Special for your loving life...

...Do the best for our life...

Showing posts with label Globalization and Informational Society. Show all posts
Showing posts with label Globalization and Informational Society. Show all posts

Sunday, 20 February 2011

Informational Politics and The Crisis of Democracy

Komposisi eksistensi sebuah politik yang dijalankan oleh suatu kekuasaan tertentu tidak bisa dilepaskan dari adanya faktor utama yang menjadi inti proses politik tersebut, yaitu power dengan integritas yang memadai. Sementara itu, bila ada sebuah kekuasaan yang berlaku, tentu ada pihak-pihak yang menjalankan aturan dan mengikuti pola perpolitikan tersebut. Dan dalam hal ini, dibutuhkan sebuah alat yang dapat digunakan untuk menyampaikan apa yang digaungkan oleh sang penguasa dengan kekuasaannya tersebut, terhadap pihak-pihak yang harus menjalankan prosedur atau limpahan power tersebut. Dan di sini, satu fokus utama yang dapat diambil adalah kebutuhan sebuah informasi dan media yang dapat menghubungkan antara penguasa pemilik power kepada pihak sebagai objek yang dinaungi oleh kekuasaan tersebut.

Perkembangan kancah politik internasional, khususnya hubungan antara satu nation-state dengan nation-state lainnya, serta antara nation-state dengan aktor-aktor non-state, telah melebarkan studi hubungan internasional ke arah yang lebih kompleks. Ada banyak karakteristik yang mendeskripsikan bagaimana kekompleksitasan tersebut. Fakta pertama yang dapat dijadikan contoh adalah adanya pengaburan batas-batas nation-state yang pada akhirnya membingungkan para ilmuan sosial tentang definisi nyata sebuah kewarganegaraan (citizenship). Selanjutnya, kompleksitas politik internasional juga mulai menyerang pada sistem inti sebuah kekuasaan dengan ketiadaan definisi resmi tentang power yang dimiliki oleh aktor internasional. Dan hal ini memberikan akibat nyata terhadap regulasi sosial dengan mencairnya kontrol sosial dan menyebarnya kompetisi politik ke beberapa pihak. Selain itu, kompleksitas yang ada juga menandakan adanya kebangkitan komunalisme, dalam bentuk khusus, yang mampu melemahkan prinsip-prinsip hubungan politik yang menjadi dasar sebuah politik demokrasi. Di sisi lain, ketidakmampuan nation-state dalam mengontrol aliran kapital dan format keamanan sosial, semakin melemahkan relevansinya dalam mengatur warga negaranya. Sementara itu, kompleksitas yang ada juga memunculkan tekanan-tekanan dalam institusi-institusi lokal pemerintahan yang meningkatkan jarak antara mekanisme kontrol politik dan manajemen masalah global yang dialami oleh nation-state itu sendiri. Dan hal ini diperparah dengan kekurangan pada sektor kontrak sosial, khususnya antara faktor kapital, tenaga kerja, dan negara itu sendiri, yang akhirnya membawa karakteristik individual pada semua pihak untuk bertarung pada pemenuhan kepentingan individu masing-masing, penghitungan kepentingan secara eksklusif, khususnya dalam usaha mereka sendiri. Dan fakta ini semakin melemahkan daya power nation-state untuk mengontrol regulasi pengaruh kekuasannya yang semakin kabur, walaupun dalam sektor lokal. Konteks dari kompleksitas masalah dalam area hubungan internasional, khususnya yang dialami oleh aktor nation-state, pada dasarnya telah mengaburkan sistem power yang ada yang berkaitan dengan penerapan demokrasi liberal yang semakin banyak dijalankan oleh nation-state yang ada dalam sistem internasional dewasa ini. Dan dari fakta itu, permasalahan yang ada akhirnya melemahkan dua postulat demokrasi liberal yang pernah dilontarkan oleh ilmuan sosial, Guehenno (1993), diantaranya adalah eksistensi sebuah atmosfer politik, situs konsensus sosial dan kepentingan umum; dan yang kedua merupakan eksistensi dari aktor-aktor yang menyediakan energi mereka, yang berusaha memenuhi hak-hak mereka dan memanifestasikan kekuatan mereka. Kondisi dari melemahnya postulat demokrasi liberal Guehenno ini, dapat dilihat dari contoh nyata yang terjadi pada model-model pemerintahan Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa, yang sering menumbuhkan berbagai konfrontasi kepentingan pada arus lokal.

Gambaran singkat mengenai kondisi peningkatan kepentingan yang semakin personal dalam berbagai aspek yang ada dalam sistem pemerintahan suatu negara, khususnya yang menyangkut sektor-sektor spesifik, pada akhirnya membawa krisis bagi paradigma yang lama dibawa oleh negara-negara Barat dan akhirnya tersebar ke ranah internasional. Paradigma itu terdapat pada perspektif demokrasi negara yang mengalami pergeseran secara dinamis. Hal ini juga berhubungan dengan keberadaan arus informasi yang semakin mengglobal di era baru, khususnya era pasca Perang Dingin, dengan kemenangan pada pihak AS. Sama seperti apa yang telah dicontohkan sebelumnya, bahwa dampak dari merebaknya demokrasi di negara-negara Barat hingga munculnya kepentingan-kepentingan yang bersifat personal, akhirnya juga meruntuhkan nilai murni dari demokrasi itu sendiri. Pada dasarnya, demokrasi merupakan satu perspektif yang masuk ke dalam permainan politik, baik political game domestik atau dalam kancah internasional. Permainan politik ini melibatkan begitu banyak aspek yang saling mengaitkan dengan perkembangan dalam sistem internasional. Dan hal ini tak terlepas dengan kemajuan signifikan yang dialami oleh perkembangan tekonologi dan informasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa ketergantungan konsep demokrasi dan implementasinya, dari aktor berkuasa kepada mereka yang menerima pengaruhnya, mau tidak mau mendapat pengaruh dari bagaimana kemajuan teknologi informasi mengambil andil dalam ranah tersebut. Dari kondisi ini, akhirnya muncul dua konsep yang saling berlawanan namun berhubungan, yaitu apakah perkembangan informasi (dalam hal ini khususnya bagi perkembangan media elektronik) mendominasi politik, ataukah sebaliknya.

