Special for your loving life...

...Do the best for our life...

Sunday 3 July 2011

Kisah Nyataku: Espresso untuk Keluarga yang Mencintaimu


Mimpi paling indah untuk kamu yang sekarang jauh dari keluarga.

Semoga bisa memberikan hal terindah untuk kamu.

Kisah nyataku...


30 Juni 2011


Tepatnya tadi malam aku mendapatkan mimpi yang bisa mengingatkan kita betapa pentingnya keluarga dalam kehidupan ini. Sungguh berartinya ciptaan Tuhan itu hingga kita akan benar-benar menyesal jika ‘tak bisa mencium dan memeluknya saat mereka terpisah jauh dari kita. Ya, benar. Mereka adalah ayah, ibu, dan saudara-saudari kita.

Tuhan Maha Kuasa. Dia menciptakan mimpi yang membuatku menangis tertunduk sehabis sholat subuh pagi ini. Bersujud dan mengisak di atas sajadah merah yang tergelar di atas karpet. Sungguh indah dan mengagumkan karya-Mu, Rabb.

Berawal dengan gambaran seorang pria berumur sekitar 35 tahun. Memakai pakaian kerjanya sebagai seorang intelejen. Sibuk dengan urusan pribadi dan tenggelam dalam hiruk-pikuk metropolitan yang sedemikian rupa melepas semua batasan waktu. Terlihat pula stasiun-stasiun angkasa yang menggantung di langit kota. Lahan parkir susun khusus mobil-mobil terbang dan kendaraan umum yang menggantung di ujung kawat. Yang entah dimana ujung kaitnya karena tertutup awan saking tingginya. Dapat dilihat pula restoran cepat saji Mc Donald yang terletak di atas sebuah roof-top gedung 30 lantai, dimana bangunan unik bertingkat itu menyorotkan cahaya lampu melimpahnya ke seluruh penjuru. Lengkap dengan banyak lampu mercury yang menembus langit kota. Disampingnya ada tulisan besar menggantung dan mengkerjap-kerjap, ‘Open 36 Hours a day’. Masya Alloh, luar biasa masa depan nanti. Waktu yang diciptakan oleh Illahi yang hanya 24 jam sehari pun bisa dimodifikasi menjadi lebih panjang dari biasanya. Dan benar, itu lah keajaiban mimpi. Membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Dan membuat kemungkinan itu menjadi nyata di kehidupan sebenarnya. Hanya Tuhan yang tahu.


Kembali ke cerita mimpi. Di kota besar itu aku digambarkan sebagai seseorang yang sibuk dengan pekerjaanku sebagai agen badan intelijen yang mengharuskan mobile-working setiap waktu. Memberikan perlindungan dan menyelesaikan kasus keamanan dan pertahanan pada rakyat sipil. Serta sedikit menyombongkan diri –penyakit yang tak kunjung sembuh- di depan khalayak bahwa kita memiliki pengaruh dan kuasa tinggi atas segi keselamatan mereka. Dengan rumitnya pekerjaan yang harus dijalankan dan rentetan jadwal citizens guide –patroli ke rumah-rumah penduduk, agak aneh memang- mendadak aku ‘tak bisa menyelesaikan satu pekerjaan yang teramat penting. Hujatan dari atasn yang mewakili pemerintah mulai datang. Ancaman pemecatan siap menghujam di atas glass paper –kertas kaca, semacam surat LCD setipis plastik tembus pandang-. Bertubi-tubi kolega dan rekan kerja mulai memberikan mimik buruk dan menciptakan jarak dari kehidupanku. Tak ada waktu lagi yang dapat digunakan untuk menyembuhkan semuanya. Aku berhenti. Aku tertancap. Diam dan diam. Seakan dunia runtuh menimpaku. Tidak ada seorang pun yang mendukungku. Tak ada senyum ceria yang menghangatkan hatiku. Tak ada satu orang pun yang meredam emosiku.

Kehidupan workoholic yang takut akan kehilangan segalanya mulai meleburkan sisi-sisi idealismenya. Tak ada pasangan hidup. Dan seakan sahabat dekat pun susah untuk didapat. Semua hanya sebatas formalitas profesionalisme dari kehidupan yang aku jalani.

