Special for your loving life...

...Do the best for our life...

Wednesday 18 August 2010

Minor Atas Nama Perbedaan

Saat manusia terhubung satu sama lain, itu lah tanda dimana perbedaan mulai mencuat ke permukaan. Tak ada sesuatu yang sama dalam kehidupan ini. Mereka yang kembar identik pun memiliki beberapa sisi yang mungkin kasat mata dan di situ lah nilai perbedaannya. Perbedaan dari apa yang dimiliki manusia merupakan performa mereka dalam meneguhkan eksistensinya sebagai manusia. Manusia dengan latar belakang yang berbeda dan menciptakan sesuatu yang berbeda pula. Dari sini kita bisa mengambil benang merah bahwa perbedaan membuat manusia semakin paham akan keberadaan alam yang harus dibentuk dengan sebuah titik balik perbedaan itu sendiri. Melengkungnya pelangi di langit setelah hujan reda, tak akan disebut pelangi kalau warnanya sama. Tubuh kita juga akan melemah dan mati saat makanan yang kita asup hanya satu nutrisi saja. Di situ lah kita mengenal kekuasaan Tuhan yang bisa menciptakan perbedaan sehingga menjadi sebuah komposisi terlegalitas tanpa dusta bagi ciptaan-Nya sendiri. Satu kalimat: Kita tak bisa memungkiri itu. Lantas, di kala perbedaan menjadi suatu bumerang bagi manusia sendiri untuk menegaskan, sekali lagi, menegaskan dirinya sebagai khalifah di dunia. Haruskan konsep perbedaan yang disalahkan? Bukannya manusia memiliki egoisitas dan ideosinkretis yang berbeda, hingga mereka paham mereka memiliki itu untuk menciptakan sebuah perbedaan. Sesekali boleh lah kita mengatakan perbedaan itu membawa noktah hitam, tapi akankah noktah itu akan peka di tempatnya? Tidak, tentu tidak. Semua bisa dihapus dengan perbedaan yang dibentuk manusia sendiri. Kaya-miskin, rupawan-jelek, normal-cacat, dan sebagainya. Semua itu adalah warna. Warna-warna yang bisa disinkronisasikan menjadi sebuah rajutan nada indah itu sendiri. Sesuatu yang menggambarkan bahwa kita sebagai manusia bisa merasa bangga karena bisa merasakan dan memahami warna-warna tersebut yang merupakan bagian dari relasi kita dengan alam. Bahkan dibanding makhluk lain ciptaan-Nya. Suatu malam, sahabat saya berkata: "Jika Tuhan saja menciptakan begitu banyak perbedaan hingga indera kita tidak bisa mendeskripsikan semuanya, lantas kenapa manusia berusaha untuk menyamakan perbedaan dengan menghancurkan dan meminoritaskan perbedaan lainnya?" Tolong lihat dan rasakan dalam hati kita...

Setitik Surga... Darimu, Ma...

Aku tak pernah bisa membayangkan saat keikhlasanmu menerimaku hidup dalam rahimmu
Meridhoi aku menendang perutmu sewaktu-waktu hingga saat kau terlelap karena letih membawaku setiap waktu
Berkali membisikkan kata cinta dan mimpimu saat aku kelak bisa melihat dunia
Berucap doa dan harapan akan hidupku menjadi belahan jiwamu
Melindungiku, menghiasi langkahku, dan memberikan yang terbaik untuk ruas hidupku nanti
Sembilan bulan...
Dan tepat 25 Juni...
Saat senja mulai nampak...
Kamu memaksakan senyum saat rintihan kesakitan mengambil alih tubuhmu
Tersenyum untuk kerjap awal mataku...
Tersenyum untuk riuh suara pertamaku...
Tersenyum untuk hentakan hidup seonggok daging bernyawa dari rahimmu...
Tersenyum untuk laki-laki di sampingmu yang bangga dipanggil 'ayah'...
Dan tersenyum untuk semua orang yang merasa kamu adalah anak, menantu, kakak, adik, dan istri yang sempurna
Dan itu semua dibalik kesakitanmu...