Kondisi ini akhirnya membentuk kerucut pemahaman ke beberapa contoh kasus yang melibatkan antara ideologi dengan penerapannya serta ideologi dengan media informasi sebagai ranah internasional yang tidak bisa dilepaskan. Salah satu contoh kasus dari penerapan demokrasi di dalam suatu nation-state adalah keberadaan pemilihan umum untuk memilih kepala negara, kepala pemerintahan, atau mereka yang bisa mewakili aspirasi rakyat. Pemilihan umum tersebut tidak bisa dilepaskan dari kegiatan kampanye, dimanan kegiatan ini mulai membawa eksistensi media dalam menyampaiakan amanat, pendapat, dan ungkapan kebijakan serta janji-janji dari sang calon pemimpin melalui media informasi. Dapat ikatakan bahwa media membawa aspirasi rakyat sedangkan media juga menyampaikan janji calon pemimpin untuk memenuhi target-target yang diinginkan oleh rakyat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang menghubungkan antara rakyat dengan pihak-pihak yang berkutat dalam urusan yudikatif, legislatidf, eksekutif dan lainnya adalah media informasi. Dapat dikatakan bahwa media merupakan akar dalam masyarakat, dan iteraksi mereka dengan proses politik yang dimiliki pemerintah cukup tinggi kompleksitasnya. Dan hal ini juga tergantung dari konteks, strategi yang dimiliki oleh aktor, dan interaksi spesifik antara sosial, budaya dan format politik dari nation-state itu sendiri.

Sementara itu, apabila dikaji lebih dalam mengenai hubungan antara demokrasi dari sisi politik dan perkembangan informasi dalam ranah hubungan internasional, maka muncul suatu konsep baru tentang hubungan tersebut, yaitu konsep informational politics. Hal ini juga seperti yang diungkapkan oleh Bobbio (1994), bahwa muncul sebuah transformasi politik dalam ranah informasi, ‘the transformation of politics and democratic processes, in the network society is even deeper than presented in these analysis... this technological dimension interacts with the broader trends characteristic of the network society, and with the communal reactions to the dominant process emerging from this social structure’. Dari sini jelas bahwa konteks demokrasi murni dari segi original political concept mulai mengalami pergeseran, dengan kata lain muncul tendensi krisis. Dari beberapa pihak atau aktor, dengan adanya peleburan dan korelasi antara politik dan informasi, dalam hal ini ada pada sisi demokrasi, munculnya kondisi ini mungkin tidak bisa memaksimalkan kebutuhan konsep negatra dengan sistem demokrasi yang asli. Namun, keberadaan konsep atau paradigma baru ini juga membawa manfaat tertentu, khususnya bagi negara-negara Barat yang lebih teguh eksistensinya dengan sistem demokrasi yang bisa bermanuver dengan perkembangan informasi yang ada. Oleh karena itu, sebutan krisis pada demokrasi dalam tulisan ini, sekali lagi tergantung bagaimana negara mengimplementasikan sistem demokrasi pemerintahannya sejalan dengan tabrakan perkembangan informasi yang semakin besar.

Referensi

Castells, Manuel. 1997. “Informational Politics and the Crisis of Democracy”, dalam the Power of Identity, Oxford: Blackwell Publisher, pp. 309-353.

Information Society and The Rise of Prosumer

Pada ranah kebangkitan masyarakat informasi di dunia hubungan internasional, kajian krusial yang tidak dapat dilepaskan pengaruhnya adalah pada sistem ekonomi. Sistem utama yang menegaskan tentang adanya dua faktor inti, yaitu produsen dan konsumen dan hasil produksi, juga mengalami fase dan perkembangan sesuai dinamika di dalamnya. Sementara itu, tulisan ini akan menguraikan begitu banyak ulasan mengenai satu konsep baru, gabungan antara pembuat barang produksi (produser) dan pemakainya (konsumer), yaitu prosumer, disertain dengan kebangkitannya di era masyarakat informasi.