Gila.

Beku.

Mati.

...

...

Cahaya

Kilat


Tiba-tiba aku terlempar ke dalam sebuah kumparan dan lorong panjang. Aku melayang dengan kecepatan tinggi menuju ujung lorong yang teramat jauh terlihat. Dan diujung lorong tersebut aku melihat cahaya putih yang memancar bagai geliat sinar mentari di siang hari. Sementara itu di dinding lorong tersebut, aku bisa melihat gambaran masa-masa kehidupanku yang telah terlewati. Dan itu semua terlihat dalam sebuah layar-layar video yang banyak sekali. Aku bisa melihat diriku saat wisuda kuliah. Melihat pesta ulang tahunku yang ke-23 tahun. Tampak pula saat aku sujud syukur di depan kamarku sambil memegang pengumuman penerimaan mahasiswa baru. Dapat dilihat pula wajah kecewa ayah saat aku mengamuk karena ‘tak dibelikan sepeda motor. Apa?! Ayah kecewa!? Bukannya pada waktu itu Ayah marah besar dan hampir menamparku seusai aku pulang sekolah. Aku masih memakai seragam putih-abu-abu sambil menggerutu di depan Ayah minta dibelikan kendaraan itu. Aku berteriak padanya dan mengancamnya bahwa aku ‘tak akan masuk sekolah meski keesokan harinya aku tetap berangkat naik bis ke SMA-ku. Sekali lagi hatiku tercabik. Ternyata Ayah tidak marah. Beliau dengan wajah marah masuk ke kamarnya. Mengambil sebuah buku kecil dan secarik kertas, menunduk, dan meletakkan buku kecil itu di dadanya. Melihat kembali tulisan yang ada di kertas itu. Aku yang masih melayang di lorong panjang, sedikit menghentikan laju perjalananku. Meletakkan tanganku di layar dan menyentuh wajah ayah yang menunduk. Air mataku mulai jatuh. Bukan hanya jatuh, tapi mengalir deras. Terlihat sangat jelas huruf-huruf yang tergores dengan tulisan latin khas tgoresan ayah. Membacanya pun aku tak sanggup berkata apa-apa. ‘Tabungan Kuliah untuk Amal, Anak Keduaku yang Aku Banggakan.’ Dan dia membuang buku kecil satunya ke atas tempat tidur. Bertuliskan, ‘Tabungan Haji, ONH Plus’


Tuhankuu....

Ya Rabbi....


Betapa durhakanya aku! Betapa nistanya aku. Telah Engkau berikan seorang ayah yang memberiku kehidupannya. Yang merelakan mimpinya hanya untuk menciptakan kehidupanku di masa depan. Ya Rabbi. Kembalikan ayahku! Aku hanya ingin bersimpuh di kakinya dan memeluknya. Minta maaf atas kelancanganku selama ini.

Perlahan aku mulai terhempas lagi. Masih melayang di lorong panjang itu. Masih melihat layar-layar yang merekam kehidupanku di masa lalu. Melihat tubuhku terbaring lemas di atas kasur rumah sakit. Memandang kagum seorang wanita terindah yang masih memakai mukena putih dan mengecek selang infusku. Kemudian wanita itu kembali duduk di atas sajadah merahnya. Menengadahkan tangannya ke atas. Meminta sesuatu pada Sang Khalik. Seperti biasa, beliau selalu menitikkan air mata dalam doanya. Ibu. Jika Tuhan benar-benar menurunkan malaikat-Nya ke bumi. Aku telah memilikinya. Ibu. Itu ibundaku. Pahlawanku.


Dia tidak tidur demi menyamankan diriku yang merintih sakit akibat demam berdarah. Dan opname selama 7 hari itu perlahan melabilkan emosiku. Ibu yang membaca Al Qur’an dengan suara lirih agar aku ‘tak terusik saat terlelap. Beliau sangat tanggap saat aku harus buang hajat dan tak bisa ke kamar mandi sendirian. Aku ‘tak sanggup lagi berkata apa-apa. Menangis. Iya, aku menangis lagi. Ibu telah menengadah dan merintih kepada-Nya saat aku hanya bisa meronta. Kenapa aku harus terbaring di atas kasur keras dalam sebuah bangsal rumah sakit yang ditempati 3 pasien lain di ruangan itu. Mengapa aku harus kehilangan kesempatan ikut kompetisi pidato gara-gara penyakit ini? Aku masih menyalahkan ibu mengapa aku tak ditempatkan di ruang VIP agar aku cepat sembuh? Aku dan mengapa. Aku dan kenapa.


