Cinta semestinya anugerah yang terindah
Bahagialah bila kau rasa...
Dan cinta mungkin saja buat kita merasa melayang bersama bintang di angkasa
Bila malam tiba, cinta datang menyapa, buka hati sepenuh jiwa
Dan biarkanlah ia, buat kita sempurna
Siramlah cintamu biarkan berbunga
Mengertilah, percayalah, cinta ‘kan membuat jiwa s’makin bermakna
Dan yakinlah, pastikanlah, hidupmu ‘kan menjadi lebih berwarna
Saat cinta menyapa...
Saat kau merasa, asamu telah sirna, hidupmu terasa semakin menyiksa
Siarkanlah cinta, buatmu percaya,
Mengerti akan, akan artinya,
Arti kata bahagia...
‘Arti Cinta’
By Joeniar Arief feat. Vitha Octrieana
Pemuda itu terlihat terburu-buru merapikan file-file kantornya. Menuliskan sesuatu di atas secarik kertas dan sekejap meletakkan gagang head-set di ujung tiang microfon yang ada di hadapannya. Sesekali dia melihat jam tangan perak yang melingkar di pergelangan tangannya sambil mengernyitkan dahi. Berpikir bahwa dia telah melakukan tindakan yang salah. Tapi ini berbeda. Bukan seperti itu. Pikirnya dalam hati. Dia harus cepat dan minta maaf kepadanya. Dia terlambat melangkahkan kakinya untuk menemui dia. Dia yang datang dari jauh.
Ya Tuhan, kenapa waktu berjalan sedemikan cepat?
Dia menunggunya...
Dia membelenggukan diri dalam kontraksi waktu yang mengikat
Untuk dia...
Dirapikannya kemeja hitam yang melekat di badannya yang bidang dengan otot-otot yang menonjol hasil gempuran latihan angkat beban selama bertahun-tahun. Parfum Bvlgari pun tak lepas dari wangi yang menghinggap di belantara kulitnya yang putih dan mulus. Dia lelaki, tapi dia begitu tampan. Tidak, dia lelaki yang cantik. Ujarnya dalam hati.
Dia, lelaki yang memuja keindahan seperti dirinya...
Memaknai sebuah keindahan dengan cinta...
Meskipun begitu, dia masih terlihat gugup. Begitu banyak pertanyaan yang muncul saat dia bertemu dia. Apakah dia orang yang tepat? Apa yang harus mereka bicarakan? Bagaimana jika pertemuan ini tidak sesuai harapannya? Bilamana jika dia salah tingkah dan membuat semuanya kacau? Dia menggila. Dia semakin gundah, namun dia harus bertemu dia. Dia ada di sini. Di kota ini. Dia semakin mempercepat langkahnya. Tak perlu lama lagi menunggu waktu.
Kenapa dia?
“Aku datang untukmu...”
Pesan singkat yang tertulis di ponselnya pun masih terbaca dengan jelas. Dilihatnya pesan itu untuk kesekian kalinya sambil memakaikan sepatu di kakinya. Sepatunya terasa sempit. Ataukah hatinya yang menyempit dengan pikiran buruk namun diinginkannya?
“Aku sudah di sini. Di tempat yang kita janjikan. Aku menunggumu. Sendiri. Duduk di samping jendela.” :*
Kerisauan semakin tak terhindarkan. Perlahan dia berlari. Menyabet tas ransel hitamnya dengan paksa. Dia harus menemuinya. Harus. Dia menunggu pertemuan ini terjadi. Akhir yang indah, pikirnya. Namun dia tak tahu apa yