Special for your loving life...

...Do the best for our life...

Sunday 20 February 2011

Informational Politics and The Crisis of Democracy

Komposisi eksistensi sebuah politik yang dijalankan oleh suatu kekuasaan tertentu tidak bisa dilepaskan dari adanya faktor utama yang menjadi inti proses politik tersebut, yaitu power dengan integritas yang memadai. Sementara itu, bila ada sebuah kekuasaan yang berlaku, tentu ada pihak-pihak yang menjalankan aturan dan mengikuti pola perpolitikan tersebut. Dan dalam hal ini, dibutuhkan sebuah alat yang dapat digunakan untuk menyampaikan apa yang digaungkan oleh sang penguasa dengan kekuasaannya tersebut, terhadap pihak-pihak yang harus menjalankan prosedur atau limpahan power tersebut. Dan di sini, satu fokus utama yang dapat diambil adalah kebutuhan sebuah informasi dan media yang dapat menghubungkan antara penguasa pemilik power kepada pihak sebagai objek yang dinaungi oleh kekuasaan tersebut.

Perkembangan kancah politik internasional, khususnya hubungan antara satu nation-state dengan nation-state lainnya, serta antara nation-state dengan aktor-aktor non-state, telah melebarkan studi hubungan internasional ke arah yang lebih kompleks. Ada banyak karakteristik yang mendeskripsikan bagaimana kekompleksitasan tersebut. Fakta pertama yang dapat dijadikan contoh adalah adanya pengaburan batas-batas nation-state yang pada akhirnya membingungkan para ilmuan sosial tentang definisi nyata sebuah kewarganegaraan (citizenship). Selanjutnya, kompleksitas politik internasional juga mulai menyerang pada sistem inti sebuah kekuasaan dengan ketiadaan definisi resmi tentang power yang dimiliki oleh aktor internasional. Dan hal ini memberikan akibat nyata terhadap regulasi sosial dengan mencairnya kontrol sosial dan menyebarnya kompetisi politik ke beberapa pihak. Selain itu, kompleksitas yang ada juga menandakan adanya kebangkitan komunalisme, dalam bentuk khusus, yang mampu melemahkan prinsip-prinsip hubungan politik yang menjadi dasar sebuah politik demokrasi. Di sisi lain, ketidakmampuan nation-state dalam mengontrol aliran kapital dan format keamanan sosial, semakin melemahkan relevansinya dalam mengatur warga negaranya. Sementara itu, kompleksitas yang ada juga memunculkan tekanan-tekanan dalam institusi-institusi lokal pemerintahan yang meningkatkan jarak antara mekanisme kontrol politik dan manajemen masalah global yang dialami oleh nation-state itu sendiri. Dan hal ini diperparah dengan kekurangan pada sektor kontrak sosial, khususnya antara faktor kapital, tenaga kerja, dan negara itu sendiri, yang akhirnya membawa karakteristik individual pada semua pihak untuk bertarung pada pemenuhan kepentingan individu masing-masing, penghitungan kepentingan secara eksklusif, khususnya dalam usaha mereka sendiri. Dan fakta ini semakin melemahkan daya power nation-state untuk mengontrol regulasi pengaruh kekuasannya yang semakin kabur, walaupun dalam sektor lokal. Konteks dari kompleksitas masalah dalam area hubungan internasional, khususnya yang dialami oleh aktor nation-state, pada dasarnya telah mengaburkan sistem power yang ada yang berkaitan dengan penerapan demokrasi liberal yang semakin banyak dijalankan oleh nation-state yang ada dalam sistem internasional dewasa ini. Dan dari fakta itu, permasalahan yang ada akhirnya melemahkan dua postulat demokrasi liberal yang pernah dilontarkan oleh ilmuan sosial, Guehenno (1993), diantaranya adalah eksistensi sebuah atmosfer politik, situs konsensus sosial dan kepentingan umum; dan yang kedua merupakan eksistensi dari aktor-aktor yang menyediakan energi mereka, yang berusaha memenuhi hak-hak mereka dan memanifestasikan kekuatan mereka. Kondisi dari melemahnya postulat demokrasi liberal Guehenno ini, dapat dilihat dari contoh nyata yang terjadi pada model-model pemerintahan Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa, yang sering menumbuhkan berbagai konfrontasi kepentingan pada arus lokal.