Ya Tuhanku...


Sekali lagi betapa hamba kurang bersyukur atas semua karunia dan nikmat malaikat berupa ibu yang Engkau berikan kepadaku. Betapa bodoh dan sangat kurang bersyukurnya aku pada waktu itu. Ibunda. Maafkan anakmu yang tak pernah memahami bagaimana perjuanganmu ini. Maafkan aku, Ibu!


Angin mulai meniup tubuhku lagi. Menjauh dari kebekuan di depan layar yang menunjukkan wajah ibu. Aku terhempas lepas.


Memcingkan mata dan menggigil, aku mulai melayang tebang. Melihat layar-layar berikutnya yang mengelilingiku di lorong itu. Melihat Kak Fina yang mengobatiku saat aku tertimpa dinding kamar mandi yang roboh. Kenyataan bodoh saat aku masih berumur sekitar 7 tahun. Memanjat dinding kamar mandi lama yang ada di belakang rumah. Masih mengenakan seragam sekolah dan sempat ingin kabur siang itu demi menghindari anjuran ibu untuk tidur siang. Dan sialnya, ibu telanjur marah. Menutup pintu dapur dan pintu depan rumah. Sehingga aku ‘tak bisa bergerak kecuali berputar-putar di halaman belakang rumah. Namun, bukan aku yang nakal jika tak punya akal cerdik. Aku memaksa naik ke dinding rapuh di dekat kamar mandi. Dan dengan bobot tubuh yang berat dan melimpah dibanding anak-anak seumuranku pada waktu itu. Akhirnya tubuhku pun berhasil menghancurkan tegapnya tumpukan batu berlumut itu. Darah bersimbah, tubuh terendam dalam air comberan, dan badanku gatal-gatal luar biasa karena teringsuk di semak-semak lateng –sejenis tanaman semak yang membuat kulit gatal-. Dan aku berteriak membahana.


Tangan halus mulai menyentuh lenganku, menarikku dari tindihan batu-batu keparat itu. Seorang gadis belia yang masih mengenakan rok SD-nya, mulai menggendongku di punggungnya. Iya benar, itu Kak Fina. Dia melepas semua baju dan celanaku di kamar mandi. Mengguyurku dengan air. Dan aku masih bisa merasakan betapa perihnya luka yang mengalirkan darah dari kulit lengan dan pahaku. Kemudian Kak Fina memapahku ke tempat tidur. Membubuhkn obat merah di luka-lukaku. Menaburi bagian tubuhku yang bentol-bentol akibat tanaman lateng itu. Dan menyelimutiku setelah itu. Aku masih merintih dan menangis dengan kesakitan yang luar biasa itu. Namun, rasa sakit itu perlahan hilang ditelan bumi. Kak Fina selalu bilang: ‘Anak laki-laki itu harus kuat, Dek! Mbak aja kuat lho!’ sambil mengangkat bagian siku dan dahinya yang berdarah. ‘Mbak tadi habis bikin KO si Saeful! Menang telak! Jangan bilang ibu, ya!?’ Dan dia berlalu sambil meringis dan tersenyum kecil. Dan yang pasti, selalu berjalan pincang. Yah! Itu Kak Fina! My Super Girl.


Di saat yang sama, aku amat merindukannya. Dengan seorang pangeran cinta dan dua bidadari di pangkuannya. Dalam keluarga kecil yang tinggal di pinggiran kota. Kak Fina terlihat semakin cantik dengan jilbab yang dia kenakan. Baju berlengan panjang yang membalut tubuhnya, tak mengurangi kecekatannya saat menyuapi putri terkecilnya, Icha, yang terus merangkak lincah di atas karpet ruang tamu. Dan dia juga masih bisa membagi otaknya dengan membantu mengerjakan PR si Farah, putri pertamanya yang semakin pintar karena terus bertanya pada ibundanya. Kak Fina beda. Dia tumbuh menjadi seorang ibu rumah tangga yang seratus persen mengabdikan hidupnya demi putri-putrinya sekaligus suaminya. Kak Fina selalu bilang, ‘Cita-citaku sudah terwujud, Dek! Mbak wis sukses jadi wanita sempurna dan memiliki pekerjaan paling agung sedunia. Menjadi ibu.’ Dan dia kembali tersenyum kepadaku. I miss you, Kak!

