Special for your loving life...

...Do the best for our life...

Wednesday 9 December 2009

Level-level Analisis dalam Penelitian Ilmiah

IMPLEMENTASI NYATA UNTUK MENGANALISA FENOMENA INTERNASIONAL


Saat melakukan penilitian ilmiah di ruang lingkup hubungan internasional, terdapat kegiatan analisis yang diterapkan dalam tingkatan-tingkatan tertentu sesuai teori yang dipakai dalam memahami dan mempelajari fenomena hubungan internasional yang dikaji, yang disebut sebagai Level of Analysis. Penggunaan satu atau lebih teori tertentu sangat diperlukan untuk menekankan konsep apa yang dipakai dalam pengkajian fenomena internasional serta fokus yang akan dihasilkan sebagai output dari penelitian ilmiah tersebut. Dalam situasi dan kondisi seperti ini lah level analisis diperlukan. Dan pada dasarnya, antara level analisis yang dimiliki oleh teori satu, tentu saja memiliki tingkatan berbeda dengan level analisis teori lainnya.


Dalam ranah hubungan internasional misalnya, saat kajiannya berhubungan dengan teori-teori di dalamnya, kita tahu bahwa terdapat pembagian antara dua kubu kelompok besar dari teori yang dipakai, yaitu teori aliran mainstream (utama) dan teori aliran alternative (pinggiran). Aliran mainstream yang digawangi oleh realisme, liberalisme, dan marxisme, merupakan teori-teori utama yang sejak lama dipakai oleh para ilmuan politik-sosial sebagai landasan dalam menganalisa fenomena HI. Realisme yang menekankan tentang negara sebagai aktor utama dalam HI, merupakan poin utama dari teori ini. Begitu pula dengan liberalisme yang secara langsung mengkaji tentang pemenuhan kepentingan individu tanpa ada campur tangan dari negara, serta marxisme yang mengusung aspek-aspek pergulatan antar-kelas yang terbagi dan memiliki kepentingan berbeda dalam masyarakat. Hal ini juga terjadi dalam perkembangan realisme klasik menjadi neo-realisme, menekankan bahwa negara bukan hanya menjadi aktor dan pihak utama sebagai level analisis satu-satunya. Dalam neo-realisme, masih ada ‘sistem ‘ yang ternyata bisa dijadikan level of analysis. Tentu saja dengan alasan bahwa negara yang pada awalnya dianggap sebagai institusi tertinggi, ternyata masih memiliki pihak-pihak individu yang menjalankan organ-organ penting dalan tubuh negara, dan organ-organ itu tergabung dalam sistem organ yang pada akhirnya melengkapi kostruksi organisme negara tersebut. Dari fakta inilah, sistem dapat dipakai sebagai satu poin dalam level analisis. Hal ini juga terjadi dalam perkembangan teori aliran mainstream lainnya, baik neo-liberalisme atau pun neo-marxisme. Dari pemaparan ini, dapat kita kaji bahwa level of analysis dapat dibagi kedalam beberapa bagian, yaitu negara, individu, kelompok individu, dan sistem.[2] Sedangkan di lain literatur, pembagian ini dapat dibagi menurut Buzan dan Little menjadi lima peringkat analisis, yaitu individual, sub-unit, unit, sub-sistem internasional, dan sistem internasional.[3] Di lain pihak, masih ada teori aliran alternative yang juga memiliki level analisis tersendiri. Satu contoh adalah teori konstruktivisme, yang menekankan tentang keberadaan agen dan struktur yang dipandang sebagai level of analysis dengan rincian penjelasan bahwa agen dipahami sebagai pelaku dan struktur adalah hal-hal yang ada di luar pelaku tersebut. Aliran fokusnya berawal dari agen yang dilihat dari kultur, esensi, mahzab, background, dan sebagainya, hingga pada tingkatan struktrunya yang dianalisa dari sistem, mahzab, dan sebagainya. Dari fakta ini, level analisis konstruktivisme adalah agen dan struktur, yang tentu saja berbeda dengan level analisis dari teori-teori aliran mainstream yang telah disebutkan sebelumnya.