Pola perkembangan aktor prosumer dapat ditinjau dari satu kasus yang terjadi di Eropa sekitar tahun 1970-an, dengan munculnya produk atau alat tes kehamilan yang menyerbu pasar farmasi di negara-negara tersebut. Pola yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, dimana dokter khusus yang akan melakukan tes kehamilan dengan cara medis, namun, pada tahun-tahun tersebut, kegiatan itu sudah bisa dilakukan oleh konsumer dari tes kehamilan tersebut. Dalam perkembangannya, bukan hanya alat tes kehamilan itu saja yang diproduksi untuk masyarakat umum, namun mulai berkembang ke arah alat-alat medis lain yang pemakaiannya di area rumah tangga. Sama seperti alat tes kehamilan tadi, sebelumnya alat-alat medis seperti irigator hidung, pembersih telinga, dan lain-lain, semuanya hanya dikhususkan untuk dokter atau pihak-pihak yang memiliki kewenangan tertentu dalam sektor medis, akan tetapi dalam perkembangannya, sektor tesebut akhirnya dikonsumsi oleh masyarakat yang bukan dari golongan medis. Kasus-kasus ini adalah awal dari kebangkitan prosumer seperti yang akan dijelaskan lebih lanjut dalam tulisan ini. Uraian di atas menjelaskan tentang pergeseran dari pola konsumsi masyarakat yang mulai menegaskan tentang penanganan problematika sendiri (swadaya). Pendapat yang muncul yang mengiringi penegasan itu adalah ‘daripada membayar orang lain untuk melakukan penanganan, akan lebih baik melakukan sendiri dengan alat-alat yang sudah ada di pasara’. Dan untuk menjelaskannya secara rinci, uraian-uraian Alvin Toffler bisa menjadi panduan untuk memahaminya secara lebih detail.

Menyikapi kondisi ini, Toffler mulai menguraikan penjelasannya secara historis. Dimulai dari munculnya fase-fase revolusi masyarakat ekonomi dari beberapa peradaban sebelumnya hingga era masyarakat informasi, diantaranya revolusi agraria, revolusi industri, dan revolusi prosumen. Dalam menguraikan secara keseluruhan, Toffler juga menjelaskan tentang tiga gelombang utama yang menengarai tentang perkembangan dan kebangkitan prosumer. Dimulai dari gelombang pertama, gelombang ini ditandai dengan adanya kegiatan yang melibatkan masyarakat yang mengkonsumsi apa yang mereka produksi sendiri. Mereka bukan profesor atau konsumen dalam pengertian sebenarnya, tapi mereka cenderung ke arah aktor prosumer dengan konsep lama di era tersebut. Dinamika berikutnya mengarah ke gelombang kedua, dengan pecahnya revolusi industri menggantikan revolusi agraria. Revolusi ini melahirkan dua aktor ekonomi dan memisahkannya kinerjanya menjadi produsen dan konsumen. Dan kondisi ini sekaligus mengakibatkan penyebaran pusat pasaran atau pertukaran jaringan kerja. Di dalam gelombang kedua ini, gambaran transisi dari agrikultur ke industri terlihat jelas. Gambaran tersebut menjelaskan tentang suatu masyarakat agrikultur (produksi untuk pemakaian), yang menjelaskan tentang adanya para prosumen, menuju ke arah masyarakat industri yang didaarkan pada produksi untuk pertukaran.

Selain itu, untuk lebih memahami konsep pergelombangan tersebut, secara jelas Toffler menguraikan tentang adanya dua sektor yang memiliki andil dari fase kebangkitan prosumer. Sektor tersebut dimulai dari sektor A yang menjelaskan tentang adanya pekerjaan yang tidak dibayar dan melakukan pekerjaan tersebut untuk kebutuhan personal. Kemudian terdapat pula sektor B, yang menjelaskan tentang semua produksi barang atau jasa untuk dijual atau dipertukarkan melalui pasaran. Dan apabila dihubungkan dengan munculnya gelombang ekonomi tadi, maka dapat dikatakan bahwa pada gelombang pertama terdapat sektor A. Hal ini didasarkan pada produksi untuk pemakaian adalah besar sekali, sedangkan sektor B masih minimal. Kebalikannya terdapat pada gelombang B, yang menyatakan bahwa produksi barang dan jasa untuk pasaran semakin menjamur dengan luas, sehingga memisahkan bentuk pekerjaan atau produksi yang tidak dimaksudkan untuk pasaran, dan prosumen menjadi tidak nampak. Dalam gelombang kedua ini juga terlihat jelas bahwa muncul fakta tentang produktivitas setiap sektor sangat banyak tergantung pada sektor lain.

Dari uraian di atas, dapat dilihat jelas bahwa di era sebelum agraria dan saat agraria itu sendiri, pola prosumen sudah berlaku. Dan hal itu berubah ke dalam pembagian pola produksi dan konsumsi saat transisi era revolusi agraria ke revolusi industri. Namun, dalam dinamika berikutnya di dalam sistem internasional, pola prosumen mulai muncul kemabli dengan kehadiran kemajuan teknologi yang ada dalam masyarakat informasi. Revolusi tersebut mulai berkembang lagi ke arah revolusi prosumen dengan precusor ada pada kemajuan teknologi informasi. Seperti apa yang telah dicontohkan sebelumnya pada kasus tes kehamilan, dari kemajuan tekonologi dan informasi yang cukup signifikan, akhirnya pola konsumsi masyarakat pun berubah. Pola konsumsi di era industri mulai membawa masyarakat ke arah swadaya dan pola swa-semabada, yang cenderung mengarah ke sisi mandiri. Dan kondisi ini ditandai dengan pengaburan progresif antara produsen dan konsumen di sektor ekonomi.

