Special for your loving life...

...Do the best for our life...

Showing posts with label Short Splash Author. Show all posts
Showing posts with label Short Splash Author. Show all posts

Monday, 15 August 2011

Waktu Bukanlah Misteri



Time...

Kadang kita tidak sadar bahwa waktu berjalan begitu cepat. Begitu pula perubahan yang terjadi pada diri dan kehidupan kita. Tiba-tiba saja saat kita melihat refleksi diri di cermin, pantulan kejujuran mulai nampak jelas. Perubahan fisik, psikis, bahkan transisi yang kasat mata pun terasa beda. Satu-dua-tiga bahkan sekian tahun berlalu telah memahat dan mengikis kontur dan tekstur hidup kita. Pun semakin jelas guratannya yang tentu saja berbeda dari diri kita beberapa tahun sebelumnya. Masih ingat kah kita saat kita masih kecil? Hanya bermain, tertawa, dan menangis yang kita lakukan. Sangat heran saat orang-orang dewasa menitikkan air mata karena sesuatu hal. Saat mereka melarang diri kita dengan kalimat, “Jangan, kamu masih kecil!”. Dan pada saat yang bersamaan kita memberontak untuk memiliki kehidupan dewasa seperti mereka. Dan disitu lah terlihat betapa kita masih sangat anak-anak. Yang penting cepat, praktis, dan siapa pakai. Kita belum bisa memahami apa yang dinamakan proses dan pemahaman. Butuh waktu, tenaga, dan pikiran. Tidak asal bicara langsung kita punya. Sekali lagi, waktu yang memegang kendali.

Waktu juga yang membentuk kisi-kisi pola pikir kita. Dimulai dari meniru figur-figur yang ada di sekitar kita. Orang tua, saudara, keluarga, teman, hingga ke beberapa sosok yang kita anggap fenomenal yang kita sebut sebagai idola. Meski tak sadar, mereka ikut andil dalam pembentukan sosok kita sebenarnya. Dan jangan salahkan peribahasa bahwa buah jatuh, tak jauh dari pohonnya. Sifat-sifat dan kemampuan tentang suatu hal yang kita miliki, juga merupakan warisan dari gen orang tua kita. Campuran atau dominasi, yang penting ada di tubuh dan jiwa kita. Umur tetap berjalan saat kita berusaha menemukan jawaban siapa diri kita sebenarnya. Orang bilang, proses pencarian jati diri. Dan proses tersebut menuntut kita untuk beradaptasi di suatu habitat tertentu. Bertemu dengan spesies-spesies lain. Berinteraksi dengan para individu dalam suatu komunitas, yang sering kita sebut sebagai lingkungan. Oleh karena itu, keluarga, teman, dan tempat dimana kita menginjakkan kaki, juga turut serta meraut pribadi kita. Dan kita menemukannya di lingkungan keluarga, sekolah, kampus, begitu pula di tempat kerja.

Kita tidak akan tahu bahwa sesuatu itu benar jika kita tidak mengerti mana yang salah. Kita tidak sadar bahwa itu putih jika hitam tidak ada. Kata ‘terang’ pun tidak bakal muncul jika ‘gelap’ tidak bermanifestasi. Dan tentu saja, kontradiksi-kontradiksi itu akhirnya membentuk pemahaman saat kita merasakan suka-duka dalam kehidupan. Susah-senang. Kaya-miskin. Dan bentuk-bentuk kata yang semakin beroposisi menghiasi taman hidup ini. Dan itu semua disebut sebagai pengalaman. Pengalaman dari perjalanan hidup yang pernah kita alami seiring berjalannya waktu. Pola garis lurus vertikal dan horizontal yang menggores kisah hidup kita. Kita harus sadar, bahwa semua itu termaktub dalam konteks masalah yang menjadi bab-bab terjilid dalam kamus hidup yang telah dibukukan oleh Tuhan. Halaman demi halaman harus terbaca, tidak ada yang namanya lompatan ke halaman berikutnya, bahkan banyak sekali catatan kaki yang harus kita pahami. Benar, itu lah alkitab kehidupan kita yang ditentukan oleh waktu yang terus berlalu tanpa rem angin. Tak ayal lagi jika sosok pribadi yang diinginkan oleh beberapa manusia, kadang tak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Dalam konteks ini, kita perlu mengarisbawahi suatu anekdot singkat yang menyatakan bahwa, ‘manusia diciptakan sesuai dengan porsinya masing-masing’. Boleh sadar atau tidak, bahwasanya hal itu terbukti benar. Kesalahan yang sering terjadi pada kita adalah bahwa tidak menyadarinya dan seringkali mengeluh dengan porsi-porsi tersebut. Dengan kata lain, kita memilki rasa kekurangan yang disebut kurang bersyukur. Dan bilamana semakin akut, akan menjadi bentuk penggugatan. Gugatan terhadap yang menciptakan kita. Gugatan tentang ketidaknyamanan kita sebagai pribadi yang mendiami semesta. Dan gugatan-gugatan lain yang mengindikasikan bahwa kita tak wajar menjalani hidup seperti yang telah dibukukan untuk kita. Itu salah, salah besar.