Ayunan langkahmu mengiringi hidupku
Kenakalanku, bandelnya aku, sampai kedurhakaanku, hanya kau balas dengan air mata yang kau sembunyikan di balik mukena saat kau bersimpuh di hadapan-Nya...
Menuduh dirimu sendiri bahwa kau gagal mendidikku...
Itu salah, Ma!
Tidak benar!
Harusnya aku yang beringsut sembap di kakimu
Bukannya aku malah berteriak dan kabur dari rumah dengan debaman pintu yang ku banting...
Aku berdosa, Ma!
Aku durhaka!

Tapi semua itu lenyap saat aku pulang
Tak ada dendam, tak ada murka, hanya ada kata, 'Ayo maem dulu, gih! Setelah itu mandi!'
Dan aku...
Hanya cemberut, masih menuntut keegoisanku...

Empat anak dan suamimu...
Semua mendapat porsi cintamu
Membuatku yakin engkau surga cinta di hidupku
Engkau sang mahadaya cinta lewat telapak kakimu
Cintamu tak berkurang saat penopang hidupmu meninggalkanmu
Saat kekasihmu harus menghadap-Nya lebih dulu
Saat orang-orang mulai berpikir kau rapuh saat kehilangan segalanya...

Tapi tidak!
Wanita tangguh yang pernah menjadi bunga desa itu telah berubah menjadi burung rajawali
Siap melindungi anak-anaknya dengan kecantikan yang dimilikinya
Bisa menggenggam dunia dan membuktikan pada mereka bahwa single parents tak selalu kurang
Bahwa janda tak selalu hina
Engkau yang kusebut Mamaku, Pahlawanku!

Dan sekarang,
Saat impianku mulai terwujud
Hidupku mulai sedikit tertata rapi sesuai impianku
Anak-anakmu mulai melepas anak panahnya ke langit
Mencari arah hidup mereka masing-masing
Sang rajawali masih di pohon yang sama
Masih berkutat dengan hidup dan jiwa yang dia perjuangkan untuk belahan-belahan hatinya

Tapi tak pernah terkira di pikirku, Ma!
Telpon tadi siang...
Kau berkata lirih di ujung telepon berkilo-kilo meter dari duniaku
"Mama nggak apa-apa, Mas! Cuma pusing... Selamat berpuasa ya, Sayang..."
Dan tiba-tiba adek menelponku
"Mas, mama sakit typhus..."

Hancur duniaku...
Luluh lantak surgaku...
Mati jiwaku...

Kenapa kamu masih tega membohongiku saat dirimu terkulai lemah?
Mengapa kau berdusta saat kebisuan hatimu tertutup dengan dalih menutupi kekhawatiranku?
Apakah yang kau sembunyikan dariku, Ma?

Dan kau hanya berkata,
"Udah, ndak apa-apa, Sayang..."

Kau berbohong lagi...
Demi cinta abadimu padaku
Tak heran jika surga benar-benar ada padamu...
Kau sanggup menggerakkan ridho Tuhan padaku...
Kau memiliki yang tak dimiliki manusia lain...

Aku mencintaimu, Ma...

Tersenyumlah untukku...

Wednesday 17 February 2010

Tepian Cerita yang Tersisih... Pertemuan #1

Cinta semestinya anugerah yang terindah
Bahagialah bila kau rasa...
Dan cinta mungkin saja buat kita merasa melayang bersama bintang di angkasa
Bila malam tiba, cinta datang menyapa, buka hati sepenuh jiwa
Dan biarkanlah ia, buat kita sempurna
Siramlah cintamu biarkan berbunga
Mengertilah, percayalah, cinta ‘kan membuat jiwa s’makin bermakna
Dan yakinlah, pastikanlah, hidupmu ‘kan menjadi lebih berwarna
Saat cinta menyapa...
Saat kau merasa, asamu telah sirna, hidupmu terasa semakin menyiksa
Siarkanlah cinta, buatmu percaya,
Mengerti akan, akan artinya,
Arti kata bahagia...

‘Arti Cinta’
By Joeniar Arief feat. Vitha Octrieana

Pemuda itu terlihat terburu-buru merapikan file-file kantornya. Menuliskan sesuatu di atas secarik kertas dan sekejap meletakkan gagang head-set di ujung tiang microfon yang ada di hadapannya. Sesekali dia melihat jam tangan perak yang melingkar di pergelangan tangannya sambil mengernyitkan dahi. Berpikir bahwa dia telah melakukan tindakan yang salah. Tapi ini berbeda. Bukan seperti itu. Pikirnya dalam hati. Dia harus cepat dan minta maaf kepadanya. Dia terlambat melangkahkan kakinya untuk menemui dia. Dia yang datang dari jauh.

