Special for your loving life...

...Do the best for our life...

Showing posts with label Resolusi Konflik Global. Show all posts
Showing posts with label Resolusi Konflik Global. Show all posts

Sunday, 20 February 2011

Consultation and Accountability: Building Democracy Through Benevolent Autocracy

Aksi-aksi spesifik berikutnya yang dibahas dalam studi resolusi konflik kali ini lebih menyoroti pada usaha khusus yang dijalankan pasca konflik dari aktor-aktor yang telah mengalami konflik. Dlaam hal ini, dapat diketahui bahwa negara tersebut berada pada posisi dimana negara tersebut akan memiliki satu fase dimana terjadi transisi menuju restabilisasi negara yang bersangkutan. Yang terjadi dalam fase ini, biasanya diberlakukannya suatu pemerintahan transisi dalam rangka mengembalikan negara menjadi stabil kembali pasca konflik, dan salah satunya membentuk suatu administrasi transisi negara oleh PBB. Hal ini menyikapi suatu kondisi yang tidak stabil, dimana jika suatu negara yang porak poranda pasca konflik tidak segera diatur oleh pihak yang lebih berdaulat, tentu masyarakat tidak mudah menuruti apa yang dikatakan oleh pemerintah yang ada dan dalam kondisi lemah. Karenanya, metode yang dipakai biasanya lebih otoriter, namun masih dalam batas kewajaran. Dan apabilaPBB berani melakukan hal-hal otoriter yang melewati batas kewajaran, tentu dunia tidak akan tinggal diam.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sebagai salah satu pijakan utama dalam konsultasi dan akuntabilitas, demokrasi menyediakan landasan kebebasan dan persamaan didalamnya. Maksud dari hal ini adalah bahwa demokrasi merupakan jawaban dari keraguan maupun kebimbangan dalam menuju stabilitas sebuah negara. Namun, dalam fakta yang ada, metode yang dipakai pun, biasanya bukan langsung demokratis. Dan dari dinamika yang ada, diharapkan bahwa metode awal yang dijalankan, akan berkembang menjadi sistem pemerintahan yang benar-benar berlandaskan sistem demokrasi. Hanya kemudian dari demokrasi tersebut, peran pemerintah sangat vital untuk menjaga akuntabilitas demokrasi.

Salah satu kasus nyata mengenai pemerintahan transisi adalah seperti apa yang terjadi negara yang pernah menajadi bagian dari Indonesia, yaitu Timor Timur. Keberadaan UNTAET pada waktu itu juga ikut menyokong pemerintahan baru bagi Timor Timur, dimana UNTAET yang dikirim oleh PBB, melakukan usaha-usaha seperti melakukan interaksi interaksi secara langsung dengan masyarakat serta konsultasi pada actor-aktor local untuk mengembangkan konsep yang sesuai agar tercipta karakter masyarakat yang demokratis dan tidak bertolak belakan dengan budaya setempat. Mengingat demokrasi sendiri, setiap negara mengartikannya berbeda-beda. Hal ini dikarenakan budaya setiap bangsa berbeda, dan jika pun menganut faham demokrasi, tidak boleh menghilangkan budaya bangsa secara keseluruhan. Bangsa mana yang mau budayanya tergerus oleh satu paham yang baru saja masuk ke tubuh negaranya. Selain itu adapula penerapan pemerintahan transisi di Kosovo, yang dilakukan oleh UNMIK dari PBB. Mereka menekankan usaha pembentukan otokrasi bagi rakyat dipemrintahan suatu negara yang masih tergolong lemah. Dan untuk megimbangi otokrasi yang berjalan di dalam pemerintahan transisi ini, dipelukan adanya konsultasi dan akuntabilitas oleh pemerintah transisional kepada PBB selaku lembaga yang member mandat dan tugas atas berlakunya pemerintahan transisi di negeri orang tersebut. Pemerintahan transisional harus membuat laporan setiap perkembangan kondisi yang ada di wilayah yang sedang diduduki guna mengetahui grafik perkembangan masyarakat yang berada di negara yang bersangkutan untuk menghindari kesewenang-wenangan dari mandat PBB yang diberikan oleh organisasi khusus sebagai pemerintahan transisi yang ditempatkan di suatu negara.

Referensi.