Contoh lain yang dapat ditelusuri adalah pada kondisi yang terjadi di AS, yaitu pada American Telephone and Telegraph Company (ATT) TAHUN 1956. Kondisi ini menggambarkan tentang adanya ledakan tuntutan komunikasi oleh masyarakat AS yang pada akhirnya membuat ATT memperkenalkan teknologi elektronika yang memungkinkan para penelpon untuk memutar langsung nomor-nomor sambungannya sendiri. Dengan menekan tombol nomor-nomor yang diperlukan, konsumen mengambil alih suatu tugas yang sebelumnya dilakukan oleh operator untuknya. Dapat dikatakan bahwa pola prosumer telah mulai dijalankan seiring perkembangan teknologi informasi. Contoh kasus lain, yang dapat dilihat secara jelas dalam masyarakat Barat, AS dan Eropa, adalah pada pelayanan personal (self-service) di pompa-pompa bensin yang ada di negara-negara tersebut. Dan konsep swalayan tersebut mulai mengarah ke perbankan di sektor ekonomi, dengan munculnya Anjungan Tunai Mandiri (ATM) dan Mobile Banking.

Dari gambaran mengenai kebangkitan prosumer ini, akhirnya muncul beberapa alasan mengapa kondisi ini bisa terjadi. Alasan pertama yang bisa diuraikan pasti ada katannya dengan kemajuan teknologi dan informasi yang semakin menyebar luas. Kemudian munculnya aksi-aksi untuk mempotensialkan kinerja manusia atau konsumen secara personal dengan menggeserkan pelayanan barang dan jasa ke arah swasembada. Dalam ranah ini akhirnya muncul Hukum Ketidakefisienan Relatif yang disertai dengan beberapa inflasi yang terjadi di sektor ekonomi suatu negara. Alasan lain yang lebih bisa menegaskan tentang pergeseran masyarakat konsumen ke arah swasemabada adalah pada sektor Sumber Daya Manusia, dimana beberapa perusahaan produksi barang dan jasa mengalami kesulitan dalam mendapatkan jasa tenaga profesional. Selain itu dari segi individual, prosumer juga memberikan rentang waktu yang cukup singkat (tanpa harus antre, tanpa konsultasi, dsb.) sehingga memberikan waktu senggang lebih banyak untuk melakukan pekerjaan lain. Dengan kata lain pola prosumer memberikan efisiensi waktu dan kinerja. Namun, meski pola prosumer semakin mewabah dan menyebar luas, eksistensi pasar akan tetap ada. Ditambah lagi bahwa Hukum Ketidakefisenan Relatif tidak berlaku secara universal. Hal itu juga ditengarai dengan adanya perbedaan ekonomi antara negara maju, negara berkembang, dan negara miskin dilihat dari sektor ekonomi.

Referensi.

Toffler, Alvin. 1989. “Kebangkitan Prosumer”, dalam Gelombang Ketiga: Bagian Kedua, terj., Jakarta: PT. Pantja Simpati, pp. 157-188

Virtual Culture and Information Society: The Idea of Information Society

Eksplanasi yang menjabarkann tentang perkembangan teknologi komunikasi dan informasi searah kecepatan yang ditempuh oleh tatanan globalisasi dapat dikatakan tidak dapat dipisahkan. Konteks itu mengusung pernyataan bahwa globalisasi telah mempengaruhi seluruh aspek kehidupan aktor-aktor internasional, sekaligus telah membawa perubahan ruang lingkup yang menandai eksistensi dari revolusi ranah komunikasi dan teknologi informasi. Terkait dengan pernyataan tersebut, muncul berbagai terobosan baru yang mempengaruhi aspek penting kehidupan manusia yang dimulai dari sistem yang paling kecil hingga ke arah paling massive sekalipun. Aspek tersebut berujung pada titik tolak dari hasil rasa, cipta, dan karya yang menjadi karakteristik manusia sebagai subjek dan objek dari sebuah kebudayaan. Dengan adanya perkembangan globalisasi serta ruang lingkupnya yang memiliki banyak definisi, tak ayal lagi perubahan tersebut juga memiliki kiprah utama terhadap konsep dari tatanan kebudayaan yang dimiliki oleh manusia. Manusia sebagai aktor inti, berbasis pada ketersediaan lingkup komunikasi yang menekankan bahwa mereka adalah makhluk sosial. Di samping itu, mereka juga tak bisa melepaskan diri dari kebutuhan akan ‘pesawat’ atau alat bantu untuk membentuk sebuah kebudayaan yang terus-menerus berkembang dan dikembangkan dalam ruang teknologi. Dari rentetan perubahan dan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, di dalam dua dasawarsa terakhir ini, konteks internasional beserta aktor-aktor di dalamnya dihadapkan kepada perubahan spektakuler dari sebuah teknologi informasi. Begitu banyak produk hasil terobosan teknologi canggih yang setiap detik terus mengalami perubahan signifikan demi meningkatkan taraf kehidupan manusia sebagai sang aktor inti sebuah masyarakat informasi. Dalam hal ini, area-area komunikasi dan teknologi telah menjadi sebuah komunitas yang sangat besar, dimana aktor-aktor tersebut tak bisa melepaskan diri dari perkembangan teknologi yang terus-menerus diperbarui. Kebudayaan lama mulai mengalami perubahan dari berbagai sudut. Konsep komunikasi lama mulai ditinggalkan dan beralih ke paradigma baru yang disebut sebagai era virtual. Dan era ini membawa suatu ekskalasi dari sebuah masyarakat yang membawa ide terbentuknya sistem-sistem masyarakat khusus yang disebut sebagai masyarakat informasi.

