejak tahun 1970-an. Perlu ditegaskan, menyediakan wilayah untuk latihan militer negara lain dapat membuka kelemahan pertahanan Indonesia. Selain itu, persiapan latihan pada hakikatnya sama dengan persiapan untuk melakukan operasi militer.[4] Dan seperti apa yang telah dikemukakan sebelumnya, Singapura telah melakukan latihan di wilayah Indonesia, terutama dalam kasus wilayah Bravo yang lama (kini dinamakan Alpha 2) dengan menggunakan klaim wilayah tradisional latihan militer mereka. Hak ini tidak dikenal dalam hukum internasional. Oleh karena itu, Singapura tidak berhak mengklaim adanya wilayah tradisional latihan militer. Dengan adanya DCA, hak wilayah tradisional latihan militer itu hilang digantikan mekanisme izin dan aturan-aturan operasional lain yang disebut Implementation Arrangement (IA) yang hingga kini belum tuntas dalam perundingan antara kedua negara.

Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, penekanan masalah terdapat pada kenyataan bahwa kedaulatan negara tidak sepantasnya digadaikan demi mendapatkan hasil yang tidak pasti dan belum jelas serta masih sebatas angan-angan. Pemberian ijin wilayah latihan, sama artinya memberi peluang negara lain melakukan invasi secara terselubung. Selat Malaka, Laut China Selatan dan ALKI menyimpan kekayaan ekonomi maritim dan mempunyai nilai strategis yang tidak ternilai. Kedaulatan bangsa atas wilayah daratan, lautan dan udara yang dalam DCA diremehkan. Menyikapi hal itu, ada beberapa rumusan masalah yang menjadi pokok pijakan bagi terbentuknya hasil penelitian kuantitatif dalam esai ini, yaitu pertama, apakah Perjanjian Kerjasama Pertahanan yang dilakukan antara Indonesia dan Singapura pada tahun 2007 yang lalu telah benar-benar membawa ancaman terhadap kedaulatan NKRI?


Kemudian yang berdasarkan keberadaan Defence Cooperation Agreement atau DCA yang hingga kini belum dijelaskan pemerintah, rumusan masalahnya adalah mengapa Indonesia bisa mengizinkan negara lain menggunakan wilayahnya untuk latihan militer? Apakah ini tanda ketidakmampuan Indonesia menjaga wilayah karena lemahnya kekuatan pertahanan laut dan udara? Jika ya, apakah boleh dikatakan bahwa kekuatan pertahanan Indonesia tidak lagi mampu memenuhi tujuan utama pertahanan Indonesia, yaitu mempertahankan kedaulatan, wilayah, dan keselamatan bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan UU Pertahanan Negara No 3/2002 dan UU tentang TNI No 34/2004. Di samping itu, mengapa perjanjian Indonesia-Singapura tersebut (DCA) menghubungkan antara perjanjian ekstradisi dan perjanjian pertahanan? Fakta ini tentu sulit diterima oleh para penentang DCA. Alasannya adalah bahwa pertahanan adalah salah satu core business dari upaya mempertahankan eksistensi negara. Sementara itu, masalah larinya koruptor dan modal ke Singapura, betapa pun Singapura telah melakukan kesalahan, sebagian besar disebabkan lemahnya sistem perbankan, sistem hukum, dan imigrasi Indonesia. Maka, wajar masyarakat bertanya apakah pantas kesalahan yang kita buat sendiri harus ditebus dengan pengorbanan dalam bidang pertahanan untuk kepentingan negara lain?


Referensi.

Damayanti, Ninin ‘Singapura Berjanji Tak Ributkan Soal Perbatasan’, Tempo Interaktif, Jakarta, 1 Maret 2009

Buntut Perjanjian Tapak Siring dalam berita Indonesia.com Saturday, 20 Mei 2007 12:35 (diakses 5 Desember 2009)

Sengketa Dua Negara dalam tempointeraktif.com (diakses 5 Desember 2009)

Prastyono, Edy, ‘RI-Singapura: Mengapa DCA (Defence Cooperation Agreement)?, Kompas, http://kompas.com/kompas-cetak/0707/23/opini/3672866.htm (diakses 5 Desember 2009)

http://www.beritasore.com/2007/05/04/perjanjian-pertahanan-indonesia-singapura-siapa-diuntungkan (diakses 5 Desember 2009)





[1] Ninin Damayanti, ‘Singapura Berjanji Tak Ributkan Soal Perbatasan’, Tempo Interaktif, Jakarta, 1 Maret 2009

[2] Buntut Perjanjian Tapak Siring dalam berita Indonesia.com Saturday, 20 Mei 2007 12:35 (diakses 5 Desember 2009)

[3] Sengketa Dua Negara dalam tempointeraktif.com (diakses 5 Desember 2009)

[4] Edy Prastyono, ‘RI-Singapura: Mengapa DCA (Defence Cooperation Agreement)?, Kompas, http://kompas.com/kompas-cetak/0707/23/opini/3672866.htm (diakses 5 Desember 2009)

Memahami Teknik Analisis Data

CONTOH THESIS STATEMENT DENGAN PENEKANAN PADA STUDI LITERATUR

LAPORAN PRAKTEK PENELITIAN TEKNIK PENGUMPULAN DAN ANALISIS DATA

(Studi Literatur/Pustaka)

Tema : Hubungan Bilateral

Judul : Perjanjian Kerjasama Pertahanan (Defense Cooperation Agreement/DCA) antara Indonesia dan Singapura sebagai Ancaman terhadap Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Tempat Penelitian : Kampus, perpustakaan, internet

Waktu Penelitian : 27-30 November 2009

Nama Peneliti : Amal Mushollini (NIM. 070710437)

Teknik Penelitian : Pendekatan Kuantitatif dengan Studi Literatur/Pustaka

Gambaran Penelitian :

Penelitian ini berusaha menjawab rumusan masalah, yaitu “Apakah Perjanjian Kerjasama Pertahanan (DCA) yang dilakukan antara Indonesia dan Singapura pada tahun 2007 yang lalu telah benar-benar membawa ancaman terhadap kedaulatan NKRI?”, dengan menggunakan satu pendekatan penelitian, yaitu kuantitatif. Oleh karena itu, untuk memenuhi keperluan itu, maka teknik pengumpulan data dilakukan dengan menyesuaikan pada pendekatan yang diambil. Dan dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dengan pendekatan kuantitatif, dilakukan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan, yaitu melalui teks-teks tertulis maupun soft-copy edition, seperti buku, ebook, artikel-artikel dalam majalah, surat kabar, buletin, jurnal, laporan atau arsip organisasi, makalah, publikasi pemerintah, dan lain-lain. Bahan pustaka yang berupa soft-copy edition biasanya diperoleh dari sumber-sumber internet yang dapat diakses secara online.