Anon. Consultation and Accountability : Building Democracy Through Benevolent Autocracy

Phillips, Anne. 1998. “Democracy and Representation: Or, Why Should it Matter Who Our Representatives Are?, dalam Feminism and Politics. New York: Oxford University Press.

Weak States and International Legitimacy

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, weak states merupakan kondisi pemerintahan yang lemah, ketidakberdayaan institusi dalam sebuah negara menjasi satu masalah serius dalam level internasional pada saat ketidakstabilan di dalamnya mulai merongrong sistem internal-eksternal yang dimilikinya. Dan akhirnya berujung pada munculnya weak atau failing state yang menjadi masalah paling penting dalam international order, khususnya di era pasca Perang Dingin. Pada tahap selanjutnya, masalah yang dihadapi mulai muncul, khususnya dalam keadaan seperti itu. Dan ini mulai memunculkan pertanyaan krusial, siapakah kemudian yang berhak atau memiliki legitimasi untuk menyelesaikan masalah yang ada dalam negara tersebut. Pemerintah di dalamnya bahkan sudah tidak memiliki legitimasi untuk itu. Kedaulatan negara lain apalagi.

Sebuah negara diidentifikasi lemah ketika kemampuan untuk penyediaan political goods sudah tidak ada. Berbeda dengan negara kuat yang bercirikan adanya demokrasi, legitimasi, dan sovereignity, hingga ketiganya bisa menghasilkan self defence bagi suatu negara yang bersangkutan. Di lain pihak, lemahnya sebuah negara mungkin bukan semata karena secara alamiah lemah namun karena problem manajemen sumber daya. Oleh karena itu negara lemah (weak state) seringkali diwarnai dengan konflik etnis dan religious, urban crimes, infrastruktur terbengkalai, sekolah dan rumah sakit diabaikan, GDP per capita menurun, korupsi, dan sebagainya. Sejak pasca Perang Dingin, banyak contoh kasus yang masuk dalam kondisi ini, diantaranya beberapa contoh kasus lemahnya pemerintahan negara hingga melibatkan pihak internasional antara lain: Somalia, Haiti, Kamboja, Bosnia, Kosovo, Rwanda, Liberia. Sierra Leon, Kongo, Timor Timur. Komunitas internasional dikerahkan untuk berusaha meredamkan konflik yang terjadi di negara-negara tersebut. Di sisi yang lain, jika dalam negara lemah konflik cenderung horizontal tanpa mengancam penguasa, maka dalam kasus negara gagal konflik yang terjadi berorientasi vertikal dan mengancam penguasa (status quo). Oleh karena itulah, yang terjadi di Zaire, Sierra Leone, Nigeria, dan Somalia adalah kasus failed states, karena yang terjadi adalah perebutan kekuasaan politik.

Sementara itu, ada pula kasus yang lebih spsifik, yaitu goyahnya konstelasi nasional atau domestik yang dialami oleh Kamboja dan Myanmar. Hal ini dapat ditinjau dari situasi dimana Kamboja menyadari adanya kemungkinan matinya negaranya saat konflik, berbeda dengan Myanmar, Kamboja bersikap terbuka terhadap intervensi asing dalam resolusi konflik negara tersebut. Pihak luar yang berinisiatif untuk ikut berusaha menyelesaikan konflik yang ada sdilakukan oleh intervensi ASEAN terhadap konflik di Kamboja. Sedangkan, di Myanmar sendiri, karena sikapnya yang tidak menginginkan intervensi asing dalam konflik negaranya, sangat susah untuk ikut menyelesaikan konflik yang terjadi. Akibatnya, konflik di Myanmar terus berlangsung dalam waktu yang lama.

Kesimpulan yang dapat diperoleh adalah bahwa keberhasilan suatu legitimasi internasional bergantung pada seberapa kuat kedaulatan yang ada dalam suatu negara yang bersangkutan. Semakin lemah kedaulatan yang ada dalam suatu negara, contohnya Kamboja, maka pihak asing dapat dengan mudah masuk dan intervensi dunia luar pun tidak akan mengalami kesulitan. Sedangkan di Myanmar, kedaulatan pemerintah masih cukup kuat, yang mana pemerintahannya lebih memilih mengisolasi negara dari dunia luar, sehingga intervensi pun slit dilakukan.

Referensi.

Anon. Weak States and International Legitimacy

Rotberg, Robert I.. 2002. “Failed States, Collapsed States, Weak States: Causes and Indicators”

State Formation: You, The State and The Future of State Building

Pada tataran selanjutnya, salah satau aksi lanjutan dari resolusi konflik adalah untuk membentuk suatu aksi yang berujung pada orientasi kebijakan state building. Dan ini juga merupakan tantangan lanjutan yang dijalankan oleh suatu negara pasca berkonflik. Fase yang disebut sebagai fase state building ini menggambarkan tentang bagaimana negara berusaha bangkit dari keterpurukannya. Keadaan negara pasca konflik merupakan keadaan no government atau tidak ada pemerintahan. Dengan tidak adanya kepercayaan secara penuh oleh rakyat terhadap pemerintah, hal ini mendorong pihak internasional (PBB) untuk ikut ambil andil dalam usaha untuk membangun kembali suatu negara yang telah hancur pasca konflik. Keadaan tidak ada pemerintahan ini harus segera diakhiri dengan membentuk pemerintahan yang baru. Pemerintahan yang baru inilah yang akan menentukan masa depan negara selanjutnya.

Dari beberapa sumber hubungan internasional yang ada, state building seringkali dimengerti sebagai upaya institusional dari sebuah pemerintahan atau negara dalam mengembalikan vitalitas (revitalisasi) kedaulatan negara sehingga tata kelola masyarakat dapat sinergis dengan tujuan nasional. Dalam konteks resolusi konflik global, state building adalah tahapan post-settlement resolution yang mengandalkan pembangunan institusi vital negara yang berpengaruh signifikan terhadap stabilitas negara tersebut. Sementara itu, di sisi lain Fukuyama berpendapat bahwa state building bukan saja sebagai tahapan resolusi konflik, namun lebih merupakan usaha negara untuk membentuk long-lasting stability, baik dalam aspek ekonomi dan politik. Pentingnya state building adalah determinasi suatu negara untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi. Namun, permasalahan muncul, khususnya ketika kebijakan pemerintah menghadapi dilema kebijakan, yaitu antara kebijakan yang berorientasi ke politik dan kebijakan yang berorientasi ke ekonomi. Dan ini memunculkan dilema bagi pemerintah.

Satu kasus yang merujuk pada pembentukan aksi state building adalah kasus yang terjadi Irak pasca invasi Amerika Serikat ke negara tersebut. Invasi Amerika dan sekutunya pada tanggal 20 Maret 2003 ke Irak telah menurunkan Sadam Hussein dari pemerintahan. Setelah robohnya pemerintahan Sadam, bukan berarti masalah disana selesai, masalah yang dihadapi kemudian adalah bagaimana dan siapa yang kemudian akan mengisi kekosongan pemerintahan sesudahnya. State building di Irak sepertinya akan mengalami banyak kendala jika ditinjau dari segi legitimasi pemerintahan yang berkuasa di antara suku-suku yang sering terlibat disintegrasi. Dari perkembangan situasi yang berlangsung di sana, banyak pengamat yang berpendapat bahwa Irak pasca Saddam akan selalu dibayangi oleh Amerika sebagai negara yang telah menginvasi Irak. Keadaan tersebut membuat keamanan di Irak semakin tidak menentu dari hari ke hari. Perlawanan demi perlawanan dilakukan oleh sebagai suatu penolakan terhadap keberadaan militer AS dan sekutunya di Irak. Masalah lain yang juga kemudian menghambat proses state building di Irak adalah masalah komposisi penduduk Irak yang sifatnya heterogen. Integrasi pasca konflik dirasa sangat sulit untuk diwujudkan. Banyaknya suku disana, juga berpotensi menimbulkan konflik baru. Dari kenyataan ini, dapat dikatakan bahwa tidak semua intervensi yang dilakukan pihak administrasi internasional dalam usahanya memulihkan suatu negara pasca konflik akan berhasil dalam kenyataannya.

Referensi.

Fukuyama, Francis. 2004. “The Imperative of State-Building”, dalam Journal of Democracy, Vol. 15, No. 2.

