Special for your loving life...

...Do the best for our life...

Wednesday 9 December 2009

Teknik Penulisan dan Analisis Ilmiah dalam Ruang Hubungan Internasional

RELEVANSI TEORI, HUKUM, FALSIFIKASI, DAN METATEORI


Esai kali ini diawalai dengan uraian perbedaan antara teori dengan hukum. Untuk mengkajinya lebih mendalam, uraian tersebut diawali dengan ulasan singkat tentang pernyataan dari Mario Teguh yang berkata, “Jika kamu memiliki ketetapan hati, maka kamu akan menjadi orang sukses”. Dari pernyataan tersebut, kita dihadapkan pada pertanyaan apakah statement yang diutarakan oleh Mario Teguh tersebut merupakan bentuk teori yang dia ketengahkan? Kemudian bilamana perbedaannya dengan hukum? Perlu kita tahu, teori dapat dilihat sebagai keseluruhan generalisasi dan prinsip yang dikembangkan untuk satu bidang tertentu. Selain itu, teori juga adalah sebuah sistem asumsi, prinsip, dan antarhubungan yang dibuat untuk menjelaskan serangkaian fenomena tertentu. Jika ditinjau secara implisit, teori seringkali mengandung metateori dan metodologi. Namun, pada umumnya, inti dari teori adalah ide pokok yang menjelaskan makna dari sebuah fenomena tertentu.[2] Disamping itu, dari literatur lain menyebutkan bahwa teori adalah pernyataan, khususnya pernyataan dari seorang ilmuwan untuk mengungkapkan pemikiran atau idenya. Secara lebih spesifik, pernyataan itu ditujukan untuk memperjelas atau memahami serangkaian fakta dan data yang semula terkesan rumit atau bahkan tidak bermakna.[3] Pada dasarnya, teori berfungsi untuk memandu proses pemahaman hal-hal yang rumit atau seringkali bertentangan dalam fenomena yang terjadi di dunia nyata. Teori bertindak sebagai lensa yang memfokuskan atau memperbesar beberapa hal, dan pada saat yang sama menyaring hal-hal yang tidak berguna. Inilah alasan mengapa teori penting untuk digunakan karena teori mengarahkan kita untuk menentukan latar balakang, membantu menjawab rumusan masalah yang kemudian membentuk suatu hipotesis. Sehingga teori merupakan bagian terpenting dalam proses pembuatan hipotesis. Dalam hal ini, apabila dikaitkan dengan pernyataan Mario Teguh di atas, sekilas pernyataan tersebut bisa disebut sebagai teori karena didalamnya terdapat pola hubungan sistematis yang bersifat kausal, serta memberi penjelasan akan fenomena tertentu yang apabila diruntut bisa berujung dengan terbentuknya sebuah hipotesis. Ditambah lagi, kata-kata tersebut juga bersifat umum, menunjukkan konstruk abstrak, dan bersifat menggenaralisasir.[4] Namun, apabila dihubungkan dengan adanya pola-pola empiris yang merupakan satu elemen dari definisi teori, pernyataan tersebut masih belum memenuhi kriteria sebagai bentuk teori. Hal itu diperjelas dengan fakta bahwa hingga saat ini Mario Teguh belum diketahui pernah melakukan sebuah penelitian mengenai kesuksesan. Oleh karena itu, dengan tidak tercakupnya elemen empiris tersebut, pernyataan Mario Teguh diatas masih belum dapat dikatakan sebagai teori.

Bilamana perbedaannya dengan hukum? hukum adalah akal tertinggi yang ditanamkan oleh alam dalam diri manusia untuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.[5] Literatur lain menyatakan bahwa hukum dapat diartikan sebagai peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang menetukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib.[6] Dari penjelasan ini kita bisa melihat perbedaan antara teori dan hukum. Teori merupakan pernyataan dari seseorang yang digunakan sebagai alat untuk menjelaskan, memprediksi, ataupun meneliti suatu fenomena. Pernyataan yang dimunculkan bisa dipatahkan oleh teori lain tanpa perlunya ratifikasi sehingga terbentuk arena dari suatu fenomena yang pengkajiannya tidak berhenti dalam satu hasil pemikiran. Ditambah lagi teori tidak bersifat mengikat. Berbeda dengan hukum, seperti definisi sebelumnya, kita tentu tahu bahwa hukum muncul karena adanya persetujuan dari pihak-pihak berkepentingan (elite) yang dikesankan mengikat dan memiliki serangkaian tindakan sanksi saat hukum itu dilanggar. Dalam hal ini kita tahu bahwa hukum bersifat mengikat dan bisa dikatakan tidak bisa dibantah. Kalau pun bisa, pembantahan tersebut akan membutuhkan ratifikasi yang matang dalam prosesnya.


