Special for your loving life...

...Do the best for our life...

Sunday 20 February 2011

State Formation: You, The State and The Future of State Building

Pada tataran selanjutnya, salah satau aksi lanjutan dari resolusi konflik adalah untuk membentuk suatu aksi yang berujung pada orientasi kebijakan state building. Dan ini juga merupakan tantangan lanjutan yang dijalankan oleh suatu negara pasca berkonflik. Fase yang disebut sebagai fase state building ini menggambarkan tentang bagaimana negara berusaha bangkit dari keterpurukannya. Keadaan negara pasca konflik merupakan keadaan no government atau tidak ada pemerintahan. Dengan tidak adanya kepercayaan secara penuh oleh rakyat terhadap pemerintah, hal ini mendorong pihak internasional (PBB) untuk ikut ambil andil dalam usaha untuk membangun kembali suatu negara yang telah hancur pasca konflik. Keadaan tidak ada pemerintahan ini harus segera diakhiri dengan membentuk pemerintahan yang baru. Pemerintahan yang baru inilah yang akan menentukan masa depan negara selanjutnya.

Dari beberapa sumber hubungan internasional yang ada, state building seringkali dimengerti sebagai upaya institusional dari sebuah pemerintahan atau negara dalam mengembalikan vitalitas (revitalisasi) kedaulatan negara sehingga tata kelola masyarakat dapat sinergis dengan tujuan nasional. Dalam konteks resolusi konflik global, state building adalah tahapan post-settlement resolution yang mengandalkan pembangunan institusi vital negara yang berpengaruh signifikan terhadap stabilitas negara tersebut. Sementara itu, di sisi lain Fukuyama berpendapat bahwa state building bukan saja sebagai tahapan resolusi konflik, namun lebih merupakan usaha negara untuk membentuk long-lasting stability, baik dalam aspek ekonomi dan politik. Pentingnya state building adalah determinasi suatu negara untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi. Namun, permasalahan muncul, khususnya ketika kebijakan pemerintah menghadapi dilema kebijakan, yaitu antara kebijakan yang berorientasi ke politik dan kebijakan yang berorientasi ke ekonomi. Dan ini memunculkan dilema bagi pemerintah.

Satu kasus yang merujuk pada pembentukan aksi state building adalah kasus yang terjadi Irak pasca invasi Amerika Serikat ke negara tersebut. Invasi Amerika dan sekutunya pada tanggal 20 Maret 2003 ke Irak telah menurunkan Sadam Hussein dari pemerintahan. Setelah robohnya pemerintahan Sadam, bukan berarti masalah disana selesai, masalah yang dihadapi kemudian adalah bagaimana dan siapa yang kemudian akan mengisi kekosongan pemerintahan sesudahnya. State building di Irak sepertinya akan mengalami banyak kendala jika ditinjau dari segi legitimasi pemerintahan yang berkuasa di antara suku-suku yang sering terlibat disintegrasi. Dari perkembangan situasi yang berlangsung di sana, banyak pengamat yang berpendapat bahwa Irak pasca Saddam akan selalu dibayangi oleh Amerika sebagai negara yang telah menginvasi Irak. Keadaan tersebut membuat keamanan di Irak semakin tidak menentu dari hari ke hari. Perlawanan demi perlawanan dilakukan oleh sebagai suatu penolakan terhadap keberadaan militer AS dan sekutunya di Irak. Masalah lain yang juga kemudian menghambat proses state building di Irak adalah masalah komposisi penduduk Irak yang sifatnya heterogen. Integrasi pasca konflik dirasa sangat sulit untuk diwujudkan. Banyaknya suku disana, juga berpotensi menimbulkan konflik baru. Dari kenyataan ini, dapat dikatakan bahwa tidak semua intervensi yang dilakukan pihak administrasi internasional dalam usahanya memulihkan suatu negara pasca konflik akan berhasil dalam kenyataannya.

Referensi.

Fukuyama, Francis. 2004. “The Imperative of State-Building”, dalam Journal of Democracy, Vol. 15, No. 2.

No comments:

Post a Comment