Special for your loving life...

...Do the best for our life...

Wednesday 9 December 2009

Praktek Penelitian Ilmiah

CONTOH LATAR BELAKANG MASALAH DAN

RUMUSAN MASALAH

LAPORAN PRAKTEK PENELITIAN ILMIAH DAN ANALISIS DATA

(Latar Belakang Masalah dan Rumusan Masalah)

Tema : Hubungan Bilateral

Judul : Perjanjian Kerjasama Pertahanan (Defense Cooperation Agreement/DCA) antara Indonesia dan Singapura sebagai Ancaman terhadap Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Tempat Penelitian : Kampus, perpustakaan, internet

Waktu Penelitian : 6-7 Desember 2009

Nama Peneliti : Amal Mushollini (NIM. 070710437)

Teknik Penelitian : Pendekatan Kuantitatif dengan Studi Literatur/Pustaka

Analisis Data Kuantitatif

Latar Belakang Masalah

Masalah kedaulatan wilayah merupakan masalah sensitif. Tidak ada negara yang rela kehilangan sejengkal wilayahnya. Karena itu, masalah perbatasan tidak didiamkan. Namun, dokumen-dokumen ASEAN hanya sedikit menyinggung solusi soal sengketa wilayah. Ini menegaskan jalan menuju komunitas ASEAN masih jauh. Di sisi lain, sebuah komunitas membutuhkan ”pengorbanan” setiap anggota dengan ”membagi” sebagian wilayah untuk dilebur ke dalam suatu nilai-nilai bersama. Namun, ada pertanda baik, ASEAN sudah mulai menyerap unsur-unsur kedaulatan itu menjadi suatu nilai bersama. Kemajuan lain, prinsip non-interferensi mulai ditembus. Akan tetapi, ada keengganan menyentuh lebih dalam masalah sengketa perbatasan. Ini mengindikasikan masih besarnya resistensi untuk melonggarkan urusan kedaulatan.[1] Hal yang diketahui dari persoalan ini adalah bahwa masalah perbatasan berpotensi besar menimbulkan konflik. Hal ini sebisa mungkin harus dihilangkan dengan menyelesaikan sengketa perbatasan. Hilangnya sengketa perbatasan membuat kedaulatan lebih terjamin. Tapi yang jadi pertanyaan adalah bagaimana menyelesaikannya? Dibutuhkan upaya terkoordinasi dengan mekanisme lebih sederhana dan bisa diterima semua pihak, contohnya kerjasama bilateral yang dapat dilakukan dalam suatu daerah tertentu milik negara tertentu yang dapat dijadikan basis kerjasama, militer misalnya. Tanpa koordinasi ini, penyelesaian masalah perbatasan sering membutuhkan waktu lama. Dan untuk menyikapi kasus ini, contoh masalah kedaulatan wilayah dan sub-sub masalah yang mengekorinya yang saat ini sedang hangat dibahas adalah masalah hubungan Indonesia-Singapura terkait dengan konsepsi kedaulatan yang menjadi kerucut masalah tersebut.


Kita tentu tahu, Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara yang memiliki posisi paling menguntungkan. Apabila ditinjau secara geopolitik dan geostrategi, perairan NKRI merupakan perairan yang sangat strategis di kawasan ini, khususnya di kawasan Asia Pasifik yaitu sebagai penghubung antara dua samudera dan dua benua. Selat di perairan ini pun merupakan Sea Lanes of Communication (SLOC). Jadi, selain penting bagi perdagangan dunia, jalur pelayaranan ini juga menjadi choke points strategis bagi proyeksi armada Angkatan Laut negara maritim besar dalam rangka menunjukkan keberadaannya ke seluruh penjuru dunia. Namun, posisi yang strategis ini justru menjadi ancaman tersendiri bagi Indonesia. Khususnya ancaman yang muncul dari negara tetangga dalam satu kawasan.


Sementara itu di Selat Malaka sendiri, sedikitnya terdapat 10 pulau terluar, diantaranya: pulau Nipah dan Berhala yang berbatasan dengan Singapura dan Malaysia. Bagi Singapura pulau-pulau tersebut dapat dijadikan lokasi kegiatan intelijen dan aktivitas militer lainnya. Sudah sejak lama, khususnya di era Perang Dunia, negara sekutu mengincar pangkalan militer di kawasan Asia Tenggara paska ditutupnya pangkalan militer Subic di Filipina. Salah satu lokasi yang dipilih adalah Riau yang dekat dengan Selat Malaka. Berbagai manuver dilakukan agar keinginan tersebut terwujud. Pada tahun 2005, keamanan di Selat Malaka sengaja dipersoalkan kembali. Dengan dalih pengamanan, AS mengusulkan armada kapal perangnya diijinkan mengawal setiap kapal kargo yang melintasi perairan selat sepanjang 800 kilometer itu. Usulan bernuansa politis ini awalnya ditentang Malaysia, Singapura dan Indonesia. Tetapi kemudian sikap Malaysia dan Singapura melunak setelah Komandan Militer AS di Asia Pasifik, Laksamana Thomas Fargo melakukan manuver politik mengunjungi Malaysia, Singapura, Thailand dan melobi organisasi maritim dunia (IMO). Keadaan ini tidak dapat ditentang oleh Indonesia yang mengantongi kepemilikan sah pulau Riau sementara negara tetangganya berangsur-angsur seperti menjadi antek Amerika Serikat, Singapura khususnya.