Kasus kedua adalah mengenai filsafat keilmuan yang muncul dari ’verifikasi’ Thomas Kuhn yang kemudian dikritik oleh ‘falsifikasi’ Karl Popper. Popper mengungkapkan bahwa kegiatan penelitian ilmiah bertujuan untuk membuktikan kesalahan (falsifikasi) sebuah hipotesis, bukan untuk membuktikan kebenaran hipotesis (verifikasi). Dalam ranah kelimuan, ilmu berkembang atas pendugaan dan penolakan atau secara trial dan error, dengan kata lain tujuan ilmu pengetahuan terbentuk adalah untuk memecahkan masalah dan pemecahan tersebut diwujudkan dalam bentuk teori yang bisa difalsifikasikan secara empiris. Dalam hal ini, arti teori bagi falsifikasionisme Popper merupakan hipotesis yang belum dibuktikan kesalahannya. Dengan kata lain, teori bukanlah sesuatu yang benar atau faktual, tetapi sesuatu yang belum terbukti salah.[7] Sementara itu, keterkaitannya dengan trayektori teoritik Hubungan Internasional (HI) adalah bahwa fakta itu akan memberikan peran dan masukan khusus bagi trayektori teoritik HI, dengan alasan bahwa adanya falsifikasionisme dalam tayektori ilmu ini akan dapat melahirkan teori-teori HI yang jauh lebih relevan terhadap situasi yang terjadi pada saat itu. Secara spesifik, dalam keilmuan HI, falsifikasi memberi peluang bagi terlepasnya ikatan-ikatan materialis dan kuantitatif yang dilahirkan oleh teori neorealisme dan teori-teori HI lama lainnya. Hal-hal yang selama ini dianggao given dalam ruang HI, semakin dipertanyakan kesesuaiannya dengan fakta yang ada karena dalam kenyataannya segala sesuatu bisa berubah dan relevansi dari teori yang dimunculkan pun juga butuh perombakan yang menuntut sebuah adaptasi dan asimilasi baru. Dalam hal ini, peran dari falsifikasi mulai terlihat. Dan hasilnya, kerangka pemikiran dan teoritis yang sebelumnya berada di luar area HI, mulai mampu mendobrak kelemahan teori mainstream dan mengadakan perlawanan intelektual dengan memunculkan teori-teori baru, seperti feminisme, posmodernisme, dan sebagainya.


Kajian berikutnya adalah mengenai korelasi metateori dalam perkembangannya menjadi alat analisa baru dalam berbagai disiplin ilmu, seperti antropologi, sosiologi, dan sastra. Disini, kita dituntut untuk mengetahui sejauh mana relevansinya dibandingkan teori dalam studi HI pasca Perang Dingin. Seperti apa yang telah diuraikan dalam paragraf pertama di atas, keterangan tentang fakta bahwa jika ditinjau secara implisit, teori seringkali mengandung metateori dan metodologi, hal ini berkaitan dengan adanya konsep metateori yang merupakan bagian dari studi analisis ilmiah yang sering digunakan pasca Perang Dingin. Metateori merupakan landasan filsafat dari sebuah teori yang menekankan pada serangkaian ide mendasar tentang bagaimana seharusnya sebuah fenomena tertentu dipikirkan dan dipelajari.[8] Perbedaannya dengan teori, pada esensinya ini berhubungan dengan berbagai kriteria yang yang digunakan untuk menilai poin penting dari teori. Secara lebih mendalam, metateori mengeksplorasi asumsi-asumsi mendasar dari sebuah teori dan berusaha memahami konsekuensi dari asumsi tersebut terhadap teorisasi dan riset empiris[9].Apabila dikaitkan dengan studi HI pasca Perang Dingin, maka relevansi dan fungsi dari penggunaan metateori dalam mempelajari dan menganalisis penelitian tentang keilmuan HI jauh lebih diperlukan. Hal itu terjadi karena metateori berfungsi untuk merespon segala fenomena yang terjadi dengan menekankan pada ide-ide mendasar, sehingga metateori memungkinkan membangun teori secara lebih rasional sesuai dengan keadaan, kondisi, dan situasi yang berada dalam ruang internasional. Berhubungan dengan fakta ini, dapat dilihat bahwa antara metateori dan teori tidak bisa dibedakan, karena jelas keduanya memiliki keterkaitan dan saling melengkapi dalam mengkaji fenomena yang terjadi.