Analisis Data Kuantitatif :

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara yang memiliki posisi paling menguntungkan. Apabila ditinjau secara geopolitik dan geostrategi, perairan NKRI merupakan perairan yang sangat strategis di kawasan ini, khususnya di kawasan Asia Pasifik yaitu sebagai penghubung antara dua samudera dan dua benua. Selat di perairan ini pun merupakan Sea Lanes of Communication (SLOC). Jadi, selain penting bagi perdagangan dunia, jalur pelayaranan ini juga menjadi choke points strategis bagi proyeksi armada Angkatan Laut negara maritim besar dalam rangka menunjukkan keberadaannya ke seluruh penjuru dunia. Namun, posisi yang strategis ini justru menjadi ancaman tersendiri bagi Indonesia. Khususnya ancaman yang muncul dari negara tetangga dalam satu kawasan. Fakta ini pun muncul dari Defense Cooperation Agreement Indonesia-Singapura yang merupakan sebuah perjanjian antara dua negara tersebut yang ditandatangani pada tahun 2007. Berhasilnya penandatanganan DCA antara Indonesia dan Singapura ini senantiasa memunculkan stigma negatif dan pesimistis di berbagai kalangan. Padahal perjanjian yang akan beroperasi selama 25 tahun ini akan membuat hubungan antara Indonesia dan Singapura menjadi lebih fokus.


Salah satu isi perjanjian ini adalah disepakatinya beberapa daerah di Indonesia menjadi wilayah latihan militer bagi Singapura. Sebenarnya, hal ini bukanlah yang pertama dilakukan oleh kedua negara untuk menyepakati daerah Indonesia sebagai wilayah latihan militer. Kerjasama militer Indonesia dan Singapura telah berlangsung lama, sejak kerjasama latihan militer dirintis tahun 1986 yang dikenal dengan sebutan "Latma Indopura" (Latihan Bersama Indonesia-Singapura).


Sementara itu, Defense Cooperation Agreement yang ditandatangani oleh Menteri Pertahanan kedua negara, Juwono Sudarsono dan Teo Chee Hean di Istana Tampak Siring, Bali pada tanggal 27 April 2007, telah menyatakan bahwa wilayah Natuna (Kepri), Baturaja (Sumsel) dan Desa Siabu (Riau) akan menjadi medan latihan tentara Singapura. Pemberlakuan ini akan ditinjau ulang setelah 13 tahun dan dikaji berikutnya enam tahun berikutnya. Bersama perjanjian ini disepakati pula kerjasama daerah latihan militer bersama. Dimana Indonesia memberikan fasilitas wilayah latihan udara dan laut tertentu kepada Singapura dalam lingkup yurisdiksi hukum Indonesia. Sedangkan Singapura memberikan fasilitas militer bagi TNI seperti menggunakan akses terhadap peralatan dan teknologi militer yang dimiliki Singapura.[1]


Di lain pihak, daerah Baturaja yang terletak sekitar 250 km arah selatan kota Palembang, merupakan satu dari daerah latihan militer TNI AD yang merupakan jawaban atas tantangan modernisasi militer di Indonesia. Baturaja menjadi alternatif pilihan daerah latihan militer karena daerah latihan militer sebelumnya, Jawa, sudah tidak mampu lagi dijadikan daerah latihan militer akibat ledakan penduduknya yang semakin besar. Fasilitas yang disiapkan untuk kepentingan latihan militer ini sangat meyakinkan. Memiliki areal sekitar 43.000 hektar dan dilengkapi lapangan terbang bekas peninggalan Jepang di Way Tuba yang panjang landasannya lebih dari 2.350 meter, dan bisa didarati pesawat berbadan bongsor seperti Hercules C-130. Daerah Baturaja juga memiliki medan yang menarik untuk tempat latihan, karena di sana masih ada hutan lebat, rawa-rawa, gunung-gunung, bahkan laut. Di tempat ini para prajurit ditempa untuk latihan mengenal medan pertempuran dalam arti sesungguhnya. Untuk itu, di tempat ini dibangun pula kubu-kubu pertahanan untuk simulasi serangan terhadap musuh. Masih ada lagi fasilitas berupa perkantoran, barak, gudang, bengkel, dapur instalasi listrik, air, dan komunikasi. Lokasinya lainnya, di Selat Malaka tepatnya dari barat Batam (Kepulauan Riau) hingga Pulau Bengkalis, Provinsi Riau (Alpha I: Singapura diizinkan melakukan uji kelaikan terbang, pengecekan teknis, dan latihan terbang; menggunakan maksimum 15 pesawat dan tak lebih dari 40 kali penerbangan per hari; pesawat supersonik diizinkan minimal di ketinggian 10 ribu kaki; amunisi harus kosong dan tak boleh ada penembakan). Sebelah timur Pulau Bintan hingga selatan Kepulauan Anambas di laut Natuna (Alpha II: pelatihan militer diizinkan di wilayah udara; latihan bersama negara lain hanya boleh di wilayah udara (atas persetujuan Indonesia); menggunakan maksimal 20 pesawat, dan tak lebih dari 60 penerbangan per hari.) dan di perairan Kepulauan Anambas hingga Kepulauan Natuna Besar di laut China Selatan (Bravo: kapal-kapal Singapura boleh melakukan manuver laut dan latihan dengan penembakan peluru tajam bersama pesawat-pesawat tempurnya; latihan menembak dengan peluru kendali diizinkan maksimal 4 kali dalam setahun, dengan memberi tahu sebelumnya kepada TNI Angkatan Laut; perairan dan wilayah udaranya terbuka bagi latihan tempur bersama angkatan bersenjata negara lain (atas persetujuan Indonesia)[2]).