Terkait dengan pernyataan di atas, uraian ini juga akan memberikan penjabaran mengenai keberadaan Virtual Culture and Information Society yang merupakan ide-ide dari terbentuknya masyarakat informasi itu sendiri. Dan untuk mempermudah pemahaman, maka uraian selanjutnya akan fokus terhadap guidence questions yang merupakan frame dari semua eksplanasi kontekstual dalam uraian ini. Pertanyaan tersebut dimulai dari: Is there information society? How virtual is it? How does globalization change the pattern of social relations and the structure of society? Ketiga pertanyaan tersebut adalah pertanyaan dasar yang akan membawa pemahaman kita ke arah bagaimana kita bisa masuk dan terlibat dalam kebudayaan virtual sekaligus masyarakat informasi searah perkembangan teknologi dan globalisasi dalam sistem internasional.

Pertanyaan pertama, is there information society? Terkait dengan hal ini, uraian yang ditulis oleh Frank Webster, The Idea of An Information Society, dalam Theories of The Information Society, memberikan jawaban atas guidence question pertama tersebut. Webster menekankan begitu banyak definisi yang menguraikan tentang makna dari masyarakat informasi yang merujuk kepada uraian dari berbagai sudut pandang dari para scholar sosial dan politik internasional. Dalam pernyataannya, Webster menerangkan bahwa keberadaan masyarakat informasi telah diterangkan di berbagai literatur dengan definisi subjektif dari berbagai ilmuwan sosial-politik tersebut. Meskipun menggunakan istilah yang sama, namun penekanan definisi mengenai keberadaan masyarakat informasi juga mengalami begitu banyak perbedaan. Mulai dari perbedaan interpretasi istilah masyarakat informasi dari sudut pandang ekonomi produksi, format baru dari interaksi sosial, proses-proses innovatif dari produksi, dan sebagainya, yang pada dasarnya fokus dari eksplanasi tersebut berusaha untuk menjawab tentang cara-cara manusia terlibat dalam masyarakat informasi dan mengapa tatanan informasi menjadi central study bahkan central problem untuk saat ini. Hal ini yang menjadi titik tolak dari jawaban atas keberadaan masyarakat informasi sekarang ini. Oleh karena itu, Webster mengambil langkah penting dan mengumpulkan semua uraian dari para ilmuwan sosial-politik tersebut menjadi kesimpulan pasti tentang eksistensi dan information society. Dan diperoleh lima definisi dari masyarakat informasi yang memberikan kriteria baru dalam memahami konsep ini, diantaranya: technology, economy, occupational, spatial, dan yang terakhir adalah cultural.

Pertama, teknologi. Dapat dikatakan bahwa teknologi merupakan aspek terpenting dari keberadaan masyarakat informasi sekarang ini. Perkembangan masyarakat tersebut sedemikian besar dipengaruhi oleh perkembangan dari teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi yang semakin global. Perkembangan teknologi merupakan konsep pusat dari semua inovasi yang ada yang muncul sejak tahun 1970-an. Teknologi-teknologi terbaru itu merupakan indikator yang bisa dilihat dan dirasakan sebagai sebuah tatanan era baru, serta merupakan sinyal dari munculnya masyarakat informasi. Era baru tersebut ditandai dengan berbagai revolusi yang merubah tatanan global. Menurut Alvin Toffler (1980), indikasi yang menyertai alasan teknologi sebagai lingkup masyarakat informasi paling penting adalah karena adanya tiga revolusi besar sebagai hasil dari perkembangan teknologi itu sendiri. Dimulai dari revolusi pertanian, kemudian revolusi industri, dan yang terakhir adalah revolusi informasi. Ketiganya muncul ke sistem masyarakat karena kiprah teknlogi dan perkembangannya yang signifikan. Kedua, ekonomi. Tak dapat dipungkiri lagi kiprah faktor ekonomi sangat penting bagi munculnya sebuah masyarakat informasi. Perkembangan teknologi tanpa didukung oleh arus perekonomian yang memadai, juga tak bisa mewujudkan konteks masyarakat informasi yang mumpuni. Pertumbuhan ekonomi mempengaruhi proses dan aktivitas dalam arus informasi. Hal itu juga berlaku sebaliknya, bahwa bagian terbesar dari aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh aktor-aktor internasional, juga ditindaklanjuti dari aktivitas informasi yang mulai berkembang secara gradual dari berbagai revolusi yang ada yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam konteks ini, Marc Porat (1977) memberikan penekanan terhadap adanya informasi ekonomi primer dan sekunder yang mempengaruhi terbentuknya pasar dalam masyarakat informasi. Untuk informasi ekonomi primer, Porat menekankan keberadaan informasi tentang barang dan jasa dari produsen (negara/non-negara). Sedangkan untuk informasi ekonomi sekunder, eksplanasi Porat tertuju pada sektor-sektor birokrasi barang dan jasa dari publik atau pun privat. Dan hal ini menandakan bahwa sektor-sektor ekonomi dan perkembangan teknologi saling mempengaruhi yang pada akhirnya menjadi tatanan penting dari terbentuknya masyarakat informasi. Ketiga, okupasional. Konteks okupasional adalah definisi yang menadi favorit para ilmuwan sosial-politik dalam memahami keberadaan masyarakat informasi. Hal ini berkaitan erat dengan konsep ‘masyarakat pos-industrial’ yang diangkat oleh Daniel Bell (1973). Dia menguraikan bahwa struktur okupasional menjelaskan tentang waktu dan pola perubahan yang terjadi dalam masyarakat informasi berdasarkan cakupan dimana proses perkembangan masyarakat itu berada. Hal ini dapat dibedakan dengan cakupan perkembangan berbagai revolusi teknologi yang ada di Eropa, Jepang, dan Amerika Utara sebagai contoh nyata. Kontekstual okupasi yang dikembangkan lewat pendidikan dan pengalaman yang berubah secara gradual dan signifikan, memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan masyarakat di wilayah-wilayah tersebut. Sementara itu, dalam masyarakat informasi sendiri, posisi perubahan okupasional menekankan pada kekuatan transformatif dari informasi yang lebih dari hanya sekedar pengaruh dari teknologi informasi. Keempat, spatial. Pemahaman tentang keberadaan sebuah masyarakat informasi sekarang ini tidak hanya dapat didefinisikan dari keberadaan unsur teknologi, ekonomi, dan sosial saja, tetapi juga ditinjau dari tatanan spatial (keruangan) yang tergambar sebagai sebuah inti yang ditekankan oleh para geografer dalam konteks keruangan untuk mendefinisikan masyarakat informasi. Dalam konteks ini, definisi masyarakat informasi sebagian besar ditekankan pada jaringan informasi yang terhubung dengan ranah lokasi dan konsekuensi yang ditemukan sebagai efek dari konsep waktu dan keruangan. Perlu digarisbawahi bahwa jaringan informasi juga dipusatkan pada hubungan dan korelasi dari perbedaan ruang atau tempat. Satu contoh adalah adanya perbedaan kontur masyarakat dalam ruang kantor, kota, region, bahkan negara dan dunia yang semakin luas cakupannya, namun tetap terhubung dalam perkembangan teknologi informasi yang mengindikasikan bahwa kontur masyarakat informasi juga berlaku di ruang-ruang tersebut. Dan kelima, kultur. Kita tak bisa memungkiri bahwa faktor budaya memiliki andil penting dalam perkembangan teknologi informasi. Dari uraian sebelumnya, ditekankan bahwa budaya merupakan hasil dari rasa, cipta, dan karya manusia yang digunakan sebagai landasan manusia dalam menjalani posisinya dalam masyarakat. Kebudayaan dapat dikatakan sebagai inti dari semua revolusi yang terjadi di peradaban manusia. Kebudayaan dapat membentuk suatu sistem informasi yang berbeda antara satu komunitas dengan komunitas lainnya di belahan dunia. Perkembangan budaya/kultur akhirnya juga menjadi simbol perkembangan informasi yang menghubungkan antar manusia dalam suatu sosial sistem tertentu. Mulai dari masyarakat yang spesifik hingga ke ranah global seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan globalisasi hingga menjadi tatanan masyarakat informasi global.