Angin hangat mulai menerpa dadaku. Dan dengan sigap membenturkan kepalaku ke layar lain di lorong panjang itu.


Si penggerutu ada di depan mataku. Tersenyum.


Masih terngiang di benakku waktu melihat adik pertamaku Johan, berteriak-teriak di atas pohon dan memintaku menangkap setangkai buah rambutan yang dia dapatkan dari pohon rambutan belakang rumah. Aku lantas menangkapnya dengan sigap. Mengumpulkannya setangkai demi setangkai, dan memasukkannya ke dalam bakul plastik besar milik ibu. Dia selalu memintaku agar buah rambutan itu jangan dimakan dulu. Nanti saja saat nonton film Ultraman kesukaannya, begitu katanya. Tapi bebalnya aku, belum penuh sekeranjang, aku sudah banyak menelan daging buah berambut itu. Tak urung, adikku Johan marah besar. Sambil berteriak-teriak dia mulai meniti dahan-dahan di pohon itu dan memanjat turun. Aku sambil tertawa langsung mengambil banyak-banyak buah yang ada di bakul itu dan berlari masuk ke dalam rumah. Johan masih berteriak-teriak tidak rela. Mungkin karena hujan lebat semalam, dahan dan batang pohon rambutan itu agak sedikit lapuk dan licin di bagian kulitnya. Belum sampai ke dapur, terdengar suara debaman kecil dari arah pohon dan seketika itu teriakan nyaring Johan menghilang. Aku masih tertawa kecil sambil bersembunyi di balik pintu. Sesaat dari arah belakang rumah, Ibu berteriak. Johan jatuh dari pohon. Dia diam ‘tak bergerak. Dan rambutan yang aku pegang jatuh ke lantai.


Perban di kepala dan gips yang melingkar di lengannya, ‘tak bisa merusak ketampanan wajah adikku ini. Aku masih bisa melihatnya marah kepadaku dan beringsuk ke lengan ayah saat dia sadar di puskesmas. Aku hanya tertunduk. Antara malu dan merasa seolah menjadi orang paling bodoh sedunia. Dan hampir menangis jikalau Johan akan pergi selamanya hanya karena kenakalanku ini. Aku hampir menangis dan berucap kata maaf lirih kepadanya. Dan yang pasti masih dengan posisi menunduk. Namun, perlahan dia memandangku. Dan berkata, ‘Mas, kupasin rambutanku! Ayo maem bareng!’. Aku kaget. Aku mulai berani melihat wajahnya. Dan dia tersenyum. Dan aku segera merangkulnya. Namun, dia berteriak, ‘Mas, lenganku masih sakit!’ sambil tertawa kecil. That’s my Bro! The little teacher of life.


Aku kembali bergerak. Meluncur ke ujung lorong. Namun, udara yang menerpa dan melayangkan tubuhku ini sepertinya agak sedikit lembab.


Monitor yang aku lihat kali ini gelap gulita. Tidak muncul gambar apa pun seperti layar-layar sebelumnya. Sepertinya ada yang ganjil di layar ini. Akan tetapi, mendadak muncul jemari kecil yang mengusap-usap layar. Dan perlahan aku mengenali tangan itu dan melihat wajah si bungsu. Adikku yang luar biasa, Alan.