Porsi kehidupan tergantung bagaimana kita bisa mencari celah saat kita ingin bahagia di antara kesedihan yang ada. Begitu pula sebaliknya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa kontradiksi kehidupan setiap hari kita alami. Kebisuan diri terhadap suatu hal, keinginan untuk mengejar hasrat, dan begitu banyak gol-gol yang kita capai, tak terlepas dari komposisi atas susunan kontradiksi yang kita miliki. Orang miskin, orang kaya, mereka yang pintar dan sebaliknya, mereka yang merasa mayor begitu pula yang minor. Mereka dan kita hidup berdampingan dengan membentuk suatu tatanan yang berisi kontradiksi-kontradiksi yang perlahan termanifestasi dan visible. Percaya atau tidak bahwa semakin kita menyadari konseptual diri kita sebagai manusia utuh, kita akan bersyukur bahwa kita bisa menikmati hidup ini apa pun diri kita sebenarnya. Kita dilahirkan untuk menjadi figur dan melakoni suatu peran. Protagonis, antagonis, figuran, dan sebagainya. Oleh karena itu, tidak ada yang mustahil untuk mengkondisikan diri kita pada suatu komposisi yang menetap, atau membuat gebrakan dengan menjadi sesuatu yang di luar dugaan kita. Itu semua ditentukan oleh bagaimana usaha kita mengejawantahkan dengan proses yang tentu saja, butuh waktu untuk membuatnya nyata.

Jadi, bisa dikatakan bahwa orang yang mengalami kondisi kekurangan atau kelebihan, juga mengalami goresan, pahatan, dan ukiran. Hal itu dialami oleh semua manusia yang bernyawa. Mungkin mereka belum menemukan rasa syukur saat apa yang mereka miliki terambil. Dan mungkin saja mereka juga kesulitan berkata ‘terima kasih’, bila mereka mendapatkan sesuatu dari usaha mereka sendiri. Sebenarnya hidup ini sederhana. Konsepnya pembentukan diri yang teriringi oleh waktu seringkali meninggalkan jejak bahwa kita dituntut untuk bebernah diri dan menjadi manusia terbaik, meski hanya dalam konteks diri kita sendiri. Oleh karena itu, kontradiksi selalu melibatkan dua hal, hidup dan mati. Dan jika kita ingin mendapatkan keduanya secara total, bukan hanya aturan yang dibakukan dalam penyembahan kepada Tuhan dengan bentuk ibadah yang harus kita laksanakan. Melainkan juga tentang bagaimana kita menyelami kehidupan dengan interaksi pada sosial dan lingkungan yang wajib kita telusuri secara maksimal. Dan itu membutuhkan dua sisi berbeda dan ini lah kunci sederhana hidup: TAKE & GIVE. Saling memberi dan menerima. Suatu konsep sederhana dengan pengertian bahwa kita tidak akan menerima, jika kita tidak memberikan. Begitu pula sebaliknya. Jadi sekali lagi, saat kita mendapatkan duka, orang lain juga akan berduka pula dengan bingkai mereka sendiri. Dan sewajarnya, saat suka datang menghinggapi kita, mereka yang berbeda dengan kita, juga mendapatkan porsi yang sama. Waktu bisa kita pahami saat kita mampu mengetahui diri kita apa adanya. Menerima sesuai dengan apa yang diberikan Tuhan. Dan menggoresnya dengan tinta hidup yang beragam warnanya. Agar suatu hari nanti kita bisa mengerti bahwa waktu bisa menjadikan diri kita berwarna dengan porsi serta komposisi yang kita miliki sendiri. Jadi memang benar, pelangi muncul dengan indahnya bersama mentari ketika hujan berhenti turun. Waktu menentukan kapan hujan turun dan berhenti, waktu pula yang mengiringi mentari menerpa titik-titik air di langit hingga pelangi menyibak rona mata kita. Time is not something mistery, it’s just a gift in our living ark.

Sunday, 3 July 2011

Kisah Nyataku: Espresso untuk Keluarga yang Mencintaimu


Mimpi paling indah untuk kamu yang sekarang jauh dari keluarga.

Semoga bisa memberikan hal terindah untuk kamu.

Kisah nyataku...


30 Juni 2011


Tepatnya tadi malam aku mendapatkan mimpi yang bisa mengingatkan kita betapa pentingnya keluarga dalam kehidupan ini. Sungguh berartinya ciptaan Tuhan itu hingga kita akan benar-benar menyesal jika ‘tak bisa mencium dan memeluknya saat mereka terpisah jauh dari kita. Ya, benar. Mereka adalah ayah, ibu, dan saudara-saudari kita.

Tuhan Maha Kuasa. Dia menciptakan mimpi yang membuatku menangis tertunduk sehabis sholat subuh pagi ini. Bersujud dan mengisak di atas sajadah merah yang tergelar di atas karpet. Sungguh indah dan mengagumkan karya-Mu, Rabb.

Berawal dengan gambaran seorang pria berumur sekitar 35 tahun. Memakai pakaian kerjanya sebagai seorang intelejen. Sibuk dengan urusan pribadi dan tenggelam dalam hiruk-pikuk metropolitan yang sedemikian rupa melepas semua batasan waktu. Terlihat pula stasiun-stasiun angkasa yang menggantung di langit kota. Lahan parkir susun khusus mobil-mobil terbang dan kendaraan umum yang menggantung di ujung kawat. Yang entah dimana ujung kaitnya karena tertutup awan saking tingginya. Dapat dilihat pula restoran cepat saji Mc Donald yang terletak di atas sebuah roof-top gedung 30 lantai, dimana bangunan unik bertingkat itu menyorotkan cahaya lampu melimpahnya ke seluruh penjuru. Lengkap dengan banyak lampu mercury yang menembus langit kota. Disampingnya ada tulisan besar menggantung dan mengkerjap-kerjap, ‘Open 36 Hours a day’. Masya Alloh, luar biasa masa depan nanti. Waktu yang diciptakan oleh Illahi yang hanya 24 jam sehari pun bisa dimodifikasi menjadi lebih panjang dari biasanya. Dan benar, itu lah keajaiban mimpi. Membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Dan membuat kemungkinan itu menjadi nyata di kehidupan sebenarnya. Hanya Tuhan yang tahu.


