Special for your loving life...

...Do the best for our life...

Sunday 20 February 2011

The Fading of the West: Myth or Reality?

Dinamika polemik internasional tidak akan bisa berhenti arusnya saat dihadapkan pada tataran geo-politik dan geo-kultural. Dimulai dari aktor-aktor yang memiliki power lebih besar yang bisa menguasai sistem internasional, dan sekurang-kurangnya menanamkan pengaruh ke aktor-aktor yang berada pada sistem tersebut. Sementara itu, kajian lanjutan dari studi geo-politik dan geo-kultural ini akhirnya mengarah pada pertanyaan tentang arus eksistensi dari negara-negara Barat, apakah setelah Perang Dingin berakhir, keberadaan pengaruh Barat semakin hilang? Ataukah dengan munculnya kekuatan-kekuatan lain yang lebih spesifik dari aktor internasional lainnya, hal itu juga semakin mengurangi eksistensi Barat? Pakah hal itu merupakan mitos yang dibentuk oleh para sholar hubungan internasional ataukah kenyataan yang benar-benar terjadi di lapangan? Uraian untuk menjelaskan masalah tersebut akah dibahas dalam tulisan ini.

Pembahasan mengenai The Fading of the West: Power, Culture and Indigenisation, akan dimulai dari laju historis yang terjadi setelah Perang Dingin berakhir dan kemenangan AS atas Uni Soviet di era tersebut. Di era 1980’an akhir dan 1990’an, sistem internasional dengan berbagai aktor di dalamnya mulai mendapat pengaruh besar dari eksistensi AS sebagai pemenang Perang Dingin dan mampu melebarkan sayap pengaruhnya. Namun, seiring dinamika internasional yang terus melaju, akhirnya pengaruh tersebut juga mengalami peluruhan dan pemudaran. Jika dikaji lebih dalam, ada tiga karakteristik yang mengindikasikan berkurangnya eksistensi AS atau Barat di dunia internasional. Diantaranya, peluruhan atau fading tersebut terjadi dalam proses lambat. Kemudian adanya terpahatnya beberapa sektor yang sebelumnya dipegang pengaruhnya oleh AS dan negara Barat, namun kini telah dapat dipenuhi oleh negara-negara lain secara lebih spesifik. Dan yang ketiga kemunduran tersebut secara putus-putus dengan kata lain secara bertahap dalam proses yang berdinamika. Di lihat dari sisi yang lain, juga muncul indikator kemunduran negara-negara Barat, atau semakin melemahnya pengaruh Barat. Indikator tersebut, diantaranya: Pertama, mengenai ranah teritori dan populasi. Dalam hal ini, peningkatan kekuatan minor dari segi wilayah, yang ditengarai kualitas dan kuantitas populasi non-western semakin meningkat, khususnya dalam bidang edukasi dan kesehatan. Kedua, terjadi pada sektor produksi ekonomi yang ditandai dengan adanya perdagangan yang membawa brand, serta culture yang mengandung values. Dan yang ketiga, ada pada sektor militer yang ditandai dengan adanya distribusi culture yang diiringi oleh distribusi power. Dan dari faktor ini, akhirnya muncul konsep indigenisation, yang menjelaskan konsep adopsi kultur dengan berbagai penyesuaian.

Pergeseran pengaruh Barat yang semakin memudar tersebut juga tidak terlepas dar dominasi Barat yang telah berlangsung sekian lama. Dan dalam laju sistem internasional berikutnya, khususnya setelah Perang Dingin berakhir, muncul penolakan terhadap pengaruh AS yang dilancarkan dalam spot-spot tertentu, contohnya spot peningkatan ekonomi di Cina dan IT di India. Kasus ini lebih menyerang sektor public goods dimana hal itu merupakan main task dari perubahan yang ada. Menyikapi situasi ini, beberapa scholar hubungan internasional mulai membentuk pendapat mereka masing-masing. Misalnya saja, Fukuyama menjelaskan bahwa kekuatan Barat merupakan apogee. Dengan kata lain, pengaruh Barat seperti sebuah lintasan satelit yang mengorbit tatanan internasional. Di lain pihak, Kennedy memberikan tambahan bahwa kekuatan Barat juga semakin mundur, dan hal ini juga ditekankan oleh Huntington yang menyatakan bahwa kekuatan Barat tersebut merupakan suatu pengaruh yang dominan, tapi juga mengalami penurunan. Kondisi seperti ini memberikan penegasan bahwa, meskipun di tahun 1990-an ke atas pengaruh Barat masih dominan, namun dominasinya tidak sekuat di abad ke-19. Hal ini juga memberikan keterangan bahwa menurunnya kekuatan Barat dari negara-negara Barat itu sendiri, juga memberikan ruang kekuatan dari aktor lain untuk meningkat, dalam konteks ini muncul istilah universalisme. Peningkatan power dari aktor lain, lebih cenderung ke posisi peningkatan soft power yang dimiliki. Dan situasi ini ditekankan oleh Huntington, yang percaya bahwa distribusi kekuatan sama dengan distribusi kultural. Dia juga menambahkan respon dari atmosfer tersebut, diantaranya tentang keberadaan modernisasi, resurgensi dari identitas kultural, sehingga Huntington menyatakan bahwa ranah ini adalah tanda dari meluruhnya pengaruh Barat.