Fakta ini pun diperparah dengan munculnya Defense Cooperation Agreement Indonesia-Singapura yang merupakan sebuah perjanjian antara dua negara tersebut yang ditandatangani pada tahun 2007. Berhasilnya penandatanganan DCA antara Indonesia dan Singapura ini senantiasa memunculkan stigma negatif dan pesimistis di berbagai kalangan. Padahal perjanjian yang akan beroperasi selama 25 tahun ini akan membuat hubungan antara Indonesia dan Singapura menjadi lebih fokus namun belum jelas untung-ruginya bagi bangsa Indonesia. Salah satu isi perjanjian ini adalah disepakatinya beberapa daerah di Indonesia menjadi wilayah latihan militer bagi Singapura.


Sebenarnya, hal ini bukanlah yang pertama dilakukan oleh kedua negara untuk menyepakati daerah Indonesia sebagai wilayah latihan militer. Kerjasama militer Indonesia dan Singapura telah berlangsung lama, sejak kerjasama latihan militer dirintis tahun 1986 yang dikenal dengan sebutan "Latma Indopura" (Latihan Bersama Indonesia-Singapura). Di lain pihak, Defense Cooperation Agreement yang ditandatangani oleh Menteri Pertahanan kedua Negara di Bali pada tanggal 27 April 2007, telah menyatakan bahwa wilayah Natuna (Kepri), Baturaja (Sumsel) dan Desa Siabu (Riau) akan menjadi medan latihan tentara Singapura. Pemberlakuan ini akan ditinjau ulang setelah 13 tahun dan dikaji berikutnya enam tahun berikutnya. Bersama perjanjian ini disepakati pula kerjasama daerah latihan militer bersama. Dimana Indonesia memberikan fasilitas wilayah latihan udara dan laut tertentu kepada Singapura dalam lingkup yurisdiksi hukum Indonesia. Sedangkan Singapura memberikan fasilitas militer bagi TNI seperti menggunakan akses terhadap peralatan dan teknologi militer yang dimiliki Singapura.[2]


Di samping itu, daerah Baturaja yang terletak sekitar 250 km arah selatan kota Palembang, merupakan satu dari daerah latihan militer TNI AD yang merupakan jawaban atas tantangan modernisasi militer di Indonesia. Baturaja menjadi alternatif pilihan daerah latihan militer karena daerah latihan militer sebelumnya, Jawa, sudah tidak mampu lagi dijadikan daerah latihan militer akibat ledakan penduduknya yang semakin besar. Fasilitas yang disiapkan untuk kepentingan latihan militer ini sangat meyakinkan. Memiliki areal sekitar 43.000 hektar dan dilengkapi lapangan terbang bekas peninggalan Jepang. Daerah Baturaja juga memiliki medan yang menarik untuk tempat latihan, karena di sana masih ada hutan lebat, rawa-rawa, gunung-gunung, bahkan laut. Untuk itu, di tempat ini dibangun pula kubu-kubu pertahanan untuk simulasi serangan terhadap musuh. Masih ada lagi fasilitas berupa perkantoran, barak, gudang, bengkel, dapur instalasi listrik, air, dan komunikasi. Lokasinya lainnya, di Selat Malaka tepatnya dari barat Batam (Kepulauan Riau) hingga Pulau Bengkalis, Provinsi Riau (Alpha I). Sebelah timur Pulau Bintan hingga selatan Kepulauan Anambas di laut Natuna (Alpha II) dan di perairan Kepulauan Anambas hingga Kepulauan Natuna Besar di laut China Selatan (Bravo).[3]