Kembali ke cerita mimpi. Di kota besar itu aku digambarkan sebagai seseorang yang sibuk dengan pekerjaanku sebagai agen badan intelijen yang mengharuskan mobile-working setiap waktu. Memberikan perlindungan dan menyelesaikan kasus keamanan dan pertahanan pada rakyat sipil. Serta sedikit menyombongkan diri –penyakit yang tak kunjung sembuh- di depan khalayak bahwa kita memiliki pengaruh dan kuasa tinggi atas segi keselamatan mereka. Dengan rumitnya pekerjaan yang harus dijalankan dan rentetan jadwal citizens guide –patroli ke rumah-rumah penduduk, agak aneh memang- mendadak aku ‘tak bisa menyelesaikan satu pekerjaan yang teramat penting. Hujatan dari atasn yang mewakili pemerintah mulai datang. Ancaman pemecatan siap menghujam di atas glass paper –kertas kaca, semacam surat LCD setipis plastik tembus pandang-. Bertubi-tubi kolega dan rekan kerja mulai memberikan mimik buruk dan menciptakan jarak dari kehidupanku. Tak ada waktu lagi yang dapat digunakan untuk menyembuhkan semuanya. Aku berhenti. Aku tertancap. Diam dan diam. Seakan dunia runtuh menimpaku. Tidak ada seorang pun yang mendukungku. Tak ada senyum ceria yang menghangatkan hatiku. Tak ada satu orang pun yang meredam emosiku.

Kehidupan workoholic yang takut akan kehilangan segalanya mulai meleburkan sisi-sisi idealismenya. Tak ada pasangan hidup. Dan seakan sahabat dekat pun susah untuk didapat. Semua hanya sebatas formalitas profesionalisme dari kehidupan yang aku jalani.

Gila.

Beku.

Mati.

...

...

Cahaya

Kilat


Tiba-tiba aku terlempar ke dalam sebuah kumparan dan lorong panjang. Aku melayang dengan kecepatan tinggi menuju ujung lorong yang teramat jauh terlihat. Dan diujung lorong tersebut aku melihat cahaya putih yang memancar bagai geliat sinar mentari di siang hari. Sementara itu di dinding lorong tersebut, aku bisa melihat gambaran masa-masa kehidupanku yang telah terlewati. Dan itu semua terlihat dalam sebuah layar-layar video yang banyak sekali. Aku bisa melihat diriku saat wisuda kuliah. Melihat pesta ulang tahunku yang ke-23 tahun. Tampak pula saat aku sujud syukur di depan kamarku sambil memegang pengumuman penerimaan mahasiswa baru. Dapat dilihat pula wajah kecewa ayah saat aku mengamuk karena ‘tak dibelikan sepeda motor. Apa?! Ayah kecewa!? Bukannya pada waktu itu Ayah marah besar dan hampir menamparku seusai aku pulang sekolah. Aku masih memakai seragam putih-abu-abu sambil menggerutu di depan Ayah minta dibelikan kendaraan itu. Aku berteriak padanya dan mengancamnya bahwa aku ‘tak akan masuk sekolah meski keesokan harinya aku tetap berangkat naik bis ke SMA-ku. Sekali lagi hatiku tercabik. Ternyata Ayah tidak marah. Beliau dengan wajah marah masuk ke kamarnya. Mengambil sebuah buku kecil dan secarik kertas, menunduk, dan meletakkan buku kecil itu di dadanya. Melihat kembali tulisan yang ada di kertas itu. Aku yang masih melayang di lorong panjang, sedikit menghentikan laju perjalananku. Meletakkan tanganku di layar dan menyentuh wajah ayah yang menunduk. Air mataku mulai jatuh. Bukan hanya jatuh, tapi mengalir deras. Terlihat sangat jelas huruf-huruf yang tergores dengan tulisan latin khas tgoresan ayah. Membacanya pun aku tak sanggup berkata apa-apa. ‘Tabungan Kuliah untuk Amal, Anak Keduaku yang Aku Banggakan.’ Dan dia membuang buku kecil satunya ke atas tempat tidur. Bertuliskan, ‘Tabungan Haji, ONH Plus’


Tuhankuu....

Ya Rabbi....


Betapa durhakanya aku! Betapa nistanya aku. Telah Engkau berikan seorang ayah yang memberiku kehidupannya. Yang merelakan mimpinya hanya untuk menciptakan kehidupanku di masa depan. Ya Rabbi. Kembalikan ayahku! Aku hanya ingin bersimpuh di kakinya dan memeluknya. Minta maaf atas kelancanganku selama ini.

Perlahan aku mulai terhempas lagi. Masih melayang di lorong panjang itu. Masih melihat layar-layar yang merekam kehidupanku di masa lalu. Melihat tubuhku terbaring lemas di atas kasur rumah sakit. Memandang kagum seorang wanita terindah yang masih memakai mukena putih dan mengecek selang infusku. Kemudian wanita itu kembali duduk di atas sajadah merahnya. Menengadahkan tangannya ke atas. Meminta sesuatu pada Sang Khalik. Seperti biasa, beliau selalu menitikkan air mata dalam doanya. Ibu. Jika Tuhan benar-benar menurunkan malaikat-Nya ke bumi. Aku telah memilikinya. Ibu. Itu ibundaku. Pahlawanku.