Pada dasarnya, dari kondisi semakin lunturnya pengaruh Barat, hal ini memunculkan pertanyaan apakah aktor-aktor yang ada di sistem internasional mulai melakukan penolakan terhadap Barat? Dan pertanyaan ini kemudian bisa dijelaskan dengan berbagai unsur historis faktual yang terjadi di lapangan. Pada dasarnya, dalam perkembangan yang terjadi, negara-negara Barat mulai percaya pada paradigma universalitas. Paradigma ini menjelaskan tentang adanya kesadaran bahwa adanya idealisme dan norma-norma berbeda yang ada di peradaban lain di dunia, imperialisme sebagai konsekuensi logis dari penerapannya, dan bila dinamikanya tidak sesuai, maka bahaya akan muncul dan mengancam terbentuknya perang antar-sipil. Salah satu gambaran yang mengetarai kondisi itu, dapat dilihat dari pernyataan, ‘emerging configuration of power requiring mutual accommodation between blocs of different ‘civilizations’, an accommodation which is already coming into being, whether we like it or not. Dan hal ini, akhirnya menyulut Huntington untuk mengungkapkan pemikirannya, diantaranya:

1. Avoidance of major IW requires core states to refrain from intervening in conflicts in other civilizations

2. Core states must engage in joint mediation ‘to contain or to halt fault line war between states or goups from their civilizations’

3. Search for and attempt to expand the values, institutions, and practices they have in common with people of other civilizations

Pemikiran-pemikiran Huntington tersebut ada di dalam uraian Clash of Civilizations, yang menguraikan adanya ancaman besar pada kedamaian dunia. Oleh karena itu, tatanan internasional harus berdasarkan civilizations as safeguard. Dan kondisi ini ditandai dengan karakter-karakter kompleks dalam area internasional, diantaranya:

Modernization vs Westernization

Modernization support westernization at first, but weaken it at the end

Modernization at societal level enhance economics, military and political power and also put more confidence of the society to promote their culture and to be culturally assertive

Sementara itu, pada level individu, benturan peradaban ini, akhirnya membawa rasa alienasi dan anomies sebagai aspek tradisional dan hubungan antar-masyarakat semakin pecah dan membawa ke arah krisis identitas personal. Yang Oleh karena, di dalam kondisi ini muncul berbagai tanggapan yang memberikan gambaran mengenai turunnya eksistensi Barat dengan berbagai polemik yang ada di dalamnya. Salah satunya adalah apakah dunia internasional mulai memberikan lampu hijau terhadap menurunnya pengaruh Barat, khususnya AS, sebagai main power pasca Perang Dingin. Dalam ranah ini, muncul upaya-upaya yang dilakukan Barat, lagi-lagi AS sebagai main actor-nya, yang menggerakkan aksi-aksi potensial untuk tetap meneguhkan eksistensinya. Kasus ini membawa Huntington mulai membentuk gambaran pendapat bagi AS dalam menghadapi kondisi ini. Huntington mengutarakan argumen tentang peneguhan posisi AS untuk tetap menjadi main influance bagi sistem internasional. Beberapa cara yang dilakukan, diantaranya mereafirmasi identitasnya sebagai sebuah negara Barat dengan mengembangkan multikulturalisme sebagai basic home. Kemudian mengadopsi kebijakan-kebijakan sebagai entuk kebijakan kerja sama dengan negara-negara Eropa sebagai partnernya. Selain itu, AS juga bisa meningkatkan kepentingan dan nilai-nilai-nya dalam masyarakat yang unik dan dengan background berbeda dalam bentuk sisi multikulturalisme. Kondisi ini bisa dilihat di sektor culture shape people, yang menyatakan bahwa the cultural continuity must somehow be combined with close attention to useful new idea, practices and technologies from near and far. Contoh nyata bisa dilihat di ranah reliji dan sekulerisme yang saling bertentangan. Contoh lain ada di Islam & Christian Protestant, dimana agama memainkan bagian penting dalam level internasional.

Referensi.

Huntington, Samuel P. 1996. The Fading of the West: Power, Culture and Indigenisation. dalam the Clash of Civilization and the Remaking of World Order. London: Touchstone Books. pp. 81-101

Information Society and The Rise of Prosumer

Pada ranah kebangkitan masyarakat informasi di dunia hubungan internasional, kajian krusial yang tidak dapat dilepaskan pengaruhnya adalah pada sistem ekonomi. Sistem utama yang menegaskan tentang adanya dua faktor inti, yaitu produsen dan konsumen dan hasil produksi, juga mengalami fase dan perkembangan sesuai dinamika di dalamnya. Sementara itu, tulisan ini akan menguraikan begitu banyak ulasan mengenai satu konsep baru, gabungan antara pembuat barang produksi (produser) dan pemakainya (konsumer), yaitu prosumer, disertain dengan kebangkitannya di era masyarakat informasi.