Gambaran singkat mengenai kondisi peningkatan kepentingan yang semakin personal dalam berbagai aspek yang ada dalam sistem pemerintahan suatu negara, khususnya yang menyangkut sektor-sektor spesifik, pada akhirnya membawa krisis bagi paradigma yang lama dibawa oleh negara-negara Barat dan akhirnya tersebar ke ranah internasional. Paradigma itu terdapat pada perspektif demokrasi negara yang mengalami pergeseran secara dinamis. Hal ini juga berhubungan dengan keberadaan arus informasi yang semakin mengglobal di era baru, khususnya era pasca Perang Dingin, dengan kemenangan pada pihak AS. Sama seperti apa yang telah dicontohkan sebelumnya, bahwa dampak dari merebaknya demokrasi di negara-negara Barat hingga munculnya kepentingan-kepentingan yang bersifat personal, akhirnya juga meruntuhkan nilai murni dari demokrasi itu sendiri. Pada dasarnya, demokrasi merupakan satu perspektif yang masuk ke dalam permainan politik, baik political game domestik atau dalam kancah internasional. Permainan politik ini melibatkan begitu banyak aspek yang saling mengaitkan dengan perkembangan dalam sistem internasional. Dan hal ini tak terlepas dengan kemajuan signifikan yang dialami oleh perkembangan tekonologi dan informasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa ketergantungan konsep demokrasi dan implementasinya, dari aktor berkuasa kepada mereka yang menerima pengaruhnya, mau tidak mau mendapat pengaruh dari bagaimana kemajuan teknologi informasi mengambil andil dalam ranah tersebut. Dari kondisi ini, akhirnya muncul dua konsep yang saling berlawanan namun berhubungan, yaitu apakah perkembangan informasi (dalam hal ini khususnya bagi perkembangan media elektronik) mendominasi politik, ataukah sebaliknya.

Kondisi ini akhirnya membentuk kerucut pemahaman ke beberapa contoh kasus yang melibatkan antara ideologi dengan penerapannya serta ideologi dengan media informasi sebagai ranah internasional yang tidak bisa dilepaskan. Salah satu contoh kasus dari penerapan demokrasi di dalam suatu nation-state adalah keberadaan pemilihan umum untuk memilih kepala negara, kepala pemerintahan, atau mereka yang bisa mewakili aspirasi rakyat. Pemilihan umum tersebut tidak bisa dilepaskan dari kegiatan kampanye, dimanan kegiatan ini mulai membawa eksistensi media dalam menyampaiakan amanat, pendapat, dan ungkapan kebijakan serta janji-janji dari sang calon pemimpin melalui media informasi. Dapat ikatakan bahwa media membawa aspirasi rakyat sedangkan media juga menyampaikan janji calon pemimpin untuk memenuhi target-target yang diinginkan oleh rakyat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang menghubungkan antara rakyat dengan pihak-pihak yang berkutat dalam urusan yudikatif, legislatidf, eksekutif dan lainnya adalah media informasi. Dapat dikatakan bahwa media merupakan akar dalam masyarakat, dan iteraksi mereka dengan proses politik yang dimiliki pemerintah cukup tinggi kompleksitasnya. Dan hal ini juga tergantung dari konteks, strategi yang dimiliki oleh aktor, dan interaksi spesifik antara sosial, budaya dan format politik dari nation-state itu sendiri.

Sementara itu, apabila dikaji lebih dalam mengenai hubungan antara demokrasi dari sisi politik dan perkembangan informasi dalam ranah hubungan internasional, maka muncul suatu konsep baru tentang hubungan tersebut, yaitu konsep informational politics. Hal ini juga seperti yang diungkapkan oleh Bobbio (1994), bahwa muncul sebuah transformasi politik dalam ranah informasi, ‘the transformation of politics and democratic processes, in the network society is even deeper than presented in these analysis... this technological dimension interacts with the broader trends characteristic of the network society, and with the communal reactions to the dominant process emerging from this social structure’. Dari sini jelas bahwa konteks demokrasi murni dari segi original political concept mulai mengalami pergeseran, dengan kata lain muncul tendensi krisis. Dari beberapa pihak atau aktor, dengan adanya peleburan dan korelasi antara politik dan informasi, dalam hal ini ada pada sisi demokrasi, munculnya kondisi ini mungkin tidak bisa memaksimalkan kebutuhan konsep negatra dengan sistem demokrasi yang asli. Namun, keberadaan konsep atau paradigma baru ini juga membawa manfaat tertentu, khususnya bagi negara-negara Barat yang lebih teguh eksistensinya dengan sistem demokrasi yang bisa bermanuver dengan perkembangan informasi yang ada. Oleh karena itu, sebutan krisis pada demokrasi dalam tulisan ini, sekali lagi tergantung bagaimana negara mengimplementasikan sistem demokrasi pemerintahannya sejalan dengan tabrakan perkembangan informasi yang semakin besar.

Referensi

Castells, Manuel. 1997. “Informational Politics and the Crisis of Democracy”, dalam the Power of Identity, Oxford: Blackwell Publisher, pp. 309-353.

No comments:

Post a Comment