Dia tidak tidur demi menyamankan diriku yang merintih sakit akibat demam berdarah. Dan opname selama 7 hari itu perlahan melabilkan emosiku. Ibu yang membaca Al Qur’an dengan suara lirih agar aku ‘tak terusik saat terlelap. Beliau sangat tanggap saat aku harus buang hajat dan tak bisa ke kamar mandi sendirian. Aku ‘tak sanggup lagi berkata apa-apa. Menangis. Iya, aku menangis lagi. Ibu telah menengadah dan merintih kepada-Nya saat aku hanya bisa meronta. Kenapa aku harus terbaring di atas kasur keras dalam sebuah bangsal rumah sakit yang ditempati 3 pasien lain di ruangan itu. Mengapa aku harus kehilangan kesempatan ikut kompetisi pidato gara-gara penyakit ini? Aku masih menyalahkan ibu mengapa aku tak ditempatkan di ruang VIP agar aku cepat sembuh? Aku dan mengapa. Aku dan kenapa.


Ya Tuhanku...


Sekali lagi betapa hamba kurang bersyukur atas semua karunia dan nikmat malaikat berupa ibu yang Engkau berikan kepadaku. Betapa bodoh dan sangat kurang bersyukurnya aku pada waktu itu. Ibunda. Maafkan anakmu yang tak pernah memahami bagaimana perjuanganmu ini. Maafkan aku, Ibu!


Angin mulai meniup tubuhku lagi. Menjauh dari kebekuan di depan layar yang menunjukkan wajah ibu. Aku terhempas lepas.


Memcingkan mata dan menggigil, aku mulai melayang tebang. Melihat layar-layar berikutnya yang mengelilingiku di lorong itu. Melihat Kak Fina yang mengobatiku saat aku tertimpa dinding kamar mandi yang roboh. Kenyataan bodoh saat aku masih berumur sekitar 7 tahun. Memanjat dinding kamar mandi lama yang ada di belakang rumah. Masih mengenakan seragam sekolah dan sempat ingin kabur siang itu demi menghindari anjuran ibu untuk tidur siang. Dan sialnya, ibu telanjur marah. Menutup pintu dapur dan pintu depan rumah. Sehingga aku ‘tak bisa bergerak kecuali berputar-putar di halaman belakang rumah. Namun, bukan aku yang nakal jika tak punya akal cerdik. Aku memaksa naik ke dinding rapuh di dekat kamar mandi. Dan dengan bobot tubuh yang berat dan melimpah dibanding anak-anak seumuranku pada waktu itu. Akhirnya tubuhku pun berhasil menghancurkan tegapnya tumpukan batu berlumut itu. Darah bersimbah, tubuh terendam dalam air comberan, dan badanku gatal-gatal luar biasa karena teringsuk di semak-semak lateng –sejenis tanaman semak yang membuat kulit gatal-. Dan aku berteriak membahana.


Tangan halus mulai menyentuh lenganku, menarikku dari tindihan batu-batu keparat itu. Seorang gadis belia yang masih mengenakan rok SD-nya, mulai menggendongku di punggungnya. Iya benar, itu Kak Fina. Dia melepas semua baju dan celanaku di kamar mandi. Mengguyurku dengan air. Dan aku masih bisa merasakan betapa perihnya luka yang mengalirkan darah dari kulit lengan dan pahaku. Kemudian Kak Fina memapahku ke tempat tidur. Membubuhkn obat merah di luka-lukaku. Menaburi bagian tubuhku yang bentol-bentol akibat tanaman lateng itu. Dan menyelimutiku setelah itu. Aku masih merintih dan menangis dengan kesakitan yang luar biasa itu. Namun, rasa sakit itu perlahan hilang ditelan bumi. Kak Fina selalu bilang: ‘Anak laki-laki itu harus kuat, Dek! Mbak aja kuat lho!’ sambil mengangkat bagian siku dan dahinya yang berdarah. ‘Mbak tadi habis bikin KO si Saeful! Menang telak! Jangan bilang ibu, ya!?’ Dan dia berlalu sambil meringis dan tersenyum kecil. Dan yang pasti, selalu berjalan pincang. Yah! Itu Kak Fina! My Super Girl.


Di saat yang sama, aku amat merindukannya. Dengan seorang pangeran cinta dan dua bidadari di pangkuannya. Dalam keluarga kecil yang tinggal di pinggiran kota. Kak Fina terlihat semakin cantik dengan jilbab yang dia kenakan. Baju berlengan panjang yang membalut tubuhnya, tak mengurangi kecekatannya saat menyuapi putri terkecilnya, Icha, yang terus merangkak lincah di atas karpet ruang tamu. Dan dia juga masih bisa membagi otaknya dengan membantu mengerjakan PR si Farah, putri pertamanya yang semakin pintar karena terus bertanya pada ibundanya. Kak Fina beda. Dia tumbuh menjadi seorang ibu rumah tangga yang seratus persen mengabdikan hidupnya demi putri-putrinya sekaligus suaminya. Kak Fina selalu bilang, ‘Cita-citaku sudah terwujud, Dek! Mbak wis sukses jadi wanita sempurna dan memiliki pekerjaan paling agung sedunia. Menjadi ibu.’ Dan dia kembali tersenyum kepadaku. I miss you, Kak!

Angin hangat mulai menerpa dadaku. Dan dengan sigap membenturkan kepalaku ke layar lain di lorong panjang itu.


Si penggerutu ada di depan mataku. Tersenyum.