Ya Tuhan, kenapa waktu berjalan sedemikan cepat?
Dia menunggunya...
Dia membelenggukan diri dalam kontraksi waktu yang mengikat
Untuk dia...

Dirapikannya kemeja hitam yang melekat di badannya yang bidang dengan otot-otot yang menonjol hasil gempuran latihan angkat beban selama bertahun-tahun. Parfum Bvlgari pun tak lepas dari wangi yang menghinggap di belantara kulitnya yang putih dan mulus. Dia lelaki, tapi dia begitu tampan. Tidak, dia lelaki yang cantik. Ujarnya dalam hati.

Dia, lelaki yang memuja keindahan seperti dirinya...
Memaknai sebuah keindahan dengan cinta...

Meskipun begitu, dia masih terlihat gugup. Begitu banyak pertanyaan yang muncul saat dia bertemu dia. Apakah dia orang yang tepat? Apa yang harus mereka bicarakan? Bagaimana jika pertemuan ini tidak sesuai harapannya? Bilamana jika dia salah tingkah dan membuat semuanya kacau? Dia menggila. Dia semakin gundah, namun dia harus bertemu dia. Dia ada di sini. Di kota ini. Dia semakin mempercepat langkahnya. Tak perlu lama lagi menunggu waktu.

Kenapa dia?
“Aku datang untukmu...”

Pesan singkat yang tertulis di ponselnya pun masih terbaca dengan jelas. Dilihatnya pesan itu untuk kesekian kalinya sambil memakaikan sepatu di kakinya. Sepatunya terasa sempit. Ataukah hatinya yang menyempit dengan pikiran buruk namun diinginkannya?

“Aku sudah di sini. Di tempat yang kita janjikan. Aku menunggumu. Sendiri. Duduk di samping jendela.” :*

Kerisauan semakin tak terhindarkan. Perlahan dia berlari. Menyabet tas ransel hitamnya dengan paksa. Dia harus menemuinya. Harus. Dia menunggu pertemuan ini terjadi. Akhir yang indah, pikirnya. Namun dia tak tahu apa yang terjadi. Benar. Saat cinta menyapa, semuanya memang terasa aneh. Ayunan langkahnya yang cepat dan gesit telah merobohkan hembusan angin yang menerpa saat pintu keluar terdobrak. Hatinya bergelora. Pintu terbuka. Mengumpatkan sesuatu yang sebelumnya tak bisa terucap dari bibir hatinya. Serasa ngilu di sekujur tubuh indahnya. Namun nikmat memeka. Ini yang dia tunggu. Dia menunggunya. Dan sekali lagi dia berkata...

“Aku datang untukmu...”

Langkahnya semakin cepat di jalur trotoar. Cafe itu berada di depan kantornya. Namun, kenapa jaraknya makin jauh? Apalagi dengan gelombang kendaraan yang berlalu-lalang saat jam makan siang. Telah menghalangi hentakan kakinya. Dia tak kuasa menghindari ini semua. Halangan ini jangan sampai menggagalkan kisah yang diinginkannya untuk menjadi kenyataan.

Tiba-tiba deru kakinya terhenti. Dia mendongakkan kepalanya ke atas. Melihat jembatan penyeberangan yang melintang di atas aliran kendaraan yang mengganas di sungai aspal. Penuh kuasa. Namun, perlahan dia menunduk. Dia berpikir.

“Tak butuh banyak waktu. Aku segera ada untukmu...”

Diabaikannya kemegahan jembatan itu. Dia menerobos luapan asap jalanan. Menghindari mobil. Merentangkan tangannya untuk menghalau sepeda motor dan angkutan kota khas kota besar.

“Goblok! Jangan menyeberang di jalan. Ada jembatan di atas kepalamu. Sadarlah!”

Umpatan itu terlontar dari bibir seorang pengguna jalan dengan nada keras dan mencaci. Dia mendengarnya. Tapi dia menutup telinganya dengan hati. Tak diindahkannya semua itu.

“Apa pun kulakukan untuk menemuimu... Apapun...”