Justice and The Rule of Law in Post Conflict Territories

The law building dalam teritori pasca perang menjadi penting mengingat perang atau konflik telah menghancurkan pranata-pranata sosial maupun hukum yang ada, sehingga perlu pembangunan pranata-pranata tersebut kembali. Dan ini merupakan salah satu problem yang dihadapi oleh suatu teritori pasca perang adalah bagaimana upaya untuk menegakkan hukum disana. Gambaran kondisinya dapat dideskripsikan dengan suatu parameter dimana pembangunan kembali institusi sosial pacsa perang tidak mudah untuk dilakukan karena membutuhkan kepercayaan atas pembangunan institusi sosial tersebut. Sementara itu, perang atau konflik yang terjadi secara tidak langsung membawa dampak yang luar biasa besar bagi masyarakat dan juga institusi-institusi negara sehingga kondisi pasca perang dapat digambarkan sebagai kondisi yang chaos, tidak hanya karena situasi yang berantakan tetapi juga absenya institusi-institusi sosial sehingga tatanan masyarakat menjadi kabur dan tak menentu. Ada beberapa kasus nyata yang dapat diindikasikan sebagai gambaran forntal terkait situasi tersebut, diantaranya konflik-konflik yang terjadi di Yugoslavia, Rwanda, Somalia dan pemberontakan Serbia. Konflik-konflik tersebut merupakan contoh dimana basis kehidupan masyarakat telah sangat rusak sehingga untuk membentuk kembali sebuah tatanan sosial yang terstruktur adalah sangat sulit. Kolaborasi dari paramiliter dengan unit militer menghasilkan sebuah konflik yang tidak hanya bertujuan penghancuran, namun juga membawa teror bagi basis kehidupan masyarakat.

Untuk itulah pembangunan kembali ini menjadi penting. Namun, karena upaya pembangunan kembali ini cukup susah dilakukan tanpa adanya kepercayaan atau legitimasi atas institusi sosial yang ada maka perlu dilakukan beberapa penyesuaian. Dan menyikapi hal tersebut, diperlukan sebuah skema yang pantas dan mampu mengembalikan sistem-sistem negara yang telah hancur, dan dalam hal ini yang disoroti adalah pada sistem hukum. Mengambil dari beberapa literatur yang ada, salah satu skema yang dapat dijadikan pilihan adalah pengadilan atau skema yudisial internasional dengan landasan transitional justice atau keadilan transisional. Dikatakan transisional karena skema ini mendasarkan pada pembentukan keadilan berdasarkan segmentasi aktor kejahatannya. Dapat diketahui bahwa fokus dari skema yudisial internasional adalah untuk mengidentifikasi beberapa hal penting, diantaranya: Pertama, pihak yang tidak terindikasi sebagai penjahat namun diuntungkan dengan adanya konflik yang terjadi. Kedua, negara diluar kawasan konflik yang sekiranya aksi atau reaksinya berkontribusi terhadap terjadinya atau membesarnya konflik. Dan yang ketiga, pihak yang tidak aktif berpartisipasi dalam konflik, namun juga pasif dalam penghentian konflik atau yang disebut sebagai the bystanders. Dapat dikatakan bahwa dengan identifikasi semacam ini maka publik akan mendiferensiasikan antara yang salah dan yang benar. Fokus dari skema yudisial ini adalah pengarahan aktor yang bersalah pada pemimpin rezim kejahatan yang menimbulkan konflik.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ada beberapa kasus yang melibatkan gambaran kondisi ini. Dimana salah satu penyesuaian yang mungkin dilakukan adalah dengan melibatkan third party atau aktor selain negara untuk ikut membangun kembali pranata sosial dna masyarakat. Hal ini sesuai dengan diktum yang menyatakan bahwa fokus dari keterlibatan aktor internasional dalam teritori pasca perang adalah mengadakan transitional justice. Hal ini bisa dilihat pada bentuk-bentuk asistensi aktor internasional dalam upaya transitional justice ini bisa dilihat dair serangkaian misi yang dilakukan oleh PBB di berbagai wilayah pasca perang (Kosovo, Timor Timur, Bosnia, dll). Asistensi dalam transitional justice ini dilakukan untuk membangun terlebih dahulu situasi dalam teritori pasca perang sehingga menjadi lebih damai, mengingat kondisi yang damai memungkinkan untuk diterapkannya justice dalam masyarakat.

Referensi.
Anon. Justice and Reconciliation : The Rule of Law in Post-Conflict Territories.