Masih terngiang di benakku waktu melihat adik pertamaku Johan, berteriak-teriak di atas pohon dan memintaku menangkap setangkai buah rambutan yang dia dapatkan dari pohon rambutan belakang rumah. Aku lantas menangkapnya dengan sigap. Mengumpulkannya setangkai demi setangkai, dan memasukkannya ke dalam bakul plastik besar milik ibu. Dia selalu memintaku agar buah rambutan itu jangan dimakan dulu. Nanti saja saat nonton film Ultraman kesukaannya, begitu katanya. Tapi bebalnya aku, belum penuh sekeranjang, aku sudah banyak menelan daging buah berambut itu. Tak urung, adikku Johan marah besar. Sambil berteriak-teriak dia mulai meniti dahan-dahan di pohon itu dan memanjat turun. Aku sambil tertawa langsung mengambil banyak-banyak buah yang ada di bakul itu dan berlari masuk ke dalam rumah. Johan masih berteriak-teriak tidak rela. Mungkin karena hujan lebat semalam, dahan dan batang pohon rambutan itu agak sedikit lapuk dan licin di bagian kulitnya. Belum sampai ke dapur, terdengar suara debaman kecil dari arah pohon dan seketika itu teriakan nyaring Johan menghilang. Aku masih tertawa kecil sambil bersembunyi di balik pintu. Sesaat dari arah belakang rumah, Ibu berteriak. Johan jatuh dari pohon. Dia diam ‘tak bergerak. Dan rambutan yang aku pegang jatuh ke lantai.


Perban di kepala dan gips yang melingkar di lengannya, ‘tak bisa merusak ketampanan wajah adikku ini. Aku masih bisa melihatnya marah kepadaku dan beringsuk ke lengan ayah saat dia sadar di puskesmas. Aku hanya tertunduk. Antara malu dan merasa seolah menjadi orang paling bodoh sedunia. Dan hampir menangis jikalau Johan akan pergi selamanya hanya karena kenakalanku ini. Aku hampir menangis dan berucap kata maaf lirih kepadanya. Dan yang pasti masih dengan posisi menunduk. Namun, perlahan dia memandangku. Dan berkata, ‘Mas, kupasin rambutanku! Ayo maem bareng!’. Aku kaget. Aku mulai berani melihat wajahnya. Dan dia tersenyum. Dan aku segera merangkulnya. Namun, dia berteriak, ‘Mas, lenganku masih sakit!’ sambil tertawa kecil. That’s my Bro! The little teacher of life.


Aku kembali bergerak. Meluncur ke ujung lorong. Namun, udara yang menerpa dan melayangkan tubuhku ini sepertinya agak sedikit lembab.


Monitor yang aku lihat kali ini gelap gulita. Tidak muncul gambar apa pun seperti layar-layar sebelumnya. Sepertinya ada yang ganjil di layar ini. Akan tetapi, mendadak muncul jemari kecil yang mengusap-usap layar. Dan perlahan aku mengenali tangan itu dan melihat wajah si bungsu. Adikku yang luar biasa, Alan.


Menyaksikan adikku Alan yang sibuk mengipasi bara api dan membakar tusukan-tusukan daging kambing adalah satu rutinitas yang selalu dia lakukan dengan penuh rasa bangga saat Hari Raya Kurban tiba. Kami sering sekali melakukannya diam-diam bersama Kak Fina dan Johan di bawah pohon rambutan saat ayah sibuk menjadi panitia penyembelihan di masjid atau tidak ada di rumah. Ayah sering kurang suka dengan acara bakar-bakaran sate seperti itu. Beliau selalu bilang, ‘Nduk-Le! Jangan dibiasakan pesta bakar-bakaran. Daging kurban itu hak-nya fakir-miskin, sementara kita masih mampu beli. Nanti ayah belikan di pasar.’ Kami hanya bisa diam sesaat setelah ayah bersabda. Namun tidak si bungsu, yang sepertinya paling bersemangat dengan status barunya sebagai tukang sate. ‘Hoalah, Yah! Kita ‘kan dikasih sama masjid, lagian juga ndak nyuri to?! Rezeki ‘kan ndak perlu ditolak, Yah!’ Aku, kak Fina, dan Johan hanya manggut-manggut, mendukung opini dek Alan. Dan ayah melihat kami berempat dengan tatapan tajam. Sambil berlalu, beliau bilang, ‘Yowislah, anak-anakku paling pinter kalau ngeyel’. Dan kita berempat pun tersenyum. Tertawa cekikikan sambil membakar dan mengunyah daging-daging itu. Mecocolkannya ke sambel kecap. Membakarnya lagi. Dan mengunyahnya lagi.


Namun, di satu Hari Raya Kurban, ada sedikit yang berbeda dari hari raya ini dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada waktu itu ayah sakit sehingga beliau harus istirahat total di rumah. Ayah minta izin ke masjid agar tidak dijadikan panitia kurban pada tahun itu. Dan ini juga yang merubah raut muka si bungsu. Dari sejak pulang sholat ied dan setelah penyembelihan kurban di masjid, si kecil itu hanya makan sedikit dari sarapan yang telah ibu sediakan di rumah. Dia berpikir, jika ayah tidak menjadi panitia kurban, daging kurban pun pasti ‘tak datang ke rumah. Sementara itu aku dan Johan masih mengikuti kegiatan hari raya Idul Adha di sekolah kami masing-masing. Dan Kak Fina pada tahun itu belum bisa pulang kampung karena ada acara di kampusnya. Namun si kecil ini memang bisa dikatakan pantang menyerah. Seperti yang diceritakan oleh ibu. Putranya yang masih kelas 2 SD ini berlari ke masjid dengan membawa topi hitam yang sering dia gunakan bermain. Tak lama kemudian, tepatnya sesaat sebelum adzan ashar akan berkumandang, si bungsu ini telah pulang dengan membawa satu tas kresek daging kambing dan daging sapi di tas kresek satunya. Dengan bangga dia mulai membakar daging-daging yang sudah dia bentuk serupa sate dan memamerkannya pada ibu. Ibu sampai terheran-heran bagaimana si anak ingusannya bisa mendapatkan daging itu. Dan ternyata, adekku yang nakal ini, sejak siang hari telah ikut menjadi panitia kurban dadakan. Dia ikut membantu membagi-bagikan daging kurban ke para penerima daging kurban. Dengan menaiki becak bersama mas-mas masjid yang jauh lebih tua umurnya dari dia, dek Alan mulai menjelajah seluruh desa hingga ke desa tetangga. Kami sekeluarga sampai berdecak kagum atas semangatnya yang luar biasa. Si kecil Alan telah menjadi motivator dadakan bagiku. Adikku yang luar biasa.