Pola perkembangan aktor prosumer dapat ditinjau dari satu kasus yang terjadi di Eropa sekitar tahun 1970-an, dengan munculnya produk atau alat tes kehamilan yang menyerbu pasar farmasi di negara-negara tersebut. Pola yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, dimana dokter khusus yang akan melakukan tes kehamilan dengan cara medis, namun, pada tahun-tahun tersebut, kegiatan itu sudah bisa dilakukan oleh konsumer dari tes kehamilan tersebut. Dalam perkembangannya, bukan hanya alat tes kehamilan itu saja yang diproduksi untuk masyarakat umum, namun mulai berkembang ke arah alat-alat medis lain yang pemakaiannya di area rumah tangga. Sama seperti alat tes kehamilan tadi, sebelumnya alat-alat medis seperti irigator hidung, pembersih telinga, dan lain-lain, semuanya hanya dikhususkan untuk dokter atau pihak-pihak yang memiliki kewenangan tertentu dalam sektor medis, akan tetapi dalam perkembangannya, sektor tesebut akhirnya dikonsumsi oleh masyarakat yang bukan dari golongan medis. Kasus-kasus ini adalah awal dari kebangkitan prosumer seperti yang akan dijelaskan lebih lanjut dalam tulisan ini. Uraian di atas menjelaskan tentang pergeseran dari pola konsumsi masyarakat yang mulai menegaskan tentang penanganan problematika sendiri (swadaya). Pendapat yang muncul yang mengiringi penegasan itu adalah ‘daripada membayar orang lain untuk melakukan penanganan, akan lebih baik melakukan sendiri dengan alat-alat yang sudah ada di pasara’. Dan untuk menjelaskannya secara rinci, uraian-uraian Alvin Toffler bisa menjadi panduan untuk memahaminya secara lebih detail.

Menyikapi kondisi ini, Toffler mulai menguraikan penjelasannya secara historis. Dimulai dari munculnya fase-fase revolusi masyarakat ekonomi dari beberapa peradaban sebelumnya hingga era masyarakat informasi, diantaranya revolusi agraria, revolusi industri, dan revolusi prosumen. Dalam menguraikan secara keseluruhan, Toffler juga menjelaskan tentang tiga gelombang utama yang menengarai tentang perkembangan dan kebangkitan prosumer. Dimulai dari gelombang pertama, gelombang ini ditandai dengan adanya kegiatan yang melibatkan masyarakat yang mengkonsumsi apa yang mereka produksi sendiri. Mereka bukan profesor atau konsumen dalam pengertian sebenarnya, tapi mereka cenderung ke arah aktor prosumer dengan konsep lama di era tersebut. Dinamika berikutnya mengarah ke gelombang kedua, dengan pecahnya revolusi industri menggantikan revolusi agraria. Revolusi ini melahirkan dua aktor ekonomi dan memisahkannya kinerjanya menjadi produsen dan konsumen. Dan kondisi ini sekaligus mengakibatkan penyebaran pusat pasaran atau pertukaran jaringan kerja. Di dalam gelombang kedua ini, gambaran transisi dari agrikultur ke industri terlihat jelas. Gambaran tersebut menjelaskan tentang suatu masyarakat agrikultur (produksi untuk pemakaian), yang menjelaskan tentang adanya para prosumen, menuju ke arah masyarakat industri yang didaarkan pada produksi untuk pertukaran.

Selain itu, untuk lebih memahami konsep pergelombangan tersebut, secara jelas Toffler menguraikan tentang adanya dua sektor yang memiliki andil dari fase kebangkitan prosumer. Sektor tersebut dimulai dari sektor A yang menjelaskan tentang adanya pekerjaan yang tidak dibayar dan melakukan pekerjaan tersebut untuk kebutuhan personal. Kemudian terdapat pula sektor B, yang menjelaskan tentang semua produksi barang atau jasa untuk dijual atau dipertukarkan melalui pasaran. Dan apabila dihubungkan dengan munculnya gelombang ekonomi tadi, maka dapat dikatakan bahwa pada gelombang pertama terdapat sektor A. Hal ini didasarkan pada produksi untuk pemakaian adalah besar sekali, sedangkan sektor B masih minimal. Kebalikannya terdapat pada gelombang B, yang menyatakan bahwa produksi barang dan jasa untuk pasaran semakin menjamur dengan luas, sehingga memisahkan bentuk pekerjaan atau produksi yang tidak dimaksudkan untuk pasaran, dan prosumen menjadi tidak nampak. Dalam gelombang kedua ini juga terlihat jelas bahwa muncul fakta tentang produktivitas setiap sektor sangat banyak tergantung pada sektor lain.

