Special for your loving life...

...Do the best for our life...

Sunday 20 February 2011

Understanding Conflict Theory and The Deep-Rooted Conflict

Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan seringkali bersifat kreatif, dimana hal ini terjadi ketika tujuan antara satu manusia dengan manusia lainnya tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya diselesaikan tanpa kekerasan dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semu pihak yang terlibat. Karena itu konflik tetap berguna, apalagi konflik memang merupakan bagian dari keberadaan manusia baik secara individu maupun kelompok. Karena konflik adalah sebuah realitas sosial yang selalu ada, maka sesungguhnya konflik itu dibutuhkan. Salah satu manfaatnya adalah pada saat konflik yang menyeret beberapa aktor untuk terlibat di dalamnya, maka hal ini membuat aktor-aktor tersebut menyadari bahwa terdapat sejumlah masalah, dan dengan demikian mendorong mereka untuk mengarah ke berbagai perubahan yang diperlukan. Bisa juga digunakan untuk memperbaiki solusi, menumbuhkan semangat, dan sebagainya. Dari fakta ini, dapat kita ambil bagian yang paling penting, yaitu bagaimana mempertahankan aspek-aspek positif yang bermanfaat bagi kehidupan manusia atau aktor yang terlibat di dalam konflik tersebut. Hal ini sama seperti apa yang diutarakan oleh Peter Harris dan Ben Reilly (1998: 32-3), yang mengungkapkan bahwa konflik adalah salah satu dari faktor positif yang paling kuat untuk perubahan di dalam suatu masyarakat.

Sementara itu, dari segi istilahnya, meski pengertian umum konflik mengandung unsur kompetisi, tetapi konflik menyiratkan pengertian yang lebih dari sekedar kompetisi. Jika kompetisi berprinsip saling mengungguli prestasi dan tidak bertujuan menghancurkan pihak lawan, tetapi kompetisi akannberubah secara perlahan menjadi sebuah konflik saat pihak-pihak yang trlibat mulai berupaya memperluas posisi terhadap posisi lawan yang dimaksudkan untuk menghalangi lawan dalam mencapai maksud dan tujuannya. Dari fakta yang ada, pada tahun 1960, seorang sosiolog bernama Johan Galtung mengemukakan sebuah model yang berpengaruh terhadap bagaimana melihat konflik. Dia berargumen, bahwa konflik dipandang sebagai sebuah segitiga konflik yang masing-masing sudutnya mewakili tiga hal, yaitu kontradiksi, sikap, dan perilaku. Argumen Galtung menguraikan fakta bahwa suatu konflik yang utuh diwarnai kehadiran bersama ketiga komponen ini. Dan selanjutnya dia melihat konflik sebagai suatu proses yang dinamis ditandai oleh perubahan yang konstan dan saling mempengaruhi pada struktur, sikap, dan perilaku.

Dalam perkembangannya, muncul pandangan yang berangkat dari asumsi bahwa dengan lebih merujuk pada sebab-sebab konflik, maka dalam jangka panjan struktur hubungan dari pihak-pihak yang bertikai dapat diperbaharui sehingga konflik dapat diselesaikan. Pandangan ini lah yang disebut dengan resolusi konflik. Resolusi konflik dapat dipahami sebagai berbagai upaya, baik yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bertikai maupun oleh pihak-pihak lain yang ditujukan untuk mengakhiri konflik. Dan di dalam konsep ini muncul istilah resolusi konflik yang terwujud ke dalam dua pola, yaitu zero-sum game (kalah-menang) dan non-zero sum game (menang-menang). Dan dalam kaitannya dengan resolusi konflik, konsep non-zero sum game lebih bisa menjembatani resolusi konflik ini. Prinsip pendekatan ini adalah untuk mencapai resolusi dengan sebuah pendekatan-pendekatan untuk mencapai hasil dengan sedikit akibat negatif yang ditimbulkan serta memiliki waktu jangka panjang. Penyelesaian, atau yang bisa dikenal dengan conflict management ini, seringkali juga dikatakan model yang ideal untuk memanage konflik dengan sistem yang komprehensif. Dengan kata lain bisa mencegah terwujudnya deep-rooted conflict yang bisa menjadi konflik laten bagi beberapa pihak yang terkait di dalamnya.

Referensi

Harris, Peter & Ben Reilly, Democracy and Deep-Rooted Conflict: Options for Negotiators, Stocholm: IDEA, 1998, h. 32-3

Galtung, Johan, “Conflict as a way of life”, dalam H. Freeman, ed., Progress in Mental Health, London: Churchil, 1969

No comments:

Post a Comment