Kondisi ini telah memperlihatkan bahwa ada interfensi yang mengaitkan antara masalah ekstradisi dan pertahanan dari berlakunya DCA. Seperti apa yang telah disebutkan sebelumnya, Singapura telah melaksanakan latihan militer di wilayah Indonesia, yang diklaim sebagai daerah tradisional latihan militer sejak tahun 1970-an. Perlu ditegaskan, menyediakan wilayah untuk latihan militer negara lain dapat membuka kelemahan pertahanan Indonesia. Selain itu, persiapan latihan pada hakikatnya sama dengan persiapan untuk melakukan operasi militer.[4] Dan seperti apa yang telah dikemukakan sebelumnya, Singapura telah melakukan latihan di wilayah Indonesia, terutama dalam kasus wilayah Bravo yang lama (kini dinamakan Alpha 2) dengan menggunakan klaim wilayah tradisional latihan militer mereka. Hak ini tidak dikenal dalam hukum internasional. Oleh karena itu, Singapura tidak berhak mengklaim adanya wilayah tradisional latihan militer. Dengan adanya DCA, hak wilayah tradisional latihan militer itu hilang digantikan mekanisme izin dan aturan-aturan operasional lain yang disebut Implementation Arrangement (IA) yang hingga kini belum tuntas dalam perundingan antara kedua negara.

Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, penekanan masalah terdapat pada kenyataan bahwa kedaulatan negara tidak sepantasnya digadaikan demi mendapatkan hasil yang tidak pasti dan belum jelas serta masih sebatas angan-angan. Pemberian ijin wilayah latihan, sama artinya memberi peluang negara lain melakukan invasi secara terselubung. Selat Malaka, Laut China Selatan dan ALKI menyimpan kekayaan ekonomi maritim dan mempunyai nilai strategis yang tidak ternilai. Kedaulatan bangsa atas wilayah daratan, lautan dan udara yang dalam DCA diremehkan. Menyikapi hal itu, ada beberapa rumusan masalah yang menjadi pokok pijakan bagi terbentuknya hasil penelitian kuantitatif dalam esai ini, yaitu pertama, apakah Perjanjian Kerjasama Pertahanan yang dilakukan antara Indonesia dan Singapura pada tahun 2007 yang lalu telah benar-benar membawa ancaman terhadap kedaulatan NKRI?


Kemudian yang berdasarkan keberadaan Defence Cooperation Agreement atau DCA yang hingga kini belum dijelaskan pemerintah, rumusan masalahnya adalah mengapa Indonesia bisa mengizinkan negara lain menggunakan wilayahnya untuk latihan militer? Apakah ini tanda ketidakmampuan Indonesia menjaga wilayah karena lemahnya kekuatan pertahanan laut dan udara? Jika ya, apakah boleh dikatakan bahwa kekuatan pertahanan Indonesia tidak lagi mampu memenuhi tujuan utama pertahanan Indonesia, yaitu mempertahankan kedaulatan, wilayah, dan keselamatan bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan UU Pertahanan Negara No 3/2002 dan UU tentang TNI No 34/2004. Di samping itu, mengapa perjanjian Indonesia-Singapura tersebut (DCA) menghubungkan antara perjanjian ekstradisi dan perjanjian pertahanan? Fakta ini tentu sulit diterima oleh para penentang DCA. Alasannya adalah bahwa pertahanan adalah salah satu core business dari upaya mempertahankan eksistensi negara. Sementara itu, masalah larinya koruptor dan modal ke Singapura, betapa pun Singapura telah melakukan kesalahan, sebagian besar disebabkan lemahnya sistem perbankan, sistem hukum, dan imigrasi Indonesia. Maka, wajar masyarakat bertanya apakah pantas kesalahan yang kita buat sendiri harus ditebus dengan pengorbanan dalam bidang pertahanan untuk kepentingan negara lain?


Referensi.

Damayanti, Ninin ‘Singapura Berjanji Tak Ributkan Soal Perbatasan’, Tempo Interaktif, Jakarta, 1 Maret 2009

Buntut Perjanjian Tapak Siring dalam berita Indonesia.com Saturday, 20 Mei 2007 12:35 (diakses 5 Desember 2009)

Sengketa Dua Negara dalam tempointeraktif.com (diakses 5 Desember 2009)

Prastyono, Edy, ‘RI-Singapura: Mengapa DCA (Defence Cooperation Agreement)?, Kompas, http://kompas.com/kompas-cetak/0707/23/opini/3672866.htm (diakses 5 Desember 2009)

http://www.beritasore.com/2007/05/04/perjanjian-pertahanan-indonesia-singapura-siapa-diuntungkan (diakses 5 Desember 2009)





[1] Ninin Damayanti, ‘Singapura Berjanji Tak Ributkan Soal Perbatasan’, Tempo Interaktif, Jakarta, 1 Maret 2009

[2] Buntut Perjanjian Tapak Siring dalam berita Indonesia.com Saturday, 20 Mei 2007 12:35 (diakses 5 Desember 2009)

[3] Sengketa Dua Negara dalam tempointeraktif.com (diakses 5 Desember 2009)

[4] Edy Prastyono, ‘RI-Singapura: Mengapa DCA (Defence Cooperation Agreement)?, Kompas, http://kompas.com/kompas-cetak/0707/23/opini/3672866.htm (diakses 5 Desember 2009)

No comments:

Post a Comment