Dari uraian di atas, dapat dilihat jelas bahwa di era sebelum agraria dan saat agraria itu sendiri, pola prosumen sudah berlaku. Dan hal itu berubah ke dalam pembagian pola produksi dan konsumsi saat transisi era revolusi agraria ke revolusi industri. Namun, dalam dinamika berikutnya di dalam sistem internasional, pola prosumen mulai muncul kemabli dengan kehadiran kemajuan teknologi yang ada dalam masyarakat informasi. Revolusi tersebut mulai berkembang lagi ke arah revolusi prosumen dengan precusor ada pada kemajuan teknologi informasi. Seperti apa yang telah dicontohkan sebelumnya pada kasus tes kehamilan, dari kemajuan tekonologi dan informasi yang cukup signifikan, akhirnya pola konsumsi masyarakat pun berubah. Pola konsumsi di era industri mulai membawa masyarakat ke arah swadaya dan pola swa-semabada, yang cenderung mengarah ke sisi mandiri. Dan kondisi ini ditandai dengan pengaburan progresif antara produsen dan konsumen di sektor ekonomi.

Contoh lain yang dapat ditelusuri adalah pada kondisi yang terjadi di AS, yaitu pada American Telephone and Telegraph Company (ATT) TAHUN 1956. Kondisi ini menggambarkan tentang adanya ledakan tuntutan komunikasi oleh masyarakat AS yang pada akhirnya membuat ATT memperkenalkan teknologi elektronika yang memungkinkan para penelpon untuk memutar langsung nomor-nomor sambungannya sendiri. Dengan menekan tombol nomor-nomor yang diperlukan, konsumen mengambil alih suatu tugas yang sebelumnya dilakukan oleh operator untuknya. Dapat dikatakan bahwa pola prosumer telah mulai dijalankan seiring perkembangan teknologi informasi. Contoh kasus lain, yang dapat dilihat secara jelas dalam masyarakat Barat, AS dan Eropa, adalah pada pelayanan personal (self-service) di pompa-pompa bensin yang ada di negara-negara tersebut. Dan konsep swalayan tersebut mulai mengarah ke perbankan di sektor ekonomi, dengan munculnya Anjungan Tunai Mandiri (ATM) dan Mobile Banking.

Dari gambaran mengenai kebangkitan prosumer ini, akhirnya muncul beberapa alasan mengapa kondisi ini bisa terjadi. Alasan pertama yang bisa diuraikan pasti ada katannya dengan kemajuan teknologi dan informasi yang semakin menyebar luas. Kemudian munculnya aksi-aksi untuk mempotensialkan kinerja manusia atau konsumen secara personal dengan menggeserkan pelayanan barang dan jasa ke arah swasembada. Dalam ranah ini akhirnya muncul Hukum Ketidakefisienan Relatif yang disertai dengan beberapa inflasi yang terjadi di sektor ekonomi suatu negara. Alasan lain yang lebih bisa menegaskan tentang pergeseran masyarakat konsumen ke arah swasemabada adalah pada sektor Sumber Daya Manusia, dimana beberapa perusahaan produksi barang dan jasa mengalami kesulitan dalam mendapatkan jasa tenaga profesional. Selain itu dari segi individual, prosumer juga memberikan rentang waktu yang cukup singkat (tanpa harus antre, tanpa konsultasi, dsb.) sehingga memberikan waktu senggang lebih banyak untuk melakukan pekerjaan lain. Dengan kata lain pola prosumer memberikan efisiensi waktu dan kinerja. Namun, meski pola prosumer semakin mewabah dan menyebar luas, eksistensi pasar akan tetap ada. Ditambah lagi bahwa Hukum Ketidakefisenan Relatif tidak berlaku secara universal. Hal itu juga ditengarai dengan adanya perbedaan ekonomi antara negara maju, negara berkembang, dan negara miskin dilihat dari sektor ekonomi.

Referensi.

Toffler, Alvin. 1989. “Kebangkitan Prosumer”, dalam Gelombang Ketiga: Bagian Kedua, terj., Jakarta: PT. Pantja Simpati, pp. 157-188

Oil, Geography, and War: The Competitive Pursuit of Petroleum Plenty

Dalam beberapa dasawarsa terakhir, kontur sistem internasional telah ditandai oleh beberapa karakteristik yang membawa sebuah perdebatan besar dalam studi hubungan internsional. Aktor-aktor internasional yang terlibat di dalamnya, juga memberikan konstruksi paradigma tersendiri terhadap karakteristik-karakteristik tersebut sebagai faktor keterlibatannya dalam kemelut yang terjadi di ruang internasional global. Sedikitnya terdapat tiga karakteristik utama yang membawa pola khusus dalam kancah hubungan antar aktor internasional, diantaranya: minyak, geografi, dan perang. Ketiganya menjadi sudut pandang penting dalam memahami konflik dan berbagai ruas masalah yang terjadi dalam lingkup internasional yang mengikat antar-aktor tersebut.