Dan saat sore tiba, dimana aku dan Johan sampai di rumah. Sepiring sate telah siap di meja dapur dekat kompor. Si bungsu selalu pamer. Sementara itu aku dan Johan hanya bisa menepuk dadanya dan mengusap kepalanya. ‘Edan kamu, Dek! Mantep tenan!’ kata Johan sambil tertawa kagum. Dan di sore itu, kami sekeluarga makan sate khas Alan

adikku dengan penuh kebanggaan. Memang benar-benar edan.


Keluargaku...

Itu keluargaku...

Benar-benar keluarga yang aku cintai...


Tak terasa aku telah sampai di ujung lorong. Aku terhempas dan menemukan diriku berdiri di sebuah halaman yang dipenuhi tanaman hias. Bougenvile, palem-paleman, adenium, dan beragam tanaman hias lainnya. Aku mengenali tempat ini. Dan saat aku menoleh ke belakang, aku melihat bangunan dengan dinding yang masih belum di cat. Sementara di sisi lainnya aku melihat jendela-jendela yang terbuka lebar. Aku tahu apa ini. Rumahku.


Namun ada yang terasa janggal. Rumahku sepi. Sangat sepi. Aku berteriak lantang memanggil semua anggota keluargaku.


Ayah.

Ibu.

Kak Fina.

Dek Johan.

Dek Alan.


Tapi ‘tak ada seorangpun yang membalas panggilanku.


Aku mulai kebingungan. Membuka semua pintu yang ada di rumah, namun ‘tak seorang pun ada di dalam satu ruangan. Senyap. Benar-benar senyap. Akan tetapi, bukan Amal jika hanya diam. Aku berlari ke teras depan, sepi. Aku mulai berlari ke arah belakang rumah, ke arah pohon rambutan, tak ada siapa pun. Dan berakhir dengan pikiranku yang mulai putus asa.


Aku payah dan capek. Sesaat aku telah terkapar di atas sofa ruang tamu dimana ayah sering membaca koran di kursi empuk itu. Dan mendadak aku terhenyak. Luar biasa kaget saat mataku melihat sebuah bingkai foto yang tergantung di dinding di depanku. Terlihat jelas sebuah potret keluarga bahagia. Senyum yang terpancar dari setiap orang yang ada dalam bingkai itu dengan jelas memancarkan sebentuk keluarga yang harmonis. Keluarga yang lengkap. Ada ayah, ibu, dan putra-putrinya. Dan aku sadar, itu potret keluargaku.


Namun, degup jantungku serasa berhenti berdetak. Sesaat aku sesak nafas. Ada yang ganjil.

Di potret itu ada ayah, ibu, kak Fina, dek Johan, dek Alan, dan...


Dimana aku?!!!


Dimana bentuk diriku yang seharusnya menjadi anak kedua dalam potret keluarga harmonis ini?!!


Aku tidak ada...


AKU TIDAK ADA!!!

...

...

Wajahku mulai berurai air mata.

Dan sesaat setelah menyadari tidak adanya gambar diriku di dalam bingkai potret keluarga itu, aku juga merasakan hal aneh menyerang tubuhku.


Aku melihat tubuhku mulai menjadi balutan daging tembus pandang. Transparan. Dan perlahan menghilang. Awalnya kaki dan tanganku. Kemudian merambat ke seluruh tubuhku. Dan aku masih berteriak-teriak. Memanggil keras-keras semua anggota keluargaku.

Tidak bisa. Aku telah terlanjur lenyap.

...

...


‘Allahu Akbar-Allahu Akbar...’


Suara adzan subuh membuyarkan mimpi-mimpiku. Hanya istighfar dan menyeka keringat yang membasahi tubuhku yang bisa aku lakukan tepat saat jam dinding menunjukkan pukul empat pagi lebih beberapa menit. Ya Alloh, Ya Tuhanku. Mimpi yang aku alami ini begitu nyata.


Buru-buru aku beranjak dari tidurku. Mengambil air wudhu dan sholat subuh di masjid sebelah kosku. Mendoakan almrhum ayah yang telah lama bersama-Nya. Mendoakan kesehatan dan berkah kehidupan lahir-batin dunia-akhirat untuk ibu dan saudara-saudaraku. Untuk keluargaku. Untuk orang-orang yang mencintaiku.


Pagi itu aku sadar. Walau ayah telah lama tiada, aku masih bersyukur karena hingga sekarang aku masih bisa mendengar suara ibu, kak fina, dek johan, dan dek alan. Meski hanya lewat telepon.