Rumusan Masalah

Seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa rumusan masalah yang menjadi pokok pijakan bagi terbentuknya thesis statement dalam esai ini adalah, “Apakah Perjanjian Kerjasama Pertahanan yang dilakukan antara Indonesia dan Singapura pada tahun 2007 yang lalu telah benar-benar membawa ancaman terhadap kedaulatan NKRI?”

Thesis Statement

Dari disetujuinya kesepakatan ini, memunculkan berbagai spekulasi tentang implementasi nyata dari kerjasama militer tersebut. Namun, banyak sekali pihak pro dan kontra muncul setelah perjanjian ini disetujui dan diakui oleh kedua belah pihak pemerintah, baik dari Indonesia maupun Singapura, tapi sebagian besar muncul dari kalangan masyarakat Indonesia. Spekulasi negatif banyak dimunculkan oleh pihak yang kontra.. Mereka menganggap bahwa penandatanganan tersebut akan lebih banyak membawa keuntungan bagi Singapura daripada Indonesia. Bahkan dengan adanya perjanjian ini justru ditakutkan kedaulatan Indonesia dapat terancam. Dalam hal ini, DCA tak ubahnya seperti mempermainkan pemerintah Indonesia dan mengusik kedaulatan negara. Langkah-langkah implementasi dari DCA ini justru merugikan Indonesia. Khususnya bagi kedaulatan NKRI di mata dunia.


Kita tentu tahu, bahwa pertahanan adalah salah satu core business dari upaya mempertahankan eksistensi negara. Sedangkan masalah kedaulatan wilayah merupakan masalah sensitif. Tidak ada negara yang rela kehilangan sejengkal wilayahnya. Namun, fakta di lapangan berbeda dengan apa yang dinyatakan sebelumnya. Pada dasarnya, Singapura telah melaksanakan latihan militer di wilayah Indonesia, yang diklaim sebagai daerah tradisional latihan militer sejak tahun 1970-an. Padahal menyediakan wilayah untuk latihan militer negara lain dapat membuka kelemahan pertahanan Indonesia. Selain itu, persiapan latihan pada hakikatnya sama dengan persiapan untuk melakukan operasi militer. Apalagi dengan ditandatanganinya DCA membuat Singapura semakin menunjukkan taringnya pada Indonesia. DCA itu menyerupai pakta pertahanan dan adanya semacam pangkalan militer Singapura di Indonesia.[3] Perjanjian ini juga berpeluang menggadaikan kedaulatan negara, serta bertentangan dengan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif karena menjalin kerjasama yang mengarah ke pakta pertahanan permanen selama 25 tahun. DCA pun mendapat kecaman dari berbagai kalangan terutama yang wilayahnya akan dijadikan tempat latihan tempur. Selain mempertanyakan ‘kedaulatan’ Indonesia dimana Singapura bisa masuk dan membawa angkatan bersenjatanya ke wilayah teritorial Indonesia, perjanjian ini memberikan dampak yang cukup besar terhadap kehidupan perekonomian di wilayah yang dijadikan pusat latihan. Dari fakta ini terlihat jelas bahwa Singapura memang sangat cerdik memilih wilayah dalam perjanjian kerjasama pertahanan tersebut. Selain dapat mengontrol jalur strategis Selat Malaka dan Laut China Selatan, negara semenanjung itu akan lebih leluasa bermanuver di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang membentang dari utara (Laut Natuna) hingga ke selatan (Selat Karimata dan Selat Sunda). Di lain pihak, adanya hak Singapura untuk mengadakan latihan militer bersama dengan negara lain juga menjadi ancaman tambahan bagi kredibelitas kedaulatan Indonesia. Dan ancaman itu muncul dari AS yang menjadi partner latihan Singapura. Sekali lagi, terlihat jelas bahwa kondisi ini telah menggambarkan ambisi politik AS di kawasan Asia Tenggara melalui kedok latihan militer dengan Singapura sebagai corong untuk menyuarakan ambisinya, khususnya dengan dalih bahwa Singapura terganggu dengan aksi-aksi bajak laut yang berhubungan dengan gerakan terorisme di Selat Malaka dan AS pun menekan Indonesia dan Malaysia supaya mengizinkan pembangunan pangkalan militer AS. Mereka paham betul bahwa secara geopolitik dan geostrategi letk Indonesia sangat mempengaruhi percaturan ekonomi dunia di kawasan AS maupun Eropa.


Gambaran ini memperlihatkan tentang sungguh lemah posisi Indonesia. Perjanjian kerjasama pertahanan yang seharusnya dapat menguntungkan kedua belah pihak, justru merugikan Indonesia sendiri. Indonesia pun tak bisa membela wilayahnya sendiri. Dan bila seluruh isi perjanjian itu dapat dijalankan, bukan tak mungkin semakin lama kedaulatan NKRI akan terancam.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa saja faktor dan bukti kongkret yang membuktikan bahwa Defense Cooperation Agreement yang ditandatangani antara Indonesia dan Singapura telah membawa kerugian dan ancaman bagi kedaulatan NKRI.

Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data secara kepustakaan atau dokumenter, yaitu berupa pengumpulan data-data sekunder dari berbagai referensi yang ada, seperti buku, artikel-artikel dalam majalah, surat kabar, buletin, jurnal, laporan atau arsip organisasi, makalah, publikasi pemerintah, dan referensi lainnya (Buntut Perjanjian Tapak Siring dalam berita www.Indonesia.com, Sengketa Dua Negara dalam www.tempointeraktif.com, www.pelita.or.id/baca.php). Dalam konteks ini, makalah seminar dijadikan sebagai sumber pustaka untuk mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan.

