Special for your loving life...

...Do the best for our life...

Sunday 20 February 2011

Oil, Geography, and War: The Competitive Pursuit of Petroleum Plenty

Dalam beberapa dasawarsa terakhir, kontur sistem internasional telah ditandai oleh beberapa karakteristik yang membawa sebuah perdebatan besar dalam studi hubungan internsional. Aktor-aktor internasional yang terlibat di dalamnya, juga memberikan konstruksi paradigma tersendiri terhadap karakteristik-karakteristik tersebut sebagai faktor keterlibatannya dalam kemelut yang terjadi di ruang internasional global. Sedikitnya terdapat tiga karakteristik utama yang membawa pola khusus dalam kancah hubungan antar aktor internasional, diantaranya: minyak, geografi, dan perang. Ketiganya menjadi sudut pandang penting dalam memahami konflik dan berbagai ruas masalah yang terjadi dalam lingkup internasional yang mengikat antar-aktor tersebut.

Pertama, minyak. Tak dapat dielakkan bahwa keberadaan sumber daya yang tidak dapat diperbarui ini menjadi salah satu kepentingan negara bahkan aktor non-negara untuk dimiliki dan dikelola secara berkesinambungan oleh aktor-aktor tersebut. Hal ini terjadi karena pada saat ini, khususnya di sepuluh dasawarsa terakhir, minyak menempati posisi sebagai sumber daya yang paling penting dan dibutuhkan oleh aktor-aktor internasional. Dan prospek dari kepentingan untuk kepemilikan minyak semakin dipertegas secara massal saat aktor-aktor non-state (MNC, NGO, IGO, dll.) mulai bermunculan di awal-awal tahun 1990-an. Tatanan minyak bumi yang dialokasikan secara massal dan tersebar keseluruh pelosok dunia, menjadikan minyak semakin berperan penting sebagai konsumsi energi utama dunia. Dan ini mempertegas bahwa kebutuhan pemenuhan energi utama yang ingin dipenuhi oleh semua aktor internasional menjadikan minyak sebagai salah satu faktor munculnya konflik. Kondisi minyak yang tidak dapat diperbaharui sebagai sumber daya alam, semakin rawan konflik saat kepemilikan dari ladang minyak hanya ada di beberapa wilayah tertentu di bumi ini. Atmosfer persaingan yang tidak dapat terelakkan, semakin sengit terjadi saat faktor geografi mengambil alih. Dan benar, faktor kedua, yaitu geografi, menjadi tajuk kedua dari konstalasi kebutuhan akan minyak bagi dunia internasional. Geografi yang menjadi suatu kondisi yang stuck dan paten dari sebuah negara, hal ini ditambah pula dengan fakta bahwa tempat yang memiliki potensi kandungan eksplorasi minyak sangat terbatas untuk daerah tertentu dan daerah tersebut berada di wilayah di negara tertentu yang memang rawan konflik. Dan karakteristik ketiga dari konstalasi minyak bumi di dunia adalah perang. Dengan kerawanan konflik yang terjadi dari perebutan sumber energi tersebut, adalah munculnya satu konflik akibat kompetisi perolehan minyak bumi yang dilakukan oleh aktor-aktor internasional tersebut. Sehingga dari tiga karakteristik tersebut, muncul hubungan yang sejalan antara perebutan penguasaan terhadap minyak, faktor geografi, dan konflik yang terjadi yang berujung pada perang.

Keberadaan hubungan antara minyak, geografi, dan perang akhirnya memunculkan dinamika dalam tatanan sistem internasional, khususnya pada aspek pemenuhan sumber daya alam tersebut. Dalam hal ini, Michael Klare (2001) menguraikan tentang eksistensi perebutan kontrol atas minyak. Awalnya, dia menjelaskan tentang konsep dasar dari permulaan politik minyak yang berawal ketika era Perang Dunia I, yang menjelaskan tentang peran Britania Raya yang berusaha mengontrol distribusi minyak melalui Anglo-Persian Oil Company (APOC), terutama pada minyak yang berasal dari Persia (Iran). Dan kondisi ini terjadi pada tahun 1914 (Klare, 2001). Dalam sejarah perminyakan internasional, eksistensi Britania Raya dalam kontrol terhadap minyak dunia dilakukan dengan menggunakan kekuatan militer yang ada. Hal ini terjadi karena tujuan penguasaan minyak terfokus lebih kepada pemenuhan kebutuhan akan alat perang sebagai imbas dari Britania Raya sebagai negeri imperialis.

Seiring waktu, sistem kontrol Britania Raya tersebut, pada akhirnya diikuti pula oleh Prancis melalui Compagnie Francaise des Petroles. Di belahan dunia lain, politik minyak yang berkaitan dengan kontrol atas distribusi tersebut, kemudian berlanjut di negara Amerika, terutama paska era Perang Dunia. Di era paska Perang Dunia, Amerika melalui Truman Doktrin yang dibentuk tahun 1947 dan Eisenhower Doktrin pada tahun 1957, berusaha memunculkan sebuah aliansi terhadap negeri-negeri di Barat yang difokuskan untuk mendapatkan kontrol kepentingan atas minyak di negara-negara Timur Tengah, seperti Iran, Iraq, Arab Saudi, dan di kawasan-kawasan lain. Dan seperti pendahulunya di belahan Eropa, kontrol terhadap minyak yang dilakukan oleh Amerika juga dijalankan dengan mengerahkan kekuatan militer. Dan imbas dari kondisi ini memunculkan situasi terhadap politik minyak yang menegaskan bahwa kontrol minyak tidak hanya dilakukan oleh negara yang menjadi konsumer, namun juga dilakukan oleh negara penghasil dan pemilik sumber daya minyak tersebut. Satu bukti dari konstalasi perpolitikan minyak ini terjadi di era 1937-an, dimana Arab Saudi menghentikan penyaluran minyak kepada Amerika Serikat akibat dari kondisi Israel yang mendapat dukungan dari negeri Paman Sam tersebut. Hal ini dipertegas dengan kenaikan harga minyak yang diberlakukan oleh OPEC disaat yang sama dan diperparah dengan kegoncangan ekonomi akibat resesi ekonomi pada era 1970-an (Klare: 2001).