Namun, entah sampai kapan? Aku pun ‘tak tahu. Dan yang lebih aku sadari, selama mereka masih ada, tidak ada alasan bagi kita untuk terlalu sibuk dengan urusan pribadi dan melupakan mereka. Pergunakan waktu sebaik-baiknya. Cintai keluarga kita.


Jangan sampai kita menyesal di kemudian hari.


Terima kasih.


Nb. Pagi itu aku menelepon Ibu dan Ibu hanya bilang, ‘Lha sekarang ibuk lagi sama mbakmu dan adek-adekmu lho Mas di rumah! Ayo kapan pulang? Mau dibakarin sate kambing?’


AKU SEGERA PULANG, BUNDA!

Monday, 14 March 2011

Short Message Service: Finally Love in Shortin' Life


21-01-2010 13:30

Hi Tian maaf ya br bls. Seharian ribet bgt.Aq skrg dah check out dr hotel. Aq d rmh budeku ktmuan ma pa2q.Aq sdkit stres td,aq trpksa ikut diklat koprasi mgg dpn d bali. Pntg jg si,krn slh stu syrt biar bs bkin akta koprasi.Awal’y emg niat g ikt,tp krn blm tntu taun dpn ada mk kpaksa ikt.Mana mgg dpn wkt’y gajian krywan lg.Duh puyeng. Lg apa Tian?

21-01-2010 13:36

Halah,,cakepan km kalee.Iya sih, aq akhr’y ikt.Cm berhub wkt’y brdkatan..jd ngos2an gt rs’y. Itu br sbgian fotonya.hehe. Dah mkn siang kamu?

21-01-2010 13:47

Hari rabu aq brgkt.Bslah,sbtu kan? Bsk jam5 sore aq plg.Ntr enak’y dmn ya?

21-01-2010 13:51

D sutos ato big box gmn? Bs ngbrl2.

21-01-2010 13:57

Ntr dbali ga brani aneh2,hehe.. Ok d bigbox ya,aq sering ksna jg..

21-01-2010 14:03

Baik Amal,makasi ya.Km jg,met aktivitas.. J

22-01-2010 07:17

Pagi Mal, met aktivitas ya. Sblm’y aq mnta maaf ya Mal.Smlm si Dio dah crita ke aq,kl klian dah nelpon.Tian, maaf,kl aq slm ini ga ju2r ama km blg kl aq dah jdian ama Dio.Bkn’y mau gmn gt.Aq spt itu krn slain km ga nanya,aq jg dah ngrasa nyaman ama km,tiap kali kita sms,telpon dan dsb.Aq takut kl aq blg trus trang. Km mjd beda ga spt biasa’y gitu. Maaf ya Tian,dlm hal ini aq yg salah. Sjk awal aq ga trbka. Aq msh ingin jd tmnmu.. J

22-01-2010 07:32

Iya maaf yaa,aq yg slah..ga ju2r. Bkn’y mau isengin km ato apa gt. Cm ntr kl aq blg,km jd brubah gt. Mk’y itu sbtu itu aq mnta ktmu slain buat kopi drt jg utk nge’klirin gt. Maaf ya Tian.,km anak yg baik. Maafin aq ya Tian,aq jg yg slah.Jd ruwet gini.

22-01-2010 07:42

Ntar nunggu Dio aja gmn?.Hmm dia msh d jkt sih.Ntr aq kbri lg ya.. Skali lg aq mnta maaf mal.Gr2 aq jd ribet.. J

22-01-2010 07:45

Iya,nnti jam 5.Makasi banyak ya Tian..Km emg baik banget. J take care :*

22-01-2010

Selamat siang Tian,met lunch ya J

22-01-2010 14:55

Jgn telat makan.Aq lg dperjalanan mnju bandara.Aq misah ama pa2q tdAda urusan d dep.hukum dl. Aq ntar mkn d bandara. Btw makasi ya, km msh ttp jd tmnq J

22-01-2010 15:02

Iya deh,makasi ya.Ktmu dbandara kita.Iya ntar pasti bc doa..

22-01-2010 20:11

Udaah,baru aja.Msh maem. Pas bnget sms’mu..hehe.. Lg apa Tian?

22-01-2010 20:17

Msh makan,diajak mbakku.hehe.. Iya ntr nyampe rmh lgsg mndi. Btw feelingmu kuat jg yaa..

22-01-2010 20:47

Yeah,, that’s you :*

22-01-2010 21:20

Km ga salah apa2 Tian,aq yg salah.

23-01-2010 11:03

Met pagi,met ngebengkel yaa.. J

23-01-2010 11:19

Koq tau km?hehe..ntr slasa gajiannya.Aq lg ngegym..smgg full ga latian..hr ini dgmpur hbis2an.Uda slsai ngebengkelnya?


.... short message service ....


.... short message service ....


.... short message service ....


.... calling ....


.... calling ....


.... calling ....


.... meeting ....


.... trouble ....


.... calling ....


.... calling ....


.... short message service ....


.... short message service ....


L

O

V

E...


.... It's called a sacrifice service... Just for LOVE...


Is It Wrong Being Single in 20-year-old?

Remember I wrote this essay almost three years ago, starting face my 20's birth day... And my sister read it and said, "Goshhh, Dude! It's twentieth century, how could you not get along with the girl? Or you are...." She stopped on those edge of words....