Menyaksikan adikku Alan yang sibuk mengipasi bara api dan membakar tusukan-tusukan daging kambing adalah satu rutinitas yang selalu dia lakukan dengan penuh rasa bangga saat Hari Raya Kurban tiba. Kami sering sekali melakukannya diam-diam bersama Kak Fina dan Johan di bawah pohon rambutan saat ayah sibuk menjadi panitia penyembelihan di masjid atau tidak ada di rumah. Ayah sering kurang suka dengan acara bakar-bakaran sate seperti itu. Beliau selalu bilang, ‘Nduk-Le! Jangan dibiasakan pesta bakar-bakaran. Daging kurban itu hak-nya fakir-miskin, sementara kita masih mampu beli. Nanti ayah belikan di pasar.’ Kami hanya bisa diam sesaat setelah ayah bersabda. Namun tidak si bungsu, yang sepertinya paling bersemangat dengan status barunya sebagai tukang sate. ‘Hoalah, Yah! Kita ‘kan dikasih sama masjid, lagian juga ndak nyuri to?! Rezeki ‘kan ndak perlu ditolak, Yah!’ Aku, kak Fina, dan Johan hanya manggut-manggut, mendukung opini dek Alan. Dan ayah melihat kami berempat dengan tatapan tajam. Sambil berlalu, beliau bilang, ‘Yowislah, anak-anakku paling pinter kalau ngeyel’. Dan kita berempat pun tersenyum. Tertawa cekikikan sambil membakar dan mengunyah daging-daging itu. Mecocolkannya ke sambel kecap. Membakarnya lagi. Dan mengunyahnya lagi.


Namun, di satu Hari Raya Kurban, ada sedikit yang berbeda dari hari raya ini dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada waktu itu ayah sakit sehingga beliau harus istirahat total di rumah. Ayah minta izin ke masjid agar tidak dijadikan panitia kurban pada tahun itu. Dan ini juga yang merubah raut muka si bungsu. Dari sejak pulang sholat ied dan setelah penyembelihan kurban di masjid, si kecil itu hanya makan sedikit dari sarapan yang telah ibu sediakan di rumah. Dia berpikir, jika ayah tidak menjadi panitia kurban, daging kurban pun pasti ‘tak datang ke rumah. Sementara itu aku dan Johan masih mengikuti kegiatan hari raya Idul Adha di sekolah kami masing-masing. Dan Kak Fina pada tahun itu belum bisa pulang kampung karena ada acara di kampusnya. Namun si kecil ini memang bisa dikatakan pantang menyerah. Seperti yang diceritakan oleh ibu. Putranya yang masih kelas 2 SD ini berlari ke masjid dengan membawa topi hitam yang sering dia gunakan bermain. Tak lama kemudian, tepatnya sesaat sebelum adzan ashar akan berkumandang, si bungsu ini telah pulang dengan membawa satu tas kresek daging kambing dan daging sapi di tas kresek satunya. Dengan bangga dia mulai membakar daging-daging yang sudah dia bentuk serupa sate dan memamerkannya pada ibu. Ibu sampai terheran-heran bagaimana si anak ingusannya bisa mendapatkan daging itu. Dan ternyata, adekku yang nakal ini, sejak siang hari telah ikut menjadi panitia kurban dadakan. Dia ikut membantu membagi-bagikan daging kurban ke para penerima daging kurban. Dengan menaiki becak bersama mas-mas masjid yang jauh lebih tua umurnya dari dia, dek Alan mulai menjelajah seluruh desa hingga ke desa tetangga. Kami sekeluarga sampai berdecak kagum atas semangatnya yang luar biasa. Si kecil Alan telah menjadi motivator dadakan bagiku. Adikku yang luar biasa.


Dan saat sore tiba, dimana aku dan Johan sampai di rumah. Sepiring sate telah siap di meja dapur dekat kompor. Si bungsu selalu pamer. Sementara itu aku dan Johan hanya bisa menepuk dadanya dan mengusap kepalanya. ‘Edan kamu, Dek! Mantep tenan!’ kata Johan sambil tertawa kagum. Dan di sore itu, kami sekeluarga makan sate khas Alan

adikku dengan penuh kebanggaan. Memang benar-benar edan.


Keluargaku...

Itu keluargaku...

Benar-benar keluarga yang aku cintai...


Tak terasa aku telah sampai di ujung lorong. Aku terhempas dan menemukan diriku berdiri di sebuah halaman yang dipenuhi tanaman hias. Bougenvile, palem-paleman, adenium, dan beragam tanaman hias lainnya. Aku mengenali tempat ini. Dan saat aku menoleh ke belakang, aku melihat bangunan dengan dinding yang masih belum di cat. Sementara di sisi lainnya aku melihat jendela-jendela yang terbuka lebar. Aku tahu apa ini. Rumahku.