Kesimpulan

Keberadaan tentara Singapura di Indonesia yang merupakan hasil telah ditandatanganinya perjanjian kerjasama pertahanan antara Indonesia dan Singapura (DCA) 27 April 2007 ini dapat mengancam kedaulatan NKRI. Fakta ini ternyata tidak seindah yang dibayangkan pemerintah Indonesia dan yang terjadi justru sebaliknya, hal ini cenderung merugikan Indonesia. Beberapa pasal DCA pun isinya mengarah pada hal tersebut. Meski dalam upaya kerjasama latihan militer, namun tidak menutup kemungkinan kegiatan ini akan mampu menjadi cara untuk melemahkan pertahanan Indonesia. Singapura menjadi tahu bagaimana seluk beluk kondisi wilayah Indonesia dan dapat mengetahui kelemahannya. Ancaman lainnya adalah dengan diijinkannya tes kelayakan terbang, pengecekan teknis dan latihan terbang mengisyaratkan bahwa pemerintah Indonesia memberikan lahan untuk hangar atau tempat parkir pesawat Singapura. Yang terakhir adalah diijinkannya angkatan bersenjata Singapura mengadakan kerjasama dengan angkatan bersenjata negara lain. Dalam hal ini Amerika Serikat menjadi momok terbesar bagi Indonesia karena AS merupakan sekutu dekat Singapura. Keberadaan AS di wilayah ini pastilah akan sangat mengancam kedaulatan NKRI terlebih hingga saat ini Indonesia masih tunduk pada aturan AS.


Maka harusnya Indonesia sadar bahwa bangsa ini adalah bangsa yang besar. Bangsa yang memiliki banyak sekali kelebihan. Kita tak perlu takut akan keberadan negara kecil seperti Singapura. Dibandingkan kita, Singapura tidak ada apa-apanya. Negara ini tak boleh lemah dan merasa lemah, termasuk dalam pertahanannya. Negara ini tak perlu kerjasama pertahanan dengan Singapura jika yang ada hanya dirugikan dan kedaulatan negara akan terancam.

Referensi Literatur

Buku:

Rezasyah, Teuku. 2008. Politik Luar Negeri Indonesia : Antara Idealisme dan Praktik. Bandung:Humaniora


Artikel Internet:

Ardiansyah, dosen Fakultas Hukum Unilak, Mengkritisi DCA RI-Singapura http://riaupos.com/baru/content/view/7174/40/ diakses

Batubara, Harmen. Kerja sama pertahanan RI-Singapura Kedaulatan dalam Dunia yang Berubah www.unisosdem.org/ekopol_detail.php

http://www.berita Indonesia.com Saturday. Buntut Perjanjian Tapak Siring

http://www.beritasore.com/2007/05/04/perjanjian-pertahanan-indonesia-singapura-siapa-diuntungkan

http://www.dephan.go.id/modules.php

http://www.okukab.go.id/perekonomian.html

http://www.suarakarya-online.com/news.html



[1] Buntut Perjanjian Tapak Siring dalam berita Indonesia.com Saturday, 20 Mei 2007 12:35 diakses 10 Juni 2009

[2] Sengketa Dua Negara dalam tempointeraktif.com diakses 10 Juni 2009

[3] Lukman Hakim Syaifuddin, Ketua Fraksi PPP DPR dalam www.pelita.or.id/baca.php diakses 10 Juni 2009

Teknik-teknik Pengumpulan Data

KAJIAN TENTANG DATA, OBSERVASI, WAWANCARA, DAN STUDI LITERATUR


Dalam melakukan penelitian, dibutuhkan informasi-informasi yang dapat ditujukan untuk memperkuat objek penelitian. Informasi tersebut dikumpulkan dari berbagai sumber dan nantinya akan menjadi bukti yang akurat terhadap hasil penelitian. Informasi ini akan diolah menjadi sebuah data penelitian. Ada berbagai cara dilakukan untuk mengumpulkan data, diantaranya melalui observasi, wawancara, focus group discussion, ataupun melalui pemanfaatan bahan pustaka. Kegiatan ini biasa dilakukan terutama dalam penelitian kualitatif. Karena desain penelitian kualitatif bersifat fleksibel dan berubah-ubah sesuai dengan kondisi lapangan. Oleh karena itu peranan peneliti sangat dominan dalam menentukan keberhasilan penelitian yang dilaksanakan. Karena proses pengumpulan data sangat menentukan hasil akhir dari sebuah laporan penelitian, maka terdapat beberapa kategorisasi data yang penting bagi tahapan-tahapan untuk mengumpulkan data tersebut secara berkesinambungan, yaitu kategorisasi menurut sifatnya dan kategorisasi menurut cara memperolehnya.


Dalam kategorisasi menurut sifatnya, dalam studi penelitian terdapat data kualitatif dan data kuantitatif, dan keduanya sudah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan data dalam kategorisasi bagaimana cara memperolehnya, dalam melakukan kegiatan ini, terdapat dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang dikumpulkan dari tangan pertama dan diolah oleh organisasi atau perorangan. Dengan kata lain, data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari objek yang akan diteliti (Sudarso dalam Bagong & Sutinah 2005: 55). Data ini juga merupakan data yang berupa teks hasil wawancara dan diperoleh melalui wawancara dengan informan yang sedang dijadikan sample dalam penelitiannya dan data ini dapat direkam atau dicatat oleh peneliti. Misalnya: peneliti mendatangi setiap rumah tangga dan menanyakan jumlah anggota keluarga, mata pencaharian, agama, pendidikan, dan lain-lain terkait dengan tujuan penelitiannya. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh suatu organisasi atau perorangan melalui pihak lain yang telah mengumpulkan dan mengolah data tersebut. Jadi, data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung oleh peneliti tapi melalui lembaga atau institusi tertentu (Sudarso dalam Bagong & Sutinah 2005: 55-56). Dapat dikatakan bahwa data sekunder adalah data yang berupa data-data yang sudah tersedia dan dapat diperoleh oleh peneliti dengan cara membaca, melihat atau mendengarkan. Misalnya: data bentuk teks, seperti dokumen, pengumuman, surat-surat, spanduk; data bentuk gambar seperti foto, animasi, billboard; data bentuk suara, seperti hasil rekaman kaset; serta kombinasi teks, gambar dan suara: film, video, dan iklan di televisi. Contoh nyata misalnya peneliti memperoleh data dari Badan Pusat Statistik, Departemen Pertanian, dan lain-lain.