Sementara itu, apabila melihat perkembangan hubungan internasional pasca Perang Dingin, saat fenomena internasional yang dinalisa menuntut adanya peran dari level of analysis dalam pengkajiannya, maka menurut saya, level analisis yang cocok digunakan adalah level analisis agen dan struktur ala konstruktivisme, dengan alasan bahwa konstruktivisme berusaha melihat keterhubungan antara agen dengan struktur. Hal ini penting karena kondisi pasca Perang Dingin, fenomena internasional tidak lagi dikaitkan hanya oleh aktor-aktor ala teori aliran mainstream saja, tetapi juga mulai merambah ke aktor-aktor lain yang pada dasarnya dapat dikaji dalam format agen dan struktur apa yang menjadi ruang lingkupnya. Selain itu, konstruktivisme juga berusaha menghindari generalisasi dan reduksi yang telah dikotak-kotakkan ala teori aliran mainstream. Dengan kata lain, konstruktivisme secara utuh melihat semua level dari level of analysis agar mendapatkan pemahaman yang maksimal dari fenomena internasional yang dikaji.


Berkaitan dengan fakta di atas, hal yang menjadi tinjauan berikutnya adalah berkenaan dengan perlu-tidaknya penulisan level of analysis dalam karya ilmiah atau skripsi. Menurut saya perlu, dengan alasan bahwa level analisis digunakan untuk menggambarkan tingkatan-tingkatan dari analisis terhadap studi fenomena agar dapat diketahui terlebih dahulu fokus apa yang akan dijadikan output dalam penelitian ini. Teori-teori apa yang digunakan, sudut pandang apa dan bagaimana yang diterapkan, dan interpretasi apa yang digulirkan pada dasarnya dapat dilihat dari level-level analisis tersebut. Hal ini penting, karena fakta fenomena yang terjadi hanya dapat diterjemahkan atau dicari maknanya dengan cara interpretasi dengan landasan teori tertentu serta tingkatan dalam level of anaysis apa yang digunakan. Atau dengan kata lain, penggunaan level analisis terkait dengan fungsinya, yaitu objektivitas dalam pengambilan keputusan. Penulisan level analisis dalam suatu penelitian pada dasarnya adalah penting. Dengan mencantumkan level analisis, maka pembaca dapat dengan mudah melihat perspektif peneliti dalam melihat suatu fenomena. Selain itu, terkait dengan objektivitas dalam suatu penelitian, penggunaan suatu level analisis dapat menjaga suatu penelitian agar tetap pada koridornya.