Memasuki pertanyaan kedua, yaitu how virtual is it? Uraian jawaban dari pertanyaan ini dapat dijelaskan dengan contoh nyata yang terjadi di dalam masyarakat informasi pada saat dan setelah revolusi informasi. Satu contoh adalah mengenai perkembangan komunikasi yang mulai mendekatkan antara satu manusia dengan manusia lainnya dari tempat yang berbeda. Mulai dari perkembangan telepon menjadi telepon cellular, munculnya internet dan berbagai jaringan sosial yang ada di dalamnya, dan masih banyak lagi layanan sosial yang pada akhirnya membawa manusia menjadi sekelompok manusia yang terikat dalam konstruksi dua dunia, yaitu dunia nyata dan maya. Dalam dua dunia tersebut, komponen virtual sangat berpengaruh. Antara masyarakat yang terhubung secara nyata (vis a vis) dan masyarakat yang terikat dan berdomisili dalam ruang maya (dengan fasilitas teknologi komunikasi dan informasi yang terus berkembang), semakin tak dapat dipisahkan. Apalagi dengan arus globalisasi yang semakin mentransparansikan semua hal yang dulu tak dapat diakses oleh sembarang orang dan mengalami kontradiksi kondisi untuk saat ini. Dapat dikatakan bahwa dengan arus globalisasi yang sama dengan perkembangan informasi, komunikasi, dan kultural yang masuk dalam tatanan sosiologi, semakin tak dapat dipungkiri bahwa terdapat perubahan dalam kontur masyarakat kita.

Hal ini juga sekaligus menjawab pertanyaan terakhir dari guidence question yang mempertanyakan tentang How does globalization change the pattern of social relations and the structure of society? Jawabannya sangat jelas, bahwa aspek-aspek kehidupan dari lima definsi masyarakat informasi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, juga mengalami perubahan secara signifikan searah arus perkembangan globalisasi yang membawa dampak luas pada perubahan sistem informasi dan komunikasi. Dari sistem penting yang berubah tersebut, pada akhirnya kontur hubungan sosial masyarakat dari masyarakat tersebut juga mengalami perubahan. Namun, dari uraian Webster ini, ada satu yang menjadi minus point. Bahwa Webster tidak mendefiniskan masyarakat informasi dari aspek politik. Hal ini penting karena masyarakat kita bukan masyarakat yang bebas dengan berbagai definisinya sendiri, melainkan masyarakat yang terakumulasi dalam sistem negara-bangsa, lembaga, dan unsur-unsur lain yang dekat korelasinya dengan konsep politik.