Namun, sebelum melakukan pengumpulan data baik data primer maupun data sekunder, terdapat beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan sehingga data yang diperoleh benar-benar data yang diinginkan, sebagai berikut: peneliti harus memahami tujuan penelitian, peneliti memusatkan hipotesis atau hal-hal yang perlu dipecahkan dalam penelitian, peneliti harus memahami sampel yang menjadi sumber data, peneliti harus memahami pedoman kerja atau metodologi, dan peneliti harus memahami dan mendokumentasikan data.


Dan tindakan lanjutan yang terpenting adalah bagaimana kita menggunakan kemampuan kita dalam mengumpulkan data. Dan untuk menjembatani masalah ini, terdapat teknik pengumpulan data, diantaranya:


LOOKING/OBSERVASI

Teknik observasi merupakan metode mengumpulkan data dengan mengamati langsung di lapangan. Proses ini berlangsung dengan pengamatan yang meliputi melihat, merekam, menghitung, mengukur, dan mencatat kejadian. Observasi bisa dikatakan merupakan kegiatan yang meliputi pencatatan secara sistematik kejadian-kejadian, perilaku, obyek-obyek yang dilihat dan hal-hal lain yang diperlukan dalam mendukung penelitian yang sedang dilakukan. Pada tahap awal observasi dilakukan secara umum, peneliti mengumpulkan data atau informasi sebanyak mungkin. Tahap selanjutnya peneliti harus melakukan observasi yang terfokus, yaitu mulai menyempitkan data atau informasi yang diperlukan sehingga peneliti dapat menemukan pola-pola perilaku dan hubungan yang terus menerus terjadi. Jika hal itu sudah diketemukan, maka peneliti dapat menemukan tema-tema yang akan diteliti. Setidaknya, berdasarkan keterlibatan peneliti dalam interaksi dengan objek penelitiannya, terdapat dua jenis observasi (Hariwijaya 2007: 74). Pertama, observasi partisipan, yaitu peneliti melakukan penelitian dengan cara terlibat langsung dalam interaksi dengan objek penelitiannya. Dengan kata lain, peneliti ikut berpartisipasi sebagai anggota kelompok yang diteliti. Misalnya peneliti ingin meneliti pola interaksi pekerja bangunan terjun langsung di lapangan menyamar sebagai pekerja bangunan. Kedua, observasi nonpartisipan, yaitu peneliti melakukan penelitian dengan cara tidak melibatkan dirinya dalam interaksi dengan objek penelitian. Sehingga, peneliti tidak memposisikan dirinya sebagai anggota kelompok yang diteliti. Selain dua jenis observasi tersebut, dikenal pula observasi partisipan-membership, artinya peneliti adalah anggota dari kelompok yang diteliti. Contoh yang dapat dikaji misalnya seorang wartawan meneliti pola interaksi dalam proses manajemen media di tempatnya bekerja. Beberapa teknik yang biasa dilakukan dalam observasi, antara lain: -membuat catatan anekdot¸ catatan informal yang diguakan pada waktu mengadakan observasi, yang berisi tentang suatu gejala atau peristiwa. Misal: tingkah laku manusia, -membuat daftar cek, daftar yang berisi catatan setiap factor secara sistematis. Daftar cek ini dipersiapkan sebelum observasi dan dibuat sesuai dengan tujuan khusus dalam observasi, -membuat skala penilaian, skala yang digunakan untuk menetapkan penilaian secara bertingkat dan untuk mengamati kondisi data secara kualitatif. Misal: meniliti siswa dalam proses belajar mengajar, dan -memcatat dengan menggunakan alat, pencatatan yang dilakukan melalui pengamatan dengan menggunakan alat, misal: kamera, redorder, dan lain-lain. Sedangkan manfaat dari observasi itu adalah peneliti akan mampu memahami konteks data secara menyeluruh, memperoleh pengalaman langsung, dapat melihat hal-hal yang kurang diamati oleh orang lain, dapat menemukan hal-hal yang tidak terungkap saat wawancara, dapat mengungkapkan hal-hal yang ada di luar persepsi responden, dan juga dapat memperoleh kesan-kesan pribadi terhadap obyek yang diteliti (Nasution, 1988).


QUESTIONING/WAWANCARA

Wawancara adalah merupakan pertemuan antara dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab sehingga dapat dikontruksikan makna dalam suatu topik tertentu (Esterberg, 2002). Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya dan juga merupakan teknik komunikasi langsung antara peneliti dan sampel. Dalam penelitian dikenal teknik wawancara-mendalam (Hariwijaya 2007: 73-74). Teknik ini biasanya melekat erat dengan penelitian kualitatif. Wawancara mendalam (in–depth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Keunggulannya ialah memungkinkan peneliti mendapatkan jumlah data yang banyak, sebaliknya kelemahan ialah karena wawancara melibatkan aspek emosi, maka kerjasama yang baik antara pewawancara dan yang diwawancari sangat diperlukan. Dari sisi pewawancara, yang bersangkutan harus mampu membuat pertanyaan yang tidak menimbulkan jawaban yang panjang dan bertele-tele sehingga jawaban menjadi tidak terfokus. Sebaliknya dari sisi yang diwawancarai, yang bersangkutan dapat dengan enggan menjawab secara terbuka dan jujur apa yang ditanyakan oleh pewawancara atau bahkan dia tidak menyadari adanya pola hidup yang berulang yang dialaminya sehari-hari. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seorang peneliti saat mewawancarai responden adalah intonasi suara, kecepatan berbicara, sensitifitas pertanyaan, kontak mata, dan kepekaan nonverbal. Dalam mencari informasi, peneliti melakukan dua jenis wawancara, yaitu autoanamnesa (wawancara yang dilakukan dengan subjek atau responden) dan aloanamnesa (wawancara dengan keluarga responden). Beberapa tips saat melakukan wawancara adalah mulai dengan pertanyaan yang mudah, mulai dengan informasi fakta, hindari pertanyaan multiple, jangan menanyakan pertanyaan pribadi sebelum building raport, ulang kembali jawaban untuk klarifikasi, berikan kesan positif, dan kontrol emosi negatif. Selain itu, ada beberapa hal lain yang juga perlu diperhatikan untuk menjadi pewawancara yang baik, yaitu jujur, mempunyai minat, berkepribadian dan tidak temperamental, adaptif, akurasi, dan berpendidikan (Moser & Kalton dalam Musta’in Mashud dalam Bagong & Sutinah 2005: 76).