Namun ada yang terasa janggal. Rumahku sepi. Sangat sepi. Aku berteriak lantang memanggil semua anggota keluargaku.


Ayah.

Ibu.

Kak Fina.

Dek Johan.

Dek Alan.


Tapi ‘tak ada seorangpun yang membalas panggilanku.


Aku mulai kebingungan. Membuka semua pintu yang ada di rumah, namun ‘tak seorang pun ada di dalam satu ruangan. Senyap. Benar-benar senyap. Akan tetapi, bukan Amal jika hanya diam. Aku berlari ke teras depan, sepi. Aku mulai berlari ke arah belakang rumah, ke arah pohon rambutan, tak ada siapa pun. Dan berakhir dengan pikiranku yang mulai putus asa.


Aku payah dan capek. Sesaat aku telah terkapar di atas sofa ruang tamu dimana ayah sering membaca koran di kursi empuk itu. Dan mendadak aku terhenyak. Luar biasa kaget saat mataku melihat sebuah bingkai foto yang tergantung di dinding di depanku. Terlihat jelas sebuah potret keluarga bahagia. Senyum yang terpancar dari setiap orang yang ada dalam bingkai itu dengan jelas memancarkan sebentuk keluarga yang harmonis. Keluarga yang lengkap. Ada ayah, ibu, dan putra-putrinya. Dan aku sadar, itu potret keluargaku.


Namun, degup jantungku serasa berhenti berdetak. Sesaat aku sesak nafas. Ada yang ganjil.

Di potret itu ada ayah, ibu, kak Fina, dek Johan, dek Alan, dan...


Dimana aku?!!!


Dimana bentuk diriku yang seharusnya menjadi anak kedua dalam potret keluarga harmonis ini?!!


Aku tidak ada...


AKU TIDAK ADA!!!

...

...

Wajahku mulai berurai air mata.

Dan sesaat setelah menyadari tidak adanya gambar diriku di dalam bingkai potret keluarga itu, aku juga merasakan hal aneh menyerang tubuhku.


Aku melihat tubuhku mulai menjadi balutan daging tembus pandang. Transparan. Dan perlahan menghilang. Awalnya kaki dan tanganku. Kemudian merambat ke seluruh tubuhku. Dan aku masih berteriak-teriak. Memanggil keras-keras semua anggota keluargaku.

Tidak bisa. Aku telah terlanjur lenyap.

...

...


‘Allahu Akbar-Allahu Akbar...’


Suara adzan subuh membuyarkan mimpi-mimpiku. Hanya istighfar dan menyeka keringat yang membasahi tubuhku yang bisa aku lakukan tepat saat jam dinding menunjukkan pukul empat pagi lebih beberapa menit. Ya Alloh, Ya Tuhanku. Mimpi yang aku alami ini begitu nyata.


Buru-buru aku beranjak dari tidurku. Mengambil air wudhu dan sholat subuh di masjid sebelah kosku. Mendoakan almrhum ayah yang telah lama bersama-Nya. Mendoakan kesehatan dan berkah kehidupan lahir-batin dunia-akhirat untuk ibu dan saudara-saudaraku. Untuk keluargaku. Untuk orang-orang yang mencintaiku.


Pagi itu aku sadar. Walau ayah telah lama tiada, aku masih bersyukur karena hingga sekarang aku masih bisa mendengar suara ibu, kak fina, dek johan, dan dek alan. Meski hanya lewat telepon.


Namun, entah sampai kapan? Aku pun ‘tak tahu. Dan yang lebih aku sadari, selama mereka masih ada, tidak ada alasan bagi kita untuk terlalu sibuk dengan urusan pribadi dan melupakan mereka. Pergunakan waktu sebaik-baiknya. Cintai keluarga kita.


Jangan sampai kita menyesal di kemudian hari.


Terima kasih.


Nb. Pagi itu aku menelepon Ibu dan Ibu hanya bilang, ‘Lha sekarang ibuk lagi sama mbakmu dan adek-adekmu lho Mas di rumah! Ayo kapan pulang? Mau dibakarin sate kambing?’


AKU SEGERA PULANG, BUNDA!