Referensi

Webster, Frank. 2002. “The Idea of An Information Society”, dalam Theories of The Information Society, London: Rotledge, pp. 8-26

Globalisation and the Information Technology Revolution

Dalam pembahasan kali ini, uraian yang dikemukakan berkenaan dengan globalisasi dan revolusi teknologi informasi yang merupakan langkah awal bagaimana kita memahami perkembangan dari globalisasi dan teknologi informasi itu sendiri. Oleh karena itu, untuk lebih bisa mengerangkakan uraian kali ini, maka ada beberapa pertanyaan mendasar seputar topik ini yang akan menjadi kerangka utama memahaminya, diantaranya: What is the nature of the Information Technology Revolution? How different is it from the Agricultural or Industrial Revolution? What does globalisation have to do with the nature of the Information Technology Revolution? Dari beberapa pertanyaan kerangka ini, dapat ditinjau mengenai landasan dasar yang memberikan keterangan tentang apa dan bagaimana revolusi teknologi informasi berlangsung setiap saat. Dari perkembangan yang ada pun, juga telah ditekankan bahwa adanya perbedaan dalam memahami konteks revolusi teknologi itu sendiri, apakah beringsut dalam teknologi informasi, ataukah ke arah revolusi pertanian dan revolusi industri. Dan dari pernyataan tersebut, fakta awal yang muncul adalah bahwa dari segelintir revolusi tersebut yang telah terjadi dan akan terjadi, tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa semuanya kembali pada konsep globalisasi yang memberikan ruang yang cukup luas untuk dikembangkan dengan kecepatan perkembangan yang melebihi kecepatan cahaya. Dari sedikit gambaran dasar ini, diharapkan definisi yang diuraikan bisa memberi konsep awal bagaimana menindaklanjuti revolusi yang terjadi dalam teknologi informasi kita searah dengan perkembangan globalisasi yang sedemikian cepat dan tersebar.

Seperti yang telah diungkapkan oleh Fischer (1992: 1-32, esp.), ‘Technology here is similiar to the idea of material culture’, hal ini berarti bahwa apa yang ditekankan dalam perwujudan sebuah teknologi adalah sama dengan hasil kebudayaan materi yang dibuat oleh manusia dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Sehingga dapat dikatakan bahwa perkembangan teknologi meruapakan sebuah hasil adaptasi manusia seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri dalam membentuk pola hidupnya dan menjadi integritas kebudayaan yang dimilikinya setiap waktu. Hasil karya dan budaya manusia yang dibangun untuk memfasilitasi kebutuhan manusia itu sendiri merupakan hal spesifik yang bisa disebut teknologi, sesederhana pun teknologi tersebut. Karena kembali lagi ke uraian awal, bahwa ragam budaya materi yang menyangkut kehidupan manusia dan budayanya, disebut dengan teknologi.

Dalam perkembangannya, saat mausia dihadapkan dengan kebutuhan untuk saling berhubungan dengan manusia dan budaya lain yang bisa menunjang kebutuhannya dalam menjalani hidup, budaya material yang ada tidak bisa lagi menyukupi interval dan corak perkembangan dari budaya manusia itu sendiri. Dan pada akhirnya, budaya materi tadi pun berkembang dengan kebutuhan untuk meningkatkan hubungan manusia dengan mengembangkan budaya komunikasi dan informasi yang berjalan seiring dengan kubudayaan material yang disebut dengan teknologi informasi. Hasil budaya manusia ini pada akhirnya juga akan bertransformasi mengikiuti laju perkembangan budaya lain yang dibentuk oleh manusia itu sendiri dari berbagai ruang dan tempat, dan dipercepat saat era yang disebut sebagai era tanpa batas mulai menyeruak dan membanjiri tatanan kehidupan manusia antar bangsa, yang disebut sebagai globalisasi. Dan dapat dikatakan pula bahwa revolusi teknologi informasi tidak terlepas dari era ini yang memberikan dampak luar biasa bagi tatanan hidup manusia yang disebut sebagai budaya informasi.

Searah dengan kebutuhan manusia yang berusaha menyeimbangkan hidupnya dengan kebutuhan akan teknologi atau yang disebut sebagai budaya materi. Dalam perkembangannya, terwujud proses-proses saat peningkatan intensitas dan kualitas dari teknologi tersebut mulai diciptakan dengan lebih baik dan menginterferensi segala aspek kehidupan manusia. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa teknologi informasi dan komunikasi yang mengalami revolusi cepat, memberikan ruang yang tepat atas kebutuhan manusia akan teknologi tersebut. Informasi yang didapat bukan hanya informasi dari media cetak atau pun goresan tangan manusia, tapi juga merambah ke era yang lebih canggih dan cepat saat akses ke semua belahan dunia bisa dijalankan di satu tempat saja. Era revolusi teknologi informasi ini juga memberikan fakta bahwa semua hal yang berlangsung di dalamnya bisa diklasifikasi dan dipelajari dengan format angka-angka yang pasti dan memiliki konsepsi eksak. Kondisi ini, oleh Nicholas Negroponte disebut sebagai era digital.