FOCUS GROUP DISCUSSION/GROUP DISKUSI

Focus Group Discussion (FGD) merupakan metode penelitian di mana peneliti memilih orang-orang yang dianggap mewakili sejumlah publik yang berbeda. Misalnya, seorang Public Relations (PR) perusahaan ingin mengetahui opini publik tentang kebijakan baru perusahaan, PR bisa memilih orang yang dianggap mewakili karyawan, pimpinan dan lainnya. Mereka semua dikumpulkan dalam sebuah ruang diskusi yang dipimpin seorang moderator. Di forum diskusi inilah moderator mengeksplorasi opini dan pandangan-pandangan responden tentang kebijakan perusahaan. Dari sini kemudian moderator memiliki peran penting bagi suksesnya diskusi. Peneliti dapat bertindak sebagai moderator atau mempercayakan kepada orang lain. Seorang moderator harus mempunyai kemampuan dalam penguasaan teknik wawancara, menjaga agar aliran diskusi terus berjalan, dan mampu bertindak sebagai wasit atau bahkan sebagai pembela yang menentang apa yang dianggap baik (devil's advocate). Selama proses diskusi akan lebih baik dilengkapi alat-alat perekam, sehingga membantu peneliti dalam analisis data. (Hariwijaya 2007: 72-73). FGD memungkinkan peneliti mendapatkan data yang lengkap dari informan yang biasanya dijadikan landasan suatu program (pilot study). Pelaksanaan FGD juga relatif cepat, yang terlama adalah waktu rekruitmen informan. FGD juga memungkinkan peneliti lebih fleksibel dalam menentukan desain pertanyaan, sehingga bebas bertanya kepada informan sesuai dengan tujuan penelitian. Namun FGD relatif membutuhkan biaya yang cukup besar, bahkan dalam beberapa kasus, para informan mendapat selain konsumsi juga ‘uang lelah’ karena telah mengikuti diskusi.


READING/STUDI LITERATURE/KAJIAN PUSTAKA

Bahan pustaka merupakan teknik pengumpulan data melalui teks-teks tertulis maupun soft-copy edition, seperti buku, ebook, artikel-artikel dalam majalah, surat kabar, buletin, jurnal, laporan atau arsip organisasi, makalah, publikasi pemerintah, dan lain-lain. Bahan pustaka yang berupa soft-copy edition biasanya diperoleh dari sumber-sumber internet yang dapat diakses secara online. Pengumpulan data melalui bahan pustaka menjadi bagian yang penting dalam penelitian ketika peneliti memutuskan untuk melakukan kajian pustaka dalam menjawab rumusan masalahnya. Pendekatan studi pustaka sangat umum dilakukan dalam penelitian karena peneliti tak perlu mencari data dengan terjun langsung ke lapangan tapi cukup mengumpulkan dan menganalisis data yang tersedia dalam pustaka. Selain itu, pengumpulan data melalui studi pustaka merupakan wujud bahwa telah banyak laporan penelitian yang dituliskan dalam bentuk buku, jurnal, publikasi dan lain-lain. Sehingga hasil laporan penelitian itu akan menjadi data lebih lanjut yang dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut pula. Hal itu terjadi karena sifat utama data ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam. Dengan demikian, studi pustaka sangat tergantung pada penulisan hasil laporan atau fenomena yang ada dalam masyarakat diungkapkan melalui teks tertulis. Semakin banyak laporan penelitian maupun ‘printed phenomenons’ maka semakin kaya pula data yang tersedia dalam studi pustaka. Dengan begitu, penelitian akan mudah dilakukan dalam rentang waktu yang singkat karena data yang diperlukan mudah didapat peneliti. Hal penting dalam teknik ini adalah peneliti harus mencantumkan sumber yang ia dapat dalam bentuk sistem referensi yang terstandardisasi. Sehingga, darimana data itu diperoleh akan jelas dan mudah untuk croscheck ulang.

CONTOH PENGUMPULAN DATA (WAWANCARA)

Topik/Judul: Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Terhadap India dan Iran Mengenai Program Nuklir Pada Masa Periode Kedua Pemerintahan George W. Bush (2005-2009)


Guideline to interview:

Penelitian ini berusaha menemukan motif atau alasan-alasan dibalik sifat dualisme AS terhadap program nuklir India dan Iran. Sifat dualisme tersebut ditunjukkan dengan dukungan AS terhadap program nuklir India, sementara sangat menekan program nuklir Iran. Hal tersebut memunculkan pro-kontra dalam internasional yang memandang sikap AS sangat bertentangan dengan rezim nuklir yang dibentuk dibawah perjanjian non-proliferasi. Terkait dengan hal tersebut, maka peneliti sangat tertarik untuk meneliti “Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Terhadap India dan Iran Mengenai Program Nuklir Pada Masa Periode Kedua Pemerintahan George W. Bush (2005-2009).”

Pokok-pokok interview:

1. Bagaimana dinamika kebijakan luar negeri AS di masa pemerintahan George Bush?

2. Seperti apakah sifat-sifat dasar kebijakan luar negeri AS sebenarnya?

3. Terkait dengan kebijakan luar negeri AS, bagaimanakah sebenarnya AS memandang dunia internasional sebagai sebuah sistem yang sangat berpengaruh terhadap dinamika AS? Mengapa?

4. Dalam tahap implementasi kebijakannya, instrumen seperti apakah yang sering digunakan oleh AS untuk mencapai tujuan kebijakan tersebut? Mengapa?