Pertama, minyak. Tak dapat dielakkan bahwa keberadaan sumber daya yang tidak dapat diperbarui ini menjadi salah satu kepentingan negara bahkan aktor non-negara untuk dimiliki dan dikelola secara berkesinambungan oleh aktor-aktor tersebut. Hal ini terjadi karena pada saat ini, khususnya di sepuluh dasawarsa terakhir, minyak menempati posisi sebagai sumber daya yang paling penting dan dibutuhkan oleh aktor-aktor internasional. Dan prospek dari kepentingan untuk kepemilikan minyak semakin dipertegas secara massal saat aktor-aktor non-state (MNC, NGO, IGO, dll.) mulai bermunculan di awal-awal tahun 1990-an. Tatanan minyak bumi yang dialokasikan secara massal dan tersebar keseluruh pelosok dunia, menjadikan minyak semakin berperan penting sebagai konsumsi energi utama dunia. Dan ini mempertegas bahwa kebutuhan pemenuhan energi utama yang ingin dipenuhi oleh semua aktor internasional menjadikan minyak sebagai salah satu faktor munculnya konflik. Kondisi minyak yang tidak dapat diperbaharui sebagai sumber daya alam, semakin rawan konflik saat kepemilikan dari ladang minyak hanya ada di beberapa wilayah tertentu di bumi ini. Atmosfer persaingan yang tidak dapat terelakkan, semakin sengit terjadi saat faktor geografi mengambil alih. Dan benar, faktor kedua, yaitu geografi, menjadi tajuk kedua dari konstalasi kebutuhan akan minyak bagi dunia internasional. Geografi yang menjadi suatu kondisi yang stuck dan paten dari sebuah negara, hal ini ditambah pula dengan fakta bahwa tempat yang memiliki potensi kandungan eksplorasi minyak sangat terbatas untuk daerah tertentu dan daerah tersebut berada di wilayah di negara tertentu yang memang rawan konflik. Dan karakteristik ketiga dari konstalasi minyak bumi di dunia adalah perang. Dengan kerawanan konflik yang terjadi dari perebutan sumber energi tersebut, adalah munculnya satu konflik akibat kompetisi perolehan minyak bumi yang dilakukan oleh aktor-aktor internasional tersebut. Sehingga dari tiga karakteristik tersebut, muncul hubungan yang sejalan antara perebutan penguasaan terhadap minyak, faktor geografi, dan konflik yang terjadi yang berujung pada perang.

Keberadaan hubungan antara minyak, geografi, dan perang akhirnya memunculkan dinamika dalam tatanan sistem internasional, khususnya pada aspek pemenuhan sumber daya alam tersebut. Dalam hal ini, Michael Klare (2001) menguraikan tentang eksistensi perebutan kontrol atas minyak. Awalnya, dia menjelaskan tentang konsep dasar dari permulaan politik minyak yang berawal ketika era Perang Dunia I, yang menjelaskan tentang peran Britania Raya yang berusaha mengontrol distribusi minyak melalui Anglo-Persian Oil Company (APOC), terutama pada minyak yang berasal dari Persia (Iran). Dan kondisi ini terjadi pada tahun 1914 (Klare, 2001). Dalam sejarah perminyakan internasional, eksistensi Britania Raya dalam kontrol terhadap minyak dunia dilakukan dengan menggunakan kekuatan militer yang ada. Hal ini terjadi karena tujuan penguasaan minyak terfokus lebih kepada pemenuhan kebutuhan akan alat perang sebagai imbas dari Britania Raya sebagai negeri imperialis.

Seiring waktu, sistem kontrol Britania Raya tersebut, pada akhirnya diikuti pula oleh Prancis melalui Compagnie Francaise des Petroles. Di belahan dunia lain, politik minyak yang berkaitan dengan kontrol atas distribusi tersebut, kemudian berlanjut di negara Amerika, terutama paska era Perang Dunia. Di era paska Perang Dunia, Amerika melalui Truman Doktrin yang dibentuk tahun 1947 dan Eisenhower Doktrin pada tahun 1957, berusaha memunculkan sebuah aliansi terhadap negeri-negeri di Barat yang difokuskan untuk mendapatkan kontrol kepentingan atas minyak di negara-negara Timur Tengah, seperti Iran, Iraq, Arab Saudi, dan di kawasan-kawasan lain. Dan seperti pendahulunya di belahan Eropa, kontrol terhadap minyak yang dilakukan oleh Amerika juga dijalankan dengan mengerahkan kekuatan militer. Dan imbas dari kondisi ini memunculkan situasi terhadap politik minyak yang menegaskan bahwa kontrol minyak tidak hanya dilakukan oleh negara yang menjadi konsumer, namun juga dilakukan oleh negara penghasil dan pemilik sumber daya minyak tersebut. Satu bukti dari konstalasi perpolitikan minyak ini terjadi di era 1937-an, dimana Arab Saudi menghentikan penyaluran minyak kepada Amerika Serikat akibat dari kondisi Israel yang mendapat dukungan dari negeri Paman Sam tersebut. Hal ini dipertegas dengan kenaikan harga minyak yang diberlakukan oleh OPEC disaat yang sama dan diperparah dengan kegoncangan ekonomi akibat resesi ekonomi pada era 1970-an (Klare: 2001).

Adanya kerumitan terhadap kontrol minyak dan konstalasinya yang dilakukan oleh aktor-aktor internasional tersebut, akhirnya Klare yang memiliki fokus mencari lingkup dinamika yang ada dalam politik minyak, mulai menentukan tiga faktor utama di dalam perpolitikan tersebut. Ketiga faktor tersebut, diantaranya Global Demand Pattern, Global Supply Equation, dan Constraints of Geography.