Di tempat lain. Seonggok manusia terduduk diam di atas sebuah sofa warna krem. Seorang lelaki berkaos biru dengan kerah V. Kulitnya yang kecoklatan namun bersih mengkilat. Mukanya dipenuhi rambut-rambut tipis. Khas kejantanan dari Amerika Latin. Ditambah dengan tubuhnya yang maskulin dan terlihat atletis, tak urung menjadi perhatian beberapa pengunjung cafe itu. Bahkan pelayan-pelayan yang berbaur dengan pekerjaan mereka, tak kuasa menolehkan dan menajamkan matanya hanya untuk melihat guratan yang diciptakan Tuhan di badannya.

Lelaki itu. Sesekali dia melihat ke arah jendela kaca di sampingnya. Memastikan bahwa dia di tempat yang tepat. Jari-jarinya sedikit bergetar. Jantungnya berdegup kencang. Keringatnya keluar meski ruangan itu ber-AC. Alih-alih dia memesan sesuatu, daftar menu makanan yang telah diberikan oleh seorang pelayan cafe beberapa menit yang lalu pun hanya tergeletak mati di hadapannya. Tak terjamah. Tak tersentuh sama sekali.

“Dimana dia? Dia datang ‘kan? Aku menunggumu...”

Saat dia melihat kaca untuk kesekian kalinya. Matanya membelalak. Sedetik kemudian bibirnya menyunggingkan senyum paling indah miliknya. Dia merasa kesejukan mulai menyelimuti kulitnya yang kecoklatan. Bunga lily putih bermekaran di sekelilingnya. Iya, dia menggandrungi lily putih itu. Bunga itu sedang bergulat dan berlari menerobos rentetan asap jalanan di luar sana.

“Dia menepati janjinya untuk menemuiku. Dia ada. Tidak. Dia hampir ada untukku.”

Sekonyong-konyong, dia melakukan kesibukan tak terencana. Ini konyol. Pikirnya. Dia mulai memegang dan mengotak-atik ponselnya, hanya untuk membenahi suasana yang tak jelas. Merapikan letak jam tangannya secara paksa. Dan berujung dengan dijamahnya daftar menu makanan yang sejak tadi tergeletak tak bergerak. Dia mulai menulis sesuatu di atas secarik kertas menu itu.

“Aku pesan sepiring pertemuan. Segelas cinta. Semangkok asmara. Dan sebotol kasih.”

Di pelataran yang panas menyengat, pemuda yang berlari itu akhirnya sampai di pintu gerbang cafe. Dia mulai membuka pintu. Dan dalam se per sekian detik gelora udara yang dingin mulai merontokkan kisi-kisi hawa panas dari luar. Dia menghela nafas. Tapi ini harus cepat. Dia masih di sini. Dia dan dia harus memakai kesempatan yang diberikan oleh keganasan penakluk waktu. Harus.

Langkah kakinya semakin diburu waktu. Dia menaiki tangga layaknya menjangan dikejar singa. Dia mangsa dan mengharapkan untuk dimangsa. Oleh cinta. Dia bersemangat, tapi terlihat jelas raut mukanya menggambarkan sebuah keraguan. Keraguan terhadap apa yang akan dilihatnya. Dia lah...

“Apakah benar dia?”

Kepalanya menoleh ke setiap sudut ruangan itu. Tak sesenti pun terlewat. Perhatiannya hanya terfokus pada seseorang yang duduk di dekat jendela.

Jendela hatinya.

Pupil matanya tiba-tiba membesar. Dia melihat sesuatu yang diinginkan hatinya. Sesosok manusia duduk tenang, menunduk, dan di dekapan jemarinya terapit sebuah pensil. Dia masih menunduk. Waktu perlahan menuntun langkah kakinya untuk mendekati sesosok manusia itu. Dia berkaos biru. Badannya terlihat matang dan penuh dengan kuasa seorang pria sejati. Pasti banyak wanita yang mendambakannya. Bahkan pria di dunia ini. Yang tentu mengenalnya seperti dia mengenal dia.

Sedetik tak terasa...

Dia berucap dengan kata yang menghenyakkan lelaki itu dari kesibukan hasil buatannya.

“Hai Mas...” salam pemuda itu. (Wahai denyut jantungku...)
“Hai Dek! Ayo duduk...” jawab lelaki itu. (Engkau datang! Bersandarlah di tubuhku...)

Kenapa hanya ‘hai’ yang terucap? Bukan ini! Seharusnya tidak seperti ini.