5. Kalau dikaitkan dengan isu nuklir, bagaimana sebenarnya AS memandang isu tersebut di era kontemporer sekarang (pascaperang dingin)? Adakah strategi-strategi kebijakan AS untuk itu? Mengapa?

6. Terkait dengan isu nuklir India dan Iran, bagaimana AS memandang kedua isu tersebut? Mengapa?

7. Bagaimana sebenarnya AS menjalin hubungan politik dengan kedua Negara tersebut, terutama di era multipolar sekarang?

8. Apakah isu nuklir India dan Iran memiliki signifikansi terhadap strategi dan kebijakan nuklir AS terhadap dunia? Mengapa?

9. Hal mendasar apa yang membuat AS perhatian terhadap isu nuklir India dan Iran sehingga AS memilih untuk mendukung India dan menekan Iran dalam program nuklirnya?

10. Kesimpulan yang bisa anda sampaikan?

End of interview:

Gambaran umum dari hasil wawancara

Informan:

Pakar/Pengamat Sistem Politik AS;

Departemen Luar Negeri;

Departemen Pertahanan dan Keamanan;


REFERENSI.

Hariwijaya, M, Metodologi dan teknik penulisan skripsi, tesis, dan disertasi, elMatera Publishing, Yogyakarta, 2007

Rohman, Arif, Sosiologi, Intan Pariwara, 2004

Silalahi, Ulber, Metode penelitian sosial, Unpar Press, Bandung, 2006

Suyanto, Bagong & Sutinah (ed), Metode penelitian sosial: berbagai alternatif pendekatan, Kencana, Jakarta, 2005

Faisal, Sanapiah, Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar dan Aplikasinya. Malang: YA3, 1990

Konseptualisasi dan Operasionalisasi Konsep dalam Penelitian Ilmiah

KIPRAH METODE DERRIDA-SAUSSURE DAN STUDI LINGUISTIK-SEMIOTIK


Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang apa dan bagaimana operasionalisasi konsep dan konseptualisasi berlangsung dalam penelitian ilmiah, khususnya penelitian ilmiah yang bersifat sosial, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu tentang apa definisi dari konsep itu sendiri. Konsep adalah ide tentang suatu benda atau objek, baik benda atau objek yang konkret ataupun yang abstrak. Dalam hal ini, pengertian konsep masih umum atau general. Dikaitkan dengan teknik penelitian, terutama untuk tujuan analisis data dan perhitungan statistik, yang dimaksud dengan konsep adalah abstraksi yang dibentuk dengan menggeneralisasikan hal-hal yang khusus. Selanjutnya, definisi konseptual adalah batasan pengertian tentang konsep yang masih bersifat abstrak yang biasanya merujuk pada definisi yang ada pada buku-buku teks. Mochtar Mas’oed mendefinisikan bahwa konseptual ialah pernyataan yang mengartikan atau memberi makna suatu konsep atau istilah tertentu. Istilah tersebut lebih sering digunakan dalam metode penelitian kualitatif, khususnya sebagai pengganti istilah teori (kerangka teoritik) dengan mensyaratkan adanya beberapa kondisi tertentu (Mochtar Mas’oed, 1990:116). Definisi ini lebih bersifat hipotetikal dan “tidak dapat diobservasi” karena merupakan suatu konsep yang didefinisikan dengan referensi konsep yang lain yang bermanfaat untuk membuat logika proses perumusan hipotesa. Sementara itu, definisi operasional merupakan batasan pengertian tentang variabel yang diteliti yang di dalamnya sudah mencerminkan indikator-indikator yang akan digunakan untuk mengukur variabel yang bersangkutan. Namun demikian, sebaik-baiknya definisi operasional adalah definisi yang merujuk atau berlandaskan pada definisi konseptual. Menurut Koentjaraningrat, definisi operasional adalah suatu definisi yang didasarkan pada karakteristik yang dapat diobservasi dari apa yang sedang didefinisikan atau “mengubah konsep-konsep yang berupa konstruk dengan kata-kata yang menggambarkan perilaku atau gejala yang dapat diamati dan yang dapat diuji dan ditentukan kebenarannya oleh orang lain” (Koentjaraningrat, 1991:23). Dengan kata lain, definisi operasional variabel penelitian dalam penelitian merupakan bentuk operasional dari variabel-variabel yang digunakan, biasanya berisi definisi konseptual, indikator yang digunakan, alat ukur yang digunakan (bagaimana cara mengukur) dan penilaian alat ukur.


Definisi operasional dapat disusun didasarkan pada operasi yang harus dilakukan, sehingga menyebabkan gejala atau keadaan yang didefinisikan menjadi nyata atau dapat terjadi. Dengan menggunakan prosedur tertentu peneliti dapat membuat gejala menjadi nyata. Contoh: “Konflik” didefinisikan sebagai keadaan yang dihasilkan dengan menempatkan dua orang atau lebih pada situasi dimana masing-masing orang mempunyai tujuan yang sama, tetapi hanya satu orang yang akan dapat mencapainya. Dalam menyusun definisi operasional, definisi tersebut sebaiknya dapat mengidentifikasi seperangkat kriteria unik yang dapat diamati. Semakin unik suatu definisi operasional, maka semakin bermanfaat, karena definisi tersebut akan banyak memberikan informasi kepada peneliti, dan semakin menghilangkan obyek-obyek atau pernyataan lain yang muncul dalam mendifinisikan sesuatu hal yang tidak kita inginkan tercakup dalam definisi tersebut secara tidak sengaja dan dapat meningkatkan adanya kemungkinan makna variabel dapat direplikasi/ganda. Secara ilmiah definisi operasional digunakan menjadi dasar dalam pengumpulan data sehingga tidak terjadi bias terhadap data apa yang diambil. Dalam pemakaian praktis, definisi operasional dapat berperan menjadi penghilang bias dalam mengartikan suatu ide/maksud yang biasanya dalam bentuk tertulis.