Pada tataran Global Demand Pattern, Klare menjelaskan tentang fokus pada perluasan pemanfaatan dan penggunaan minyak yang semakin tahun semakin meningkat dan menjadi konsumsi energi nomor satu dunia sebanyak 37% (Klare, 2001). Hal ini terjadi karena adanya kebutuhan akan bahan bakar transportasi yang semakin naik karena kebutuhan transportasi pun semakin meningkat. Namun, kondisi kebutuhan akan bahan bakar minyak pada transportasi, jelas Klare, akan segera berkurang saat transportasi berbahan bakar hibrid mulai dicanangkan akibat keberadaan minyak bumi semakin langka. Dari situasi ini, Klare kemudian menghubungkannya dengan permasalahan geografis dimana terdapat keterbatasan geografis yang dikaitkan dengan sumber daya minyak yang saat ini terpusat di Timur Tengah. Bukan hanya itu, kondisi terbatasnya lokasi ladang minyak, juga dijelaskan sebagai pemicu munculnya konflik lokal serta membanjirnya intervensi dari negara lain terhdap kebutuhan yang sama. Dalam atmosfer persaingan tersebut, akhirnya kondisi ini menciptakan usaha penemuan alternatif bahan bakar baru dan mengurangi pengunaan produksi minyak yang telah berangsur-angsur mengalami penurunan dan pengurangan di cadangan minyak yang belum terpakai. Dalam kondisi seperti ini, Klare juga menegaskan perlunya keterlibatan analisa ahli geologi untuk mengembangkan prospek pemanfaatan minyak seminimal mungkin karena turunnya produksi minyak tersebut. Disamping munculnya fakta terhadap kebutuhan pemanfaatan akan minyak, maka dapat dipastikan tidak ada perubahan terhadap konsumsi minyak, sehingga kemungkinan yang akan muncul adalah kelangkaan atas minyak. Kondisi ini sekaligus menjelaskan faktor kedua dalam pembahasan ini, yaitu Global Supply Equation.

Dari dua faktor yang telah dijabarkan sebelumnya, pada akhirnya Klare mulai membuat relasi tentang keberadaan minyak, faktor permintaan, dan aspek geografis. Dalam kasus ini, faktor geografis mengambil area penting karena keberadaan sumber minyak atau ladang minyak, tergantung dari tanah atau laut dimana geografi itu berda dalam batas sebuah negara. Dan kasus ini juga terkait dengan keberadaan sumber daya minyak yang terpusat di Timur Tengah. Selain itu, kondisi negara tempat sumber minyak yang selalu terlibat konflik internal (lokal) juga menjadi sumber interfensi negara lain yang ingin memanfaatkan kondisi, sehingga mampu memenuhi kepentingan mereka masing-masing atas minyak di dalam negara yang berkonflik. Dalam hal ini, Klare menyatakan bahwa adanya konflik seperti ini akan memicu munculnya interfensi militer serta upaya untuk mengalihkan ketergantungan minyak kepada daerah lain. Selain itu, sekaligus untuk menyelamatkan jalur distribusi dan penyaluran minyak agar tidak terhindar dari konflik lokal yang terjadi

Dari uraian di atas, kita tentu menyadari bahwa Klare menekankan tentang hubungan antara supply dan demand terhadap minyak, tidak bisa dilepaskan dari faktor geografi. Dan dari fakta tersebut, dijelaskan pula bahwa geoekonomi telah mengalami perkembangan dimana awal abad 20 minyak dikontrol oleh negara agar negara memenangkan perang. Sedangakan beberapa dekade terakhir, minyak dikontrol oleh negara, agar negara menguasai ekonomi dunia. Di sisi ini, kita dapat melihat dengan jelas bahwa pola geoekonomi telah mengalami pergeseran dilihat dari kebutuhan aktor-aktor internasional terhadap minyak. Minyak yang pada awalnya digunkan sebagai pemenuhan kebutuhan perang, bergeser menjadi pemenuhan kebutuhan ekonomi. Dan dalam hal ini, dapat diungkapkan juga bahwa konflik yang terjadi akibat kaitannya dengan minyak tidak akan pernah berakhir karena untuk saat ini belum ada bahan bakar dari sumber daya alam dunia yang dapat menggantikan minyak.

Referensi.

Klare, Michael. 2001. ''Oil, Geography and War: The Competitive Pursuit of Petroleum Plenty''. Dalam Resource Wars: The New Landscape of Global Conflict. New York: Owl Books, pp. 27-50

Co-Evolution or Global Shift: Will Kashmir Stops India’s Rise? Which one?