Rose-Ackerman, Susan. Establishing The Rule of Law

Fletcher, E. Laurel & Harvey M. Weinstein. 2002. “Violence and Social Repair: Rethinking the Contribution of Justice to Reconciliation”, dalam Human Rights Quarterly 24. The John Hopkins University

Humanitarianism and Weak States Case of International Administration

Pada materi ini, definisi hukum humaniter adalah bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang . Terdapat pula kerangka hukum humaniter yang dapat diartikan sebagai prinsip dan peraturan yang memberi batasan terhadap penggunaan kekerasan pada saat pertikaian bersenjata. Oleh karena itu, hukum ini dibuat untuk membatasi penggunaan kekerasan akibat dari konflik bersenjata, dan melindungi individu-individu yang tidak terlibat secara aktif dalam perang. Istilah hukum humaniter pada awalnya dikenal dengan sebutan hukum perang, yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata, dan pada akhirnya dikenal dengan hukum humaniter. Sehingga berujung pada adanya tujuan dari hukum humaniter, diantaranya: Pertama, memberi perlindungan pada seseorang yang tidak, atau tidak lagi, terlibat secara langsung dalam pertikaian – orang yang terluka, terdampar, tawanan perang dan penduduk sipil dan kedua membatasi dampak kekerasan dalam pertempuran demi mencapai tujuan perang.

Sementara itu, terkait dengan humanitarianisme di negara-negara lemah, negara lemah atau yang disebut dengan weak states, adalah kondisi suatu negara dimana pemerintahan yang ada di dalamnya sudah tidak dapat lagi mengatur dan menjadikan negara tersebut mapan secara politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Jika sudah terjadi demikian, biasanya negara tetangga akan sedikit melakukan intervensi (sejauh itu masih tidak melanggar batas-batas kewajaran). Namun jika sudah parah, maka biasanya yang akan turun tangan adalah badan yang menjadi wadah persatuan negara-negara dunia, yakni PBB. Dan salah satu intervensi yang dilakukan sebagai rongrongan aktor negara ke negara lain adalah pada lahan yang bersifat humaniter, atau yang disebut sebagai humanitarian intervension. Pada area ini, yang lebih disoroti adalah ruang hubungan yang lebih menitikberatkan pada masalah sosial, baik itu berupa bantuan material terhadap korban-korban dan para pengungsi negara yang sedang berkonflik, maupun bantuan mencarikan solusi untuk menyelesaikan konflik yang sedang berlangsung, seperti menyelenggarakan perjanjian-perjanjian, gencatan senjata atas nama kemanusiaan. Namun dalam hal ini, Hukum humaniter berbeda dengan hukum HAM. Hukum HAM berlaku pada setiap keadaan baik dalam kondisi damai atau perang. Sedangkan hukum humaniter berlaku hanya pada saat terjadi nya perang bersenjata. Manifestasi dari hukum ini adalah melindungi orang-orang yang tidak terlibat aktif dalam perang.

Salah satu kasus yang menggambarkan hubungan hubungan hukum humaniter dan negara-negara lemah adalah seperti kondisi dan situasi yang terjadi di Somalia. Dalam studi hubungan internasional, status negara ini dapat dikatakan sebagai negara gagal, atau negara paling gagal, yang diakibatkan dari kelemahan pemerintah yang berdaulat untuk mengatur sistem-sistem internal yang ada di dalamnya. Pemberontakan terjadi dimana-mana. Kelaparan dan penyakit sudah menjadi teman sehari-hari. Dan hal ini secara tidak langsung membuat kriminalitas di Somalia semakin meningkat. Pada dinamika selanjutnya, muncul aksi intervensi. Dan berujung pada kegagalan intervensi tersebut. Mulai dari negara-negara tetengganya, PBB, Amerika Serikat, semuanya gagal. Dalam kasus ini, hal penting yang perlu dipahami adalah bahwa rakyat lebih merasa dilindungi oleh kelompok islam yang dianggap pemberontak oleh pihak pemerintah yang berkuasa. Sementara itu PBB, AS, serta negara-negara tetangganya ada pada pihak pemerintah. Humanitarian intervension pun hanya berperan dalam memenuhi kebutuhan fisik di Somalia, sehingga konflik ini menjadi abadi di sana. Namun hal ini saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah yang ada. Dan yang dibutuhkan Somalia adalah perdamaian agar bisa membentuk negaranya kembali yang telah gagal.

Referensi.

www.elsam.or.id (diakses pada 29 November 2010)

www2.ohchr.org (diakses pada 29 November 2010)

Presentasi dan aufklarung dari dosen di kelas resolusi konflik tanggal 1 Desember 2010