Uraian berikutnya mencoba menjelaskan apakah kaum relativis dan rekonsiliasionis juga menggunakan level analisis dalam menganalisa fenomena internasional. Pertama relativisme. Kaum relativis berparadigma bahwa realitas atau fakta sosial dapat diinterpretasikan secara berbeda berdasarkan pengalaman dan sudut pandang (persepsi) kita, sehingga dalam setiap aspek kehidupan memiliki tingkat kebenaran yang relatif terbatas pada bagaimana kita menafsirkan atau menginterpretasikan fakta sosial tersebut. Untuk itu, pengetahuan yang kita peroleh tidak seutuhnya secara definitif mendeskripsikan realitas tersebut, karena pemahaman dan pemaknaan akan realitas (external reality), menurut relativis, sangatlah individual (uniquely individual).[4] Dari sisi ini, dapat dilihat dengan jelas bahwa dalam analisisnya terhadap fenomena internasional, kaum relativis juga menggunakan level analisis individu sebagai pemaknaan utama akan realitas yang terjadi. Tentu saja sesuai dengan koridor dan inti dari relativisme itu sendiri yang kita tahu bahwa dalam relativisme, subjektivitas dijunjung amat tinggi. Ditambah lagi dengan munculnya aktor-aktor laing dalam menyaingi negara serta ruang lingkupnya yang bukan hanya hard politics. Sementara itu, bagi kaum rekonsiliasionisme yang menjembatani antara paradigma yang dibawa oleh kaum positivis dan relativis, beranggapan bahwa kita dapat mengetahui sesuatu dengan derajat kebenaran yang pasti dan oleh karena itu dimungkinkan untuk membuat prediksi berdasarkan pengetahuan yang telah diperoleh. Namun, kita tidak boleh meniadakan “kekurangan” (complications and failings) yang terdapat dalam kapasitas manusia untuk memperoleh kebenaran pasti dan prediksi. Seperti yang diungkapkan Roy Bhaskar yang menyatakan bahwa dalam dunia keilmuan pasti terdapat kesalingterhubungan yang kompleks dimana ilmu yang satu dapat “menunjang” pondasi ilmu yang lainnya, dengan alasan bahwa dalam dunia scientific terdapat formasi strata yang menunjukkan adanya derajat penyelidikan scientific secara keseluruhan, dimana setiap tingkatan (layer) scientific akan melengkapi pondasi scientific yang lain sehingga lebih kompleks. Dari fakta ini kita juga tahu bahwa kaum rekonsilialis juga menggunakan level analisis sesuai dengan koridor mereka sendiri, yang cenderung bersikap kontemporer dengan mempertimbangkan berbagai kondisi internasional dalam interaksi social di dalamnya.[5]


Contoh penulisan level of analysis, misalnya adalah penerapan Nordic Passport Union (NPU) yang diterapkan di negara-negara di kawasan Nordik. Kelima negara yang menjadi anggotanya (Denmark, Swedia, Finlandia, Islandia, Norwegia) dan tiga pulau teritorialnya (Greenland, Aland, dan Faroe Island) mengadakan perjanjian perjalanan lintas batas negara tanpa pemeriksaan visa yang dapat dilakukan oleh setiap warga negara dari masing-masing negara anggota. Disini kita tahu bahwa pada dasarnya ada kepentingan negara untuk mempermudah sektor-sektor kerja samanya, khususnya yang berhubungan dengan ekonomi, agar dengan diterapkannya NPU tersebut mempermudah setiap negara anggota untuk meningkatkan kesejahteraannya, secara umum dalam satu kawasan dan secara khusus dari masing-masing negara anggota tersebut. Apabila dilihat lebih dekat, maka faktor individu juga tidak bisa terlepas dari kerja sama lintas batas ini. Karena setiap individu itu yang secara khusus menjalankan laju dan fungsi dari kegunaan NPU. Selain itu, ada pula keterkaitan antara organisasi-organisasi regional atau pun internasional yang juga mempunyai kepentingan tersendiri dalam pelaksanaan NPU secara efektif dan berkesinambungan. Dalam kasus ini, kita dapat mengambil contoh-contoh level analisis yang digunakan, yaitu individu, negara, dan organisasi regional/internasional, yang dapat dikaji melalui teori aliran mainstrean atau pun alternative.

Referensi.

Griffiths, M. & O’Callaghan, T., International Relations: The Key Concept. London & New York: Routledge, 2002

Buzan dan Little dalam Perwita, Anak Agung Banyu & Yani, Yanyan Mochamad, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006

Walliman, Nicholas, Social Research Methods, London: Sage Publications Ltd., 2005

Jemadu, Aleksius, Politik Global dalam Teori dan Praktek, Jogjakarta: Graha Ilmu, 2008



[1] Mahasiswa jurusan Ilmu Hubungan Internasional Unair Surabaya dengan nomor NIM 070710437

[2] M. Griffiths & T. O’Callaghan, International Relations: The Key Concept. London & New York: Routledge, 2002

[3] Buzan dan Little dalam Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006

[4] Nicholas Walliman, Social Research Methods, London: Sage Publications Ltd., 2005, hal. 55-57

[5] Aleksius Jemadu, Politik Global dalam Teori dan Praktek, Jogjakarta: Graha Ilmu, 2008

No comments:

Post a Comment