Di lain pihak, mengenai konsep umum dalam ruang hubungan internasional, penelaahan kita bisa dimulai dari aspek sejarah dalam penelitian ilmiah dengan skala hubungan internasional. Kita tahu bahwa konsep universal HI banyak diturunkan oleh kaum positivis karena pencetusan terhadap teori-teori mainstream dalam HI, seperti realisme, liberalisme, dan marxisme, merupakan hasil dari kiprah postivist dalam HI. Salah satu contoh konsep yang sering kita dengan dalam ranah HI sebelum Perang Dingin berakhir adalah mengenai konsep power (kekuasaan). Di sini kita tahu bahwa perumusan mengenai konsep yang dicetuskan oleh Hans J. Morgenthau sebagai bapak realisme dunia telah menandai konstruksi power secara universal dalam lingkup HI. Selain itu, muncul juga nation-state sebagai aktor utama dalam HI, meskipun dalam perkembangannya aktor ini sudah tidak begitu mengambil peran utama dalam HI akibat multilateralisme, namun dengan tekstur dan konstruksi yang sudah begitu tertanam dalam ruang HI, maka secara universal pula konsep nation-state ini menjadi kekhasan dalam studi HI. Dapat dikatakan bahwa kedua contoh konsep yang saya sebutkan itu memiliki sifat umum dengan alasan adanya generalisasi pada setiap tesis atau pun hipotesis yang terbentuk mengenai konsep dua hal tersebut. Dan dampakanya adalah karena dua ide dasar dalam studi lama HI tersebut bersumber dari positivisme, maka jlas bahwa empirisme data fisik masih dijadikan patokan utama dalam studi HI.


Selanjutnya adalah pembahasan mengenai kiprah dan relevansi metode dekonstruksi-gramatologi Derrida dan metode strukturalisme Saussure bagi penelitian dalam studi HI. Pada dasarnya, dekonstruksi secara garis besar adalah cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik konsep-konsep dan keyakinan yang melekat pada diri kita selama ini dan di bawa ke hadapan kita. Menurut Derrida, dekonstruksi telah mengubah struktur pemahaman terhadap kata-kata yang tidak mampu menerangkan secara eksplisit subjek yang menjadi acuannya. Kesulitan ini lebih bermuara pada gaya prosa yang sulit ditembus atau dengan kata lain konsep dekonstruksi tidak didefiniskan secara cocok. Dekonstruksi yang dikemukakan oleh Jacques Derrida (1930) merupakan cara untuk membawa kontradiksi yang tersembunyi di balik konsep umum dan keyakinan pribadi seseorang. Dia juga menwarkan tentang keberadaan semiotika, yang digunakan untuk memeriksa dan menganalisis media selain teks tertulis, yang tidak beratur (semiotic of chaos). Derrida memaparkan tentang ciri dekonstruksinya yang menolak kemapanan, meniadakan obyektivitas tunggal dan stabilitas makna, serta membuka ruang kreatif seluas mungkin bagi proses interpretasi dan pemaknaan. Secara pribadi, Derrida mengakui bahwa istilah dekonstruksi sulit dijelaskan dengan kata-kata biasa. Selain itu, kelemahan yang ada dalam dekostruksi tidak dijelaskan secara spesifik (eksplisit), membentuk retailisme makna, chaos dalam pemaknaan, dan sebagainya. Sedangkan di sisi yang lain, muncul Saussure dengan srukturalismenya. Saussure yang mempopulerkan semiotik dan linguistik dengan makna bahasa dari sistem tanda ini, memahami bahasa sebagai bentuk, bukan sebagai substansi, atau dengan arti lain bahwa sistem tanda yang diorganisasikan berdasarkan aturan-dalam (intern). Dia membedakan bahasa langue (bahasa) dari parole (omongan) yang diletakkan secara tertentu dan mengatur hubungan satu sama lain. Dalam kondisi ini, strukturalisme digunakan untuk mendefinisikan struktur sistem yang baur memproduksi makna dan arti tiap elemen, relasi di antara obyek yang kompleks. Sama seperti metode dokonstruksi-gramatikal Derrida, metode strukturalisme Saussure ini juga memiliki beberapa kelemahan, salah satunya menurut Giddens adalah bahwa strukturalisme Saussure ini seperti usaha pembangkitan perubahan sosial semu dalam masyarakat. Relevansi konsep ini dalam studi HI tergolong lemah, dengan alasan utamanya adalah belum terbentuknya universalitas makna, menenggelamkan objektivitas (generalisasi) teori mainstream yang sekian lama dipegang oleh ilmuan HI.


Dari pemaparan di atas, ada beberapa hal yang dpat disimpulkan dalam esai ini, yaitu yang pertama adalah bahwa aspek linguistik dan semiotik yang dijelaskan dalam sebelumnya lenih cenderung ke arah penelitian kualitatif dengan tanda-tanda tertentu sebagai pengganti makna dan meruntuhkan teori atau generalisasi konsep yang ada. Dan jujur, para pakar penelitian ilmiah sosial tentu saja memiliki perbedaan dalam menerapkan alikasi operasionalisasi konsep dan konseptualisasinya dalam menjalankan penelitian ilmiah di ranah sosial, khususnya studi HI.


Referensi.

Kerlinger, Fred. N. 2000. Asas-Asas Penelitian Behavior (eds. 3). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Alih bahasa : Landung Simatupan

Mas’oed, Mochtar. 1990. Konsep Hubungan internasional : Kepentingan NasIonal, Power, Integrasi, Deterrence. Ilmu Hubungan Internasional. Jakarta: LP3ES. Hal 116

Sugiana, Dadang. Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung.2008

Crano, William. D dan Brewer, M.B. 2002. Principle and Methods of Social Research: Second Edition. London : Lawrence Erlbaum Associates Publisher. pp 3-11

Wijaya, Bambang Sukma. 2006. Model Semiotika TTS (Redekonstruksi) Kajian Kritis Semiotika Dekonstruksi Derrida

http;//www.unikom.ac.id/rb/bab8. BAB VIII (diakses pada 14 November 2009)

http://www.ptik.polri.go.id/materi/MODUL. Metodologi Penelitian (diakses pada 14 November 2009)

http://www.scribd.com/doc/10712476/BAB-2-Konsep-Dan-Variabel. (diakses pada 14 November 2009)