Mata mereka bertatapan. Saling pandang. Jika waktu bisa berhenti. Biarkan mereka saling memancarkan pesonanya satu sama lain. Pancaran mata tak bisa dibohongi. Dia meradang. Dia teradang. Sungguh ini nyata. Dan guratan senyuman pun mulai nampak. Samar-samar tapi pasti terjadi.

“Maaf! Membuatmu menunggu lama, Mas!” (Biarkan waktu terhenti! Ku mohon! Biarkan mata pendosaku ini bisa melihat surga itu. Di wajahmu...)

“Tidak, Dek! Tidak apa-apa. Waktuku banyak untukmu.” (Seumur hidupku jika engkau menginginkannya. Ku berikan!)

Mereka bersalaman. Pertemuan antara kulit dan kulit. Ini nyata. Keduanya bersentuhan. Aliran darah dari sekujur tubuh sepertinya hanya bermuara di satu titik. Telapak tangan. Biarkanlah ini terjadi. Relakan setiap senti dari hamparan pori-pori kulit itu menyatu dalam sebuah genggaman yang menyatukan denyut nadi dalam intonasi dan tangga nada yang sama. Bebaskan helai kulit ari mereka menempel layaknya lem kanji yang telah lama diaduk. Kuat dan erat. Dan ini terjadi. Bukan kepalsuan.

“Apa kabar, Mas?”
“Baik sekali. Kamu? Sudah selesaikah pekerjaanmu?”
“Baik juga. Sudah selesai semuanya. Dan aku sekarang di sini. Kamu?”
“Sama. Sejam lalu aku baru saja bertemu klienku di kota ini. Dan sekarang aku di sini. Bersamamu.”

“Akhirnya kita bertemu ya Mas...” (Akhirnya kilatan cahaya itu bisa aku lihat dari matamu...)
“Ya. Akhirnya...” (Akhirnya hembusan angin itu terasa nyata lewat nafas kata-katamu...)

“Kamu pesen gih! Aku sudah.” ucapnya lirih.
“Iya Mas!” balasnya sambil membuka daftar menu dan menuliskan pesanannya di atas sehelai kertas.

“Aku pesan seraut harapan. Secangkir pesonanya. Dan sesendok aura. Aku memesan dia untukku.”

Semenit kemudian di menyerahkan kertas itu ke lelaki di hadapannya.

“Mbak! Ini pesanan kita.” (Menu hatiku untuk jiwa yang kita punya... Mengertilah!)

“Oke! Satu Kwetiau Goreng, satu Nasi Cumi Lada Hitam, satu es teh tawar, dan dua air meneral! Baiklah! Tolong ditunggu ya!” kata seorang pelayan yang tiba-tiba muncul entah dari mana.

Bukan makanan itu. Bukan minuman ini. Tapi ada harapan lain yang dia dan dia inginkan. Semua bisa dialihkan, tapi apa daya saat waktu memberikan jalannya. Semua hasrat ini bisa terwujud. Pertemuan ini.

Dua bulan yang lama itu sekarang telah meluruh menyisakan sebuah pertemuan manis. Pesan singkat yang terkirim bertubi-tubi setiap harinya, telah merobekkan jala yang menghalangi sebuah tatapan langsung dengan makna yang terjuntai tanpa henti. Mereka bertatapan. Terkadang kekakuan bisa dilenturkan hanya dengan sebuah tatapan yang meneduhkan. Hingar bingar manusia lain tak tergubris. Dunia semakin kecil. Waktu terasa berhenti. Lagi dan lagi. Hanyutan tawa kecil dan nada yang membuat telinga tak bisa berhenti mendengar seakan membawa sebuah asa. Dia ada karena dia datang. Datang menemui dia dengan lantunan nada yang tak terdengar namun terbisik di hati masing-masing.

Letupan janji-janji pertemuan itu telah menjadi sebuah ledakan yang membahana dalam ruang kecil mereka. Milik mereka sendiri. Sang pelayan yang mengantarkan pesanan mereka pun hanya dianggap sebagai sebongkah boneka yang tak bisa menghalagi rangkaian kata yang mengalir dan rengkuhan mata yang membisu namun memaknakan sebuah pusara dunia dimana mereka tak tahu apa itu. Dan dari mana itu.