Perkembangan globalisasi yang menyerang segala aspek ruang dan waktu dalam sistem global telah membawa perubahan besar dan drastis dalam lingkup dunia internasional. Dimulai dari perubahan lajur media informasi dan teknologi, hingga mempengaruhi aspek krusial yang ada dalam studi Hubungan Internasional. Bukti yang dapat dilihat berkaitan dengan munculnya tatanan dunia baru dengan keseluruhan konsep politik, ekonomi, pertahanan, dan segala hal yang berhubungan dengan kiprah aktor-aktor internasional tersebut dalam kredibilitasnya dalam sistem global. Mulai dari bertambahnya aktor dalam sistem global yang bukan didominasi lagi oleh negara, tetapi juga munculnya kiprah aktor non-negara yang membawa andil tersendiri. Kekuatan kekuasaan dan pengaruh yang menjadi fokus utama dari urusan dunia internasional juga semakin berkembang. Mulai dari yang hard-affair hingga smooth-affair yang memiliki kompleksitas tinggi dalam rentabng waktu yang hampir bersamaan. Selain itu, konflik yang terjadi dalam lingkup era kontemporer, juga mengalami suatu transformasi tanpa meninggalkan konsep lama. Dengan kata lain perkembangannya cukup memadai menindaklanjuti laju globalisasi yang tak dapat dihentikan. Perubahan konsep lama dari geopolitik yang mengarah ke geo-ekonomi dan geo-kultural, juga semakin menegaskan betapa perubahan drastis terjadi di masyarakat internasional ini. Kondisi-kondisi tersebut juga memunculkan banyak fakta yang merubah tatanan kekuasaan, khususnya pasca Perang Dingin. Amerika Serikat sebagai pemenang Perang Dingin tak lagi sekuat pamornya di awal-awal tahun 1990-an. Apalagi dengan adanya tragedi kemanusiaan di World Trade Center, diteruskan dengan laju pemberantasan terorisme, perang di Irak, Afghanistan, dan sebagainya. Semakin menegaskan bahwa kecenderungan dunia terhadap negara adi daya tersebut mulai berkurang. Hal ini ditambah lagi dengan meningkatnya sektor-sektor riil seperti ekonomi, teknologi, dan pertahanan yang dimiliki oleh berbagai negara di dunia, semakin menegaskan bahwa realitas negara-negara maju baru mulai bermunculan. Beberapa negara di Asia seperti Jepang, Cina, Korea Selatan, dan India, adalah beberapa negara yang mengalami perubahan besar dalam sejarah negara ini. Mulai dari peningkatan ekonomi, pasar dunia, militer, hingga teknologi dan komunikasi, telah memberikan pertanda bahwa keberadaan mereka patut diperhitungkan dan tidak menjadi kekuasaan absolut satu aktor saja.

Dari uraian singkat di atas, khusus dalam review artikel ini, kajian utamanya adalah mengenai India sebagai satu negara di kawasan Asia Selatan yang memiliki pengaruh dan integritas kuat dalam regulasinya di ruang teknologi dan komunikasi (IT) internasional. Mulai dari meningkatnya berbagai sumber ilmu pengetahuan dan sumber daya manusia yang konsen terhadap ranah teknologi dan komunikasi. Dalam hal ini, fakta yang mencuat selama satu dekade terakhir ini adalah bahwa India memegang lingkup penting dari laju tekonologi IT dan komunikasi internasional. Namun dari berbagai kemajuan parsial dan kultural yang dimiliki oleh India, di sisi lain, negara ini sangat rentan dengan kondisi pertahanan-keamanannya yang rentan konflik. Mulai dari konflik antar-etnis, antar-agama, dan yang lebih parah adalah konflik dengan negara tetangganya sendiri, yaitu Pakistan. Meskipun dapat dikatakan bahwa antara India dan Pakistan merupakan ‘saudara lama yang berpisah’, namun dengan konsep geografi mereka yang berbatasan, pada akhirnya memberi ruang bagi konflik untuk semakin berkembang. Hal-hal yang menandai kondisi ini dapat diuraiakan dengan jelas dari berbagai sudut pandang ilmu Hubungan Internasional. Berangkat dari sejarah India dengan Pakistan yang memisahkan diri dan memutuskan untuk membangun negara sendiri. Kemudian disusul dengan meningginya konsentrasi tekanan nasional-regional terhadap negara tersebut akibat tragedi kemanusiaan yang tak pernah berhenti sejak terpisahnya Pakistan dari India. Bukti yang menyatakan fakta ini adalah adanya tiga perang yang terjadi antara dua negara tersebut pada tahun 1947-1948, 1965, dan yang terakhir tahun 1999. Bahkan berkembang ke isu penggunaan senjata nuklir di tahuan 1990 dan 2001-2001. Hingga yang terbaru, yaitu sengketa Kashmir antara dua negara bersaudara tersebut.

Sementara itu, secara garis besar uraian singkat mengenai kasus India yang mengalami kemajuan pesat dan aksi terakhir dalam menyikapi pertentangan dengan Pakistan dalam perebutan Kashmir, lebih difokuskan untuk menjawab beberapa kerangka pertanyaan utama. Diantaranya sebagai berikut: Bagaimana menjelaskan kemajuan terakhir yang dialami oleh India? Apakah kemajuan tersebut menandai suatu fakta bahwa India mengalami co-evolution atau global shift? Apakah ada evolusi geo-ekonomi atau geo-economical shift dibalik kemajuan tersebut? Dan yang terakhir apakah ada geopolitical evolutions atau geopolitical shifts yang mengikuti kemajuan dan perkembangannya itu?