Contoh Kerangka Pemikiran

Kesuksesan Konsep Welfare System dalam Ruang Ekonomi-Politik bagi Negara-negara Nordik

Jaminan kesejahteraan negara menjadi sebuah prinsip panduan untuk pembentukan sebuah kebijakan di dalam Kawasan Nordik dengan level tinggi di bidang industrialisasinya pada awal abad ke-20 hingga sekarang, yang disebut Welfare System. Dewasa ini, kelima negara Nordik, Denmark, Norwegia, Finlandia, Islandia, Swedia, serta 3 wilayah teritorinya (Faroe Island, Aland, dan Greenland) tersebut menghadapi tantangan baru dalam sebuah era globalisasi dunia yang semakin meluas. Selain itu, konsep demokrasi yang telah lama melandasi sistem politik kawasan ini, juga merupakan faktor sentral dari terkonsepnya Welfare System selama bertahun-tahun negara-negara anggota Nordik berkecimpung dalam laju peningkatan ekonomi dan kestabilan politik dan keamanan yang hampir tidak pernah jatuh. Ancaman paling besar untuk demokratisasi datang setelahnya, dari sebuah ketidaknyamanan dengan adanya sistem parlemen yang rumit yang telah menghasilkan sebuah perpecahan dari sebuah pemerintahan minoritas jangka pendek, dan juga dari jatuhnya sistem sosial masyarakat yang diikuti dengan munculnya Depresi Besar di awal tahun 1930-an. Semua negara Nordik mencapai krisis pelunasan hutang yang hampir sama Namun, dalam beberapa tahun berikutnya, kerjasama dalam bidang labour market mengalami peningkatan melalui sebuah seri-seri persetujuan bersejarah antara persatuan perdagangan dan asosiai pekerja. Kondisi palaing menghebohkan adalah adanya persetujuan Saltsjobad di Swedia pada tahun 1938. Iklim baru kerjasama ini juga membuktikan suburnya perkembangan dari kemakmuran sebuah negara. Ditambah lagi dengan munculnya yayasan-yayasan selama tahun 1930-an, dengan skema dana pensiun, pensiun kecacatan, asuransi ketenagakerjaan, perlinduingan ibu dan anak, dan sebagainya. Setelah PD II, lingkup dari perlengkapan kesejahteraan secara signifikan meluas dan negara-negara Nordik mulai menjadi model dari format kemakmuran suatu negara-satu diantaranya mencabut pajak tinggi dan sebagainya.

Dalam kasus tersebut, hipotesis yang saya kemukakan adalah mengenai terkonsepnya sistem demokrasi yang cocok yang melibatkan kondisi politik internal suatu negara dan politik internal dalam ruang kawasan Nordik, telah menciptakan kondisi ekonomi dengan kesejahteraan yang merata bagi semua penduduknya, yaitu dengan adanya format Welfare System yang stabil di kawasan tersebut. Teori yang digunakan untuk mengetengahkan kondisi ini adalah teori regionalisme yang cakupan kajian studinya lebih mengarah kepada uraian tentang kawasan dan aspek-aspek apa saja yang berkecimpung di dalamnya. Selain itu, kajian studi geopolitik dan geostrategic yang menelaah tentang aspek geografi dalam konteks perpolitikan pun juga digunakan sebagai landasan uraian lebih lanjut tentang konsep Welfare System yang ada di dalam kawasan Nordik.


Referensi.

Bates, M.J. ed. K.E. Fisher, S. Erdelez & L. McKechnie, An Introduction to Metatheories, Theories, and Models dalam Theories of Information Behavior, Asist Monograph Series, Medford, N.J : Information Today Inc., 2005

Durbin, P. T., Dictionary of Concepts in the Philosophy of Science, New York : Greenwood Press, 1988

Corbetta, Piergiorgio, Social Research: Theory, Methods, and Techniques,

Cicerco, Tullius, De Legibus,.

Simorangkir, J.C.T., SH & Sastropranoto, Woerjono, SH

Taryadi, Alfonso, Epistemolgi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper, Gramedia, Jakarta, 1989.

Oxford University Press, Online Resource Center, Chapter 01,http://www.oup.com/uk/orc/bin/9780199298334/01student/guide/ch01/, (diakses 16 Oktober 2009)




[1] Mahasiswa jurusan Ilmu Hubungan Internasional Unair Surabaya dengan nomor NIM 070710437

[2] M.J Bates ed. K.E. Fisher, S. Erdelez & L. McKechnie, An Introduction to Metatheories, Theories, and Models dalam Theories of Information Behavior, Asist Monograph Series, Medford, N.J : Information Today Inc., 2005, hal. 1 – 24.

[3] P. T. Durbin, Dictionary of Concepts in the Philosophy of Science, New York : Greenwood Press, 1988

[4] Piergiorgio Corbetta, ,Social Research: Theory, Methods, and Techniques,

[5] Tullius Cicerco, De Legibus,.

[6] J.C.T. Simorangkir, SH dan Woerjono Sastropranoto, SH

[7] Alfons Taryadi, Epistemolgi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper, Gramedia, Jakarta, 1989.

[8] M. J Bates, “An introduction to Meta-theories, Theories and Models”, 2005 dalam S. Erdelez, et al, Theories of Information Behavior, Information Today Inc, New York.

[9] Oxford University Press, Online Resource Center, Chapter 01,http://www.oup.com/uk/orc/bin/9780199298334/01student/guide/ch01/, diakses 18 Oktober 2009.

No comments:

Post a Comment