Pekerjaan, keluarga, teman, kuliah, karir, dan perbincangan lainnya terlantun dengan tenang. Dentingan sendok di atas piring dan gelas kaca, seakan bertindak sebagai sebuah instrumen musik yang mengiringi alur nada percakapan mereka. Begitu indah, dan hanya mereka yang tahu lirik lagu itu. Waktu, tetaplah begini. Jangan bergerak saat dia menginginkan semuanya berjalan dalam genggamannya. Pertemuan ini mempercantik dunia mereka. Menggetarkan pori-pori hati dan jantung mereka dengan sapuan nuansa gelombang yang tak mereka mengerti. Apapun itu.

Pemuda itu tersenyum...
Lelaki itu tertawa...
Dia terdiam, memperhatikan...
Matanya tak pernah terlepas dari sorotan itu...
Berkata...
Berbicara...
Bercerita...
Berpusara untuk kesekian kalinya...
Dalam rotasi perasaan yang tak jelas
Teralami oleh dia dan dia...

Sunday 7 February 2010

Lembaran Sore Bersama Miyabi

Aku cuma terduduk sibuk di depan komputer lama ayah yang sekarang telah menghiasi isi kamar kosku yang sempit dengan kipas angin mungil berada tepat di sampingnya. Tanganku tidak berhenti menekan tombol-tombol keyboard, mencoba mencari data penting yang aku perlukan untuk menguak misteri itu. Aku bisa, aku pasti bisa membongkarnya! Pikirku dengan keyakinan tinggi, masih tetap berkutik dengan tombol dan monitor kmputer. Sebentar lagi Mal! Sebentar lagi! Kamu bakal tau ada apa dengan semua ini.

Semua file dan folder sudah hampir semua ku jelajahi, tapi dimana data itu. Aku perlu data dan foto-foto itu. Kipas angin yang sejak tadi berputar cepat di sampingku, tidak dapat mendiamkan peluh yang sejak tadi mengalir deras di kening dan leherku.

Sejenak aku berpikir keras, kenapa? Dimana? Bagaimana semua ini dapat terjadi? Oh damn! Shit!

Acong, yang aku pikir dia sahabat baikku, sungguh tega melakukan pengkhiatan ini padaku, di depan mataku pula! Andai saja aku tahu sejak lama kalau dia bisa melakukan perbuatan terkutuk itu, sungguh, bakal kulumat dia di depan orang tuanya.

Tapi yang sekarang kubutuhkan cuma file itu.

File...

File dan foto...

Sejenak mataku tertegun dengan folder yang begitu asing kulihat beberapa lama ini, tepatnya setelah ayah memaketkan komputer ini dari Kediri ke Surabaya. Folder itu bertuliskan ‘lobby’. Hah? Lobby? Sepertinya aku tidak pernah menggunakan kata itu sebagai nama folder. Dari dulu sampai sekarang, nama-nama folder yang kugunakan semuanya menggunakan istilah dari novel Harry Potter kesukaanku, seperti pensieve, nimbus 2000, broom stick, dan sebagainya. Tapi folder ini? Aneh, pikirku.

Tapi masa bodoh! Toh ini komputer milikku, aku bebas meng-otak-atik sesukaku, terserah file apapun yang tersimpan di dalamnya. Hal itu karena komputer ini tidak hanya aku pribadi yang menggunakannya, Gilang dan Doni juga sering meminjamnya, meski hanya digunakan untuk nonton bokep yang selama ini mereka koleksi hasil download dari internet.

Tapi hal itu tidak menutup kemungkinan file penting itu juga tersimpan di dalamnya.

Pencarian pun berlangsung.

Detik demi detik aku mulai membuka satu per satu file dan folder yang ada, meski sesekali berhenti untuk melihat sekelumit gambar-gambar porno yang ada di dalamnya. Gila! Banyak banget barang-barang mesum yang mereka simpan di komputerku.

10 menit

20 menit... dimana? Dimana file itu?

Tai!!!

Aku sudah muak dengan semua ini, aku tidak mendapatkan hasil apa pun. Semuanya nihil! Anjing! Umpatku.

Tiba-tiba aku teringat dengan folder yang dulu Doni pernah bilang kalau dia meng-hide salah satu folder pornonya. Tapi di mana?

HP yang terdiam membujur kaku di atas tempat tidur segera ku ambil. Langsung ku pencet tombol yang menghubungkan aku dengan fitur phonebook.

KOM Doni... KOM... Nah ini dia!

Aku pencet tombol dial, sejenak tedengar hampa, namun tiba-tiba muncul nada ‘bip’ kemudian nada tunggu.

“Hallo, apa Mal?” sapa Doni di seberang sana.

“Eh Don! Masih inget gak file yang lo hide di komputer gw beberapa waktu lalu, yang lo bilang itu ‘something special’?” tanyaku terburu-buru.

“Yang mana to?”

“Yang dulu pas gw pulang kuliah, lo ma temen-temen lo buru-buru hide folder porno itu, itu tuh yang pas gw datang sama pembokat gw itu lho?” pertanyaanku semakin memburu waktu.

“Oh iya, aku inget! Tapi aku lupa narohnya dimana?”

“Lho gimana sih?” aku semakin jengkel dengan jawabannya.

“Ya maap, tapi bentar, dulu komputermu itu ‘kan pernah kamu instal ulang to? Mungkin aja ikut kehapus! Tapi mending kamu cari dulu di folderku or punyanya Gilang!” jelasnya.

“Sudah Goblok! Tapi gak ada... Wes gini aja, kasih tau gw apa password buat buka hide-folder itu?”

“Bentar... sandinya agak mesum Mal! Hehehehe...” jelasnya sambil tertawa tidak jelas.

Halah, aku udah kebal ma hal-hal porno and mesum kayak lo! Cepetan! Passwordnya apa?”

“Vaginawati...heheheh” jawabnya singkat.

“Anjing, dasar maniak lo! Yo wes thanks ya!”

“Oke, Assalamualaikum!”

“Hah! Wa’alaikumsalam!” jawabku. Busyet itu anak sudah terlahir mesum masih inget salam juga ternyata.

... ... ...

Kembali tangan dan mataku fokus ke komputer. Pencarian dimulai lagi. Aku mulai mencoba menjelajah kembali ke folder Doni dan Gilang. Pertama ke folder Gilang dulu. Aku klik folder dengan nama ‘insomniac’, terus aku klik bagian ‘tools’ dan muncul fitur ke program hide folder and file. Aku masukkan password tadi. Dan klik.

Tidak terjadi apa-apa.

Tidak muncul folder tersembunyi.

Oke kayaknya tidak ada, pikirku.

Kemudian aku memasuki folder Doni dengan nama ‘necking’, ya... tetep mesum sama seperti yang punya. Aku melakukan sesuatu yang sama seperti apa yang aku lakukan sebelumnya. Dan klik!

Tidak muncul...

Sama sekali tidak ada folder tesembunyi yang muncul.

Damn!

Aku sudah mulai jengkel, ingin banget ngomel-ngomel sendiri, tapi aku sedang tidak mood mengeluarkan suara berlebih yang pasti tambah bikin rusak suasana.

Sepi

Diam

‘broom stick’

Folderku? Mungkin saja.

Langsung aku meng-klik folderku itu, dan memasuki program hide. Sama seperti sebelumnya. Pas terakhir aku klik.

Tiba-tiba muncul folder samar-samar

‘nippon’

Hah? Folder apa itu? Benarkah di dalamnya ada file rahasia itu?

Data dan foto penting yang dapat mengungkap misteri yang kini sedang ramai dibicarakan?

Aku mulai merinding, panas-dingin mulai menyerang tubuhku.

Aku klik folder itu...

Dan benar! Ya Tuhan, inilah data penting itu!

Aku segera menyalakan printer yang tepat berada di bawah meja komputerku. Printer-machine itu baru ku beli beberapa waktu lalu, dan tinta yang keluar dari mesin itu masih bagus. Hasilnya pun masih tajam. Kertasnya masih cukup. Pikirku sambil mengecek dan memprogram mesin itu hingga siap digunakan.

Waktu semakin berjalan lebih cepat, tidak biasanya, pikirku tanpa logika.

Segera ku cetak semua data dan foto itu.

Dahsyat!

Aku telah menemukannya!

Berlembar-lembar jurnal dan tulisan telah tercetak dengan jelas.

Thanks God!

Lembaran-lembaran kertas dengan judul “RIWAYAT HIDUP DAN KOLEKSI FOTO MARIA OZAWA (MIYABI)” telah berhasil tergenggam di tanganku.

Amal – Sore-Sore Sarap

February, 25 2009