Being single is hard decision for me. Ignore everyone who mocks me everytime about my status that in 20 years old I don’t have someone yet I love and I introduce to. Or maybe show her off to everyone forced me. So difficult, I do! But if I think more and more about, it will be useless time that I hate to do. I don’t care what they said, I never thought this affair so hard, even for the first time I made it as the big problem in my life time. But, long by long, I could make my mind and my heart as well understand about the truly love will come so lovely in my life, someday, I don’t know.
To be patient person and always spread love to the others are my main job that I like to do. Just spending my time to not think my status everytime, ‘cause if we share love, it means we get love too, right? In my final conclusion, I make summary that love can come not only from someone we love or they we share and understand about our heart but also we can get it by do so simple thing, we just give love to someone we choose and wait for a moment, well get this one back to us. So incredible thing. At least I will get the girl who more or the most perfect I’ll ever find and make them feel so surprise till they can say anything. That’s my ambission or just my idealism?
Hmm… Only God the Al Mighty knows everything, I never figured this problem out before the matureness come early. For God sake! Why does it happen to me? Gimme some reason God! Or You, in the seventh sky there, can call me back through my night-dream that I always dream’n of in thousands night.


Passing days and walking the time, only with my close friends with their or our loyality we always together, is my day in my daily. Easier than we make appointment with the girl that in our status we generally as the freedom men, fell being tied out. Oh God poor us! So, which one we choose being single or fell like the odd man that always being tied and seldom feel free? I take the first one, for this time he…he…
For closing, I just wanna say that love is so simple thing but remember if you never aware about, it will make you down and the worst, you wish you would be an unseen person or being an invisible man in your life time after. So be careful!

Sunday, 13 March 2011

Adelaide Sky is like Surabaya Sky... In my view...


Siapa sangka saat keduanya bertemu di cafe itu, perasaan mereka perlahan berubah. Berubah menjadi sesuatu yang sebenarnya tak boleh ada. Obrolan yang menyenangkan ditemani secangkir coffe latte dan alunan jazzy band di sudut ruangan cafe itu, semakin menghenyakkan kebersamaan mereka yang tidak diketahui siapa pun. Tak ada kata perkenalan, karena mereka telah lama bersua, walau hanya lewat kata-kata sapa di cyber space. Tak perlu lagi saling memandang tubuh dan apa yang mereka berdua kenakan, semua telah lama terlihat saat web cam di pagi buta menyala, menyambut percakapan paling menyenangkan yang mereka buat selama berbulan-bulan.

Dan sekali lagi tak perlu lagi ada kata perpisahan, karena memang apa yang harus dipisahkan? Nothing. Dan saat pertemuan ini tiba, bukannya malah kecanggungan yang melanda, tapi seberkas harapan untun menjadi berbeda ternyata ada di sudut mata mereka. Saling membutuhkan dan menguatkan, meski mereka telah... terikat... dengan yang lain.

Namun, kenyataan pada saatnya harus dihadapi, semua cara untuk saling memiliki dengan konsep berbeda tak bisa serealistis saat kita memilih sekolah unggulan. Memiliki nilai tinggi, lulus tes, dan mendapat perhatian dengan prestasi kita, hal itu sudah cukup membuat kita menjadi siswa dengan kualitas di atas rata-rata.

Tapi ini beda, semua beda, dan akan selalu beda....

Sekian lama...

Saat salah satunya berada dalam kondisi gundah dengan jas putih yang tergantung di kursi kamar

Dan beberapa orang sibuk mengancingkan vest emas dan payet-payet yang harus disematkan di bajunya

Sesekali dia mengadahkan kepalanya, menjaga agar air matanya tidak jatuh

Tapi sedetik setelah perasaannya semakin galau, dering bunyi pesan singkat membuyarkan pikirannya

"Aku berada di tempat saat kau berkata, 'aku menunggumu di tempat yang telah kita janjikan...' dengan Adhitya Sofyan, lagu kesukaan kita, membayangkan kamu bersamaku, meneguk secangkir kopi, bersamamu... hanya bersamamu..."

Dia menangis....

Di luar hujan semakin deras

Di sore hari...

Di hari istimewa bagi mempelai perempuan, bukan dirinya...

Di sudut kota...

Di tempat yang hanya mereka yang tahu

Dia berada...

Memandang air hujan yang jatuh beriak menerpa kaca

Sesekali menyeka air matanya

Dia tabah, dia kuat, tak mungkin badan setegap dan sebidang itu tak kuat menahan kondisi ini

Namun, realita yang dia rasakan begitu asing

Dia mengaku kalah...

Dan akhirnya hanya lirik cinta yang memberikan ketegaran

Lagu mereka berdua

Di sore hari yang basah...

Basah karena cinta...

I need to know what's on your mind

These coffee cups are getting cold

Mind the people passing by

They don't know I'll be leaving soon

I'll fly away tomorrow

To far away

I'll admit a cliché

Things won't be the same without you

I'll be looking at my window seeing Adelaide sky

Would you be kind enough to remember

I'll be hearing my own foot steps under Adelaide sky

Would you be kind enough to remember me

I'll let you know what's on my mind

I wish they've made you portable

Then I'll carry you around and round

I bet you'll look good on me

I'll fly away tomorrow

It's been fun

I'll repeat the cliché

Things won't be the same without you

I'll be looking at my window seeing Adelaide sky

Would you be kind enough to remember

I'll be hearing my own foot steps under Adelaide sky

Would you be kind enough to remember me

I've been meaning to call you soon

But we're in different times

You might not be home now

Would you take a message

I'll try to stay awake

And fight your presence in my head

I'll be looking at my window seeing Adelaide sky

Would you be kind enough to remember

I'll be hearing my own foot steps under Adelaide sky

Would you be kind enough to remember me


-Saat siaran sendirian, hanya ini yang terlintas di otak saat suara Adhitya Sofyan mengalun redam di studio... September, 12 2010-