Sementara itu, dalam artikel Manuel Castells ini juga dijelaskan mengenai perkembangan karakter dari proses-proses terbaru revolusi teknologi itu sendiri. Dijelaskan bahwa karakteristik dari revolusi teknologi yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karya manusia dengan konsep yang up to date, bukanlah hanya terpusat pada ilmu pengetahuan dan informasi saja, melainkan pada aplikasi dari ilmu pengetahuan yang menjadi landasan dari revolusi teknologi tersebut serta informasi yang dilandasi perkembangannya seiring waktu. Hal itu digunakan untuk menggenerasikan berbagai informasi dan komunikasi yang mengalami proses revolusi. Dalam ilustrasi yang dikemukakan oleh Hall and Preston, kondisi ini disebut sebagai keterkaitan antara inovasi (innovation) dan pengunaan inovasi (the using of innovation) tersebut. Di lain pihak, sebuah ilustrasi lain memberikan analisis terhadap kondisi ini. Dimana perkembangan penggunaan teknologi telekomunikasi terbaru yang bisa berubah menjadi semakin mutakhir setiap saat di dua dekade terakhir ini. Kondisi ini telah membawa fakta terbaru munculnya tiga perbedaan ranah dalam memahami situasi revolusi teknologi informasi ini. Pertama, tindakan otomatis. Kedua, penggunaan eksperimen. Dan yang ketiga, aplikasi rekonfigurasi. Dua ranah pertama, yaitu tindakan otomatis dan penggunaan eksperimen, memberikan konsep mengenai inovasi teknologi yang dapat dikembangkan dengan membawa sistem ‘menggunakan’ (by using). Sementara itu, untuk ranah yang ketiga, yaitu aplikasi rekonfigurasi, konsep ini mulai dijalankan dengan sistem ‘melakukan’ (by doing) yang pada akhirnya menuju suatu hasil karya dan bisa dikembangkan dengan penemuan aplikasibaru yang lainnya. Dengan kata lain, revolusi teknologi informasi memberi pernyataan pada kita bahwa budaya materi tersebut merupakan ruas timbal balik dari sebuah keterkaitan antara teknologi baru yang dikembangkan manusia, menggunakannya, dan mengembangkannya ke dalam ranah baru yang lebih cepat di bawah sebuah paradigma teknologi baru. Pernyataan ini sekaligus menjawab kerangka pertanyaan yang diuraikan sebelumnya mengenai what the nature of the information technology revolution is.

Menindaklanjuti kerangka pertanyaan selanjutnya, mengenai perbedaan antara revolusi pertanian daan revolusi industri dengan revolusi teknologi informasi, dapat dikatakan diantara ketiganya terdapat perbedaan yang spesifik namun memiliki keterkaitan yang sangat erat. Perkembangan teknologi yang merupakan perkembangan dari budaya materi manusia yang harus selalu diperbaiki menjadi budaya materi baru yang lebih cepat di bawah paradigma teknologi teranyar, menekankan bahwa teknologi baru bukanlah sebuah alat yang sederhana untuk diaplikasikan, melainkan butuh proses untuk dikembangkan seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri dalam menjalani semua aplikasi di rentang kehidupannya. Satu hal yang dapat kita pelajari dari kondisi ini adalah bahwa, revolusi-revolusi yang terjadi tersebut, berkembang dan bertahan sesuai dengan perkembangan paradigma teknologi yang ada pada saat itu. Misalnya saja, saat zaman batu mulai berakhir dengan munculnya kegiatan meramu dan bercocok tanam, pada saat itulah mindset manusia dihadapkan pada tatanan paradigma teknologi baru dengan terwujudnya sebuah revolusi pertanian. Kemudian di abad-abad selanjutnya, pemikiran manusia yang semakin kompleks disertai dengan pelebaran dan perluasan informasi yang melingkupi manusia, akhirnya terwujud sebuah revolusi baru, yang diidentifikasikan muncul di negara-negara Barat, yaitu revolusi industri. Dari semua revolusi yang muncul tersebut, pada akhirnya memaksa manusia untuk terus berevolusi dari segala aspek kehidupannya dengan mengalami suatu rentetan hubungan simbiosis mutualisme sekaligus simbiosis parasitisme. Dimana saat manusia memiliki sebuah inovasi dan mampu berjalan seiring inovasi teknologi tersebut, maka hal itu akan memberikan keuntungan yang besar bagi dirinya. Sebaliknya, saat manusia lain, yang masih beringsut dengan kondisi struktural lama dan ketinggalan dengan perkembangan yang ada, maka dapat dipastikan sedikit atau banyak, kerugian berarti bisa menjadi konsekuensi bagi dirinya. Dari fakta ini, dengan keberadaan revolusi teknologi dari berbagai bidang, akhirnya saah satu elemen penting yang menunjang terwujudnya revolusi teknologi tersebut, yaitu informasi, juga ikut mengalami hal yang sama. Perkembangan informasi yang sebelumnya dianggap sebagai elemen penunjang dan pemancing segala teknologi untuk berevolusi, pada akhirnya juga mengalami hal yang sama, yaitu revolusi teknologi informasi.

Teknologi informasi terbaru tidak sesederhana penggunaannya. Hasil-hasil teknologi yang ada bukan hanya diplikasikan saja, tetapi harus diproses dan dikembangkan lebih lanjut untuk menemukan aplikasi baru yang dapat digunakan untuk membantu kehidupan manusia lebih lanjut. Dalam hal ini, pemikiran manusia dapat dikatakan sebagai a direct productive force, not just a decesive element of the production system. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa revolusi terbaru dari sebuah teknologi tidak hanya tersentral pada pengetahuan dan informasi yang diperoleh dari jenjang sebelumnya, tetapi juga berfokus kepada aplikasi dari pengetahuan dan informasi itu sendiri yang wajib dikembangkan untuk menemukan penemuan yang dapat diaplikasikan lebih lanjut.

Referensi

Castells, Manuel. 1996. “The Information Technology Revolution”, dalam the Rise of the Network Society, Oxford: Blackwell Publisher, pp. 29-65