Untuk uraian jawaban dari kerangka pertanyaan pertama, telah dijelaskan dalam uraian sebelumnya. Tentang bagaimana ruas kemajuan dari segi teknologi informasi (IT) dan komunikasi yang pada saat ini telah menandai arus penyebaran informasi dan komunikasi internasional. Serta dengan penjelasan tentang bagaimana sumber daya manusia India yang telah lama memulai mengenyam pendidikan tinggi yang pada akhirnya menghasilkan SDM yang berkualitas dan dipakai oleh negara-negara maju lain dalam dunia internasional, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman. Meskipun di tahun 1960-an India pernah mengalami kondisi raising-up dan setelah itu berbanding terbalik dengan turunnya kredibilitas negara ini dalam dunia internasional di tahun-tahun berikutnya. Namun, pada akhirnya, di era kontemporer ini, negara ini bisa menegakkan eksistensinya kembali. Khususnya di era setelah Perang Dingin. Satu contoh di dalm area pertahanan, pada tahun 1998, India dan Pakistan pernah mencoba penggunaan senjata nuklir yang mengejutkan dunia internasional. Perkembangan berikutnya dari berita mengejutkan tersebut adalah pada tahun 1999, muncul masalah lanjutan dengan mencuatnya perebutan kekuasaan di wilayah Kashmir yang menimbulkan banyak provokasi. Hal tersebut diperparah dengan meningkatnya intensitas dari aktor-aktor non-negara di kawasan-kawasan perbatasan India-Pakistan yang memiliki paradigma tersendiri. Mereka yang berkeinginan membalas dendam terhadap tragedi lama, akhirnya membentuk suatu kumpulan tersendiri yang melakukan tindakan-tindakan terorisme. Ada pula yang mencari sisi tersendiri dengan dukungan dan interferensi dari aktor internasional lain yang merambah pada munculnya pihak-pihak separator. Ditambah pula dengan meningginya konsentrasi krisis-krisis identitas dan masih banyak lagi dilematisasi yang menggelayuti hubungan ‘panas’ antara India dan Pakistan. Namun, lepas dari sisi gelap tersebut, terbukti kualitas India dalam peningkatan mutunya dalam segi IT di sistem global, telah memberikan kursi negara yang mulai maju dengan berbagai kemajuannya dalam segala aspek.

Kemudian merambah ke kerangka pertanyaan berikutnya, mengenai apakah peningkatan dan kemajuan yang dialami oleh India adalah bentuk suatu co-evolution atau kah global shift? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan memaparkan berbagai fakta yang ada dimulai dari regulasi politik negara tersebut. Kemudian merambah ke titik balik dimana India mulai menggiatkan SDM-nya untuk mengenyam pendidikan tinggi dan pada akhirnya menguasai ranah teknologi informasi dan komunikasi internasional. Dengan hasil akhir, India dapat memberikan peningkatan yang signifikan terhadap aspek ekonomi, pertahanan, dan sebagainya. Dalam hal ini, negara India dapat dikatakan mengalami co-evolution karena peningkatan terjadi di dalam ruang lingkupnya saja. Tapi karena kemampuannya yang semakin meningkat tinggi dan mempengaruhi ruang teknologi informasi dan komunikasi internasional, maka faktor global shift juga mengikuti perubahan co-evolution yang telah dialami oleh negara ini sebelumnya. Di lain pihak, penjelasan di atas juga ikut menjawab pertanyaan berikutnya apakah kemajuan yang dialami oleh India diikuti oleh geo-economical co-evolutions atau geo-economical shift. Maka konsep tentang berlakunya tahap pertama dari negara ini yang mengalami co-evolution kemudian disusul dengan global shift, juga telah mempengaruhi ranah perubahan geo-ekonomi negara tersebut. Hal ini jelas karena perubahan secara terstruktur dan peningkatan secara signifikan tersebut juga mempengaruhi aspek lain dari negara India, yaitu geo-ekonomi.

Dan dari kerangka pertanyaan yang menguraikan kemajuan India ini, berakhir dengan pertanyaan apakah geo-politik India juga mengalami hal yang sama saat kemajuan itu terjadi? Apakah muncul geo-political evolution atau geo-politic global shift yang mengikuti geo-ekonomi tersebut? Jika dilihat dari timeline yang ada, tentang bagimana India mampu merengkuh peningkatan kemajuannya secara teknologi informasi. Maka dapat dikatakan bahwa India juga mngalami kemajuan serupa dalam ranag geo-politiknya tetapi tidak secara keseluruhan. Hal ini juga ditandai dengan adanya fakta saat India mengalami kemajuan pesat dalam IT-nya, namun di sisi lain degenerasi kausal hubungannya dengan Pakistan mengalami penurunan drastis yang berujung dengan konflik laten yang berlangsung lama, khususnya masalah perebutan Khasmir di wilayah perbatasan.

Referensi.

Ganguli, Sumit. 2006. ‘Will Kashmir Stop India’s Rise?’ dalam Foreign Affairs, Vol. 85, No. 4 (Jul.-Aug., 2006), pp. 45-56