Adanya kerumitan terhadap kontrol minyak dan konstalasinya yang dilakukan oleh aktor-aktor internasional tersebut, akhirnya Klare yang memiliki fokus mencari lingkup dinamika yang ada dalam politik minyak, mulai menentukan tiga faktor utama di dalam perpolitikan tersebut. Ketiga faktor tersebut, diantaranya Global Demand Pattern, Global Supply Equation, dan Constraints of Geography.

Pada tataran Global Demand Pattern, Klare menjelaskan tentang fokus pada perluasan pemanfaatan dan penggunaan minyak yang semakin tahun semakin meningkat dan menjadi konsumsi energi nomor satu dunia sebanyak 37% (Klare, 2001). Hal ini terjadi karena adanya kebutuhan akan bahan bakar transportasi yang semakin naik karena kebutuhan transportasi pun semakin meningkat. Namun, kondisi kebutuhan akan bahan bakar minyak pada transportasi, jelas Klare, akan segera berkurang saat transportasi berbahan bakar hibrid mulai dicanangkan akibat keberadaan minyak bumi semakin langka. Dari situasi ini, Klare kemudian menghubungkannya dengan permasalahan geografis dimana terdapat keterbatasan geografis yang dikaitkan dengan sumber daya minyak yang saat ini terpusat di Timur Tengah. Bukan hanya itu, kondisi terbatasnya lokasi ladang minyak, juga dijelaskan sebagai pemicu munculnya konflik lokal serta membanjirnya intervensi dari negara lain terhdap kebutuhan yang sama. Dalam atmosfer persaingan tersebut, akhirnya kondisi ini menciptakan usaha penemuan alternatif bahan bakar baru dan mengurangi pengunaan produksi minyak yang telah berangsur-angsur mengalami penurunan dan pengurangan di cadangan minyak yang belum terpakai. Dalam kondisi seperti ini, Klare juga menegaskan perlunya keterlibatan analisa ahli geologi untuk mengembangkan prospek pemanfaatan minyak seminimal mungkin karena turunnya produksi minyak tersebut. Disamping munculnya fakta terhadap kebutuhan pemanfaatan akan minyak, maka dapat dipastikan tidak ada perubahan terhadap konsumsi minyak, sehingga kemungkinan yang akan muncul adalah kelangkaan atas minyak. Kondisi ini sekaligus menjelaskan faktor kedua dalam pembahasan ini, yaitu Global Supply Equation.

Dari dua faktor yang telah dijabarkan sebelumnya, pada akhirnya Klare mulai membuat relasi tentang keberadaan minyak, faktor permintaan, dan aspek geografis. Dalam kasus ini, faktor geografis mengambil area penting karena keberadaan sumber minyak atau ladang minyak, tergantung dari tanah atau laut dimana geografi itu berda dalam batas sebuah negara. Dan kasus ini juga terkait dengan keberadaan sumber daya minyak yang terpusat di Timur Tengah. Selain itu, kondisi negara tempat sumber minyak yang selalu terlibat konflik internal (lokal) juga menjadi sumber interfensi negara lain yang ingin memanfaatkan kondisi, sehingga mampu memenuhi kepentingan mereka masing-masing atas minyak di dalam negara yang berkonflik. Dalam hal ini, Klare menyatakan bahwa adanya konflik seperti ini akan memicu munculnya interfensi militer serta upaya untuk mengalihkan ketergantungan minyak kepada daerah lain. Selain itu, sekaligus untuk menyelamatkan jalur distribusi dan penyaluran minyak agar tidak terhindar dari konflik lokal yang terjadi

Dari uraian di atas, kita tentu menyadari bahwa Klare menekankan tentang hubungan antara supply dan demand terhadap minyak, tidak bisa dilepaskan dari faktor geografi. Dan dari fakta tersebut, dijelaskan pula bahwa geoekonomi telah mengalami perkembangan dimana awal abad 20 minyak dikontrol oleh negara agar negara memenangkan perang. Sedangakan beberapa dekade terakhir, minyak dikontrol oleh negara, agar negara menguasai ekonomi dunia. Di sisi ini, kita dapat melihat dengan jelas bahwa pola geoekonomi telah mengalami pergeseran dilihat dari kebutuhan aktor-aktor internasional terhadap minyak. Minyak yang pada awalnya digunkan sebagai pemenuhan kebutuhan perang, bergeser menjadi pemenuhan kebutuhan ekonomi. Dan dalam hal ini, dapat diungkapkan juga bahwa konflik yang terjadi akibat kaitannya dengan minyak tidak akan pernah berakhir karena untuk saat ini belum ada bahan bakar dari sumber daya alam dunia yang dapat menggantikan minyak.

Referensi.

Klare, Michael. 2001. ''Oil, Geography and War: The Competitive Pursuit of Petroleum Plenty''. Dalam Resource Wars: The New Landscape of Global Conflict. New York: Owl Books, pp. 27-50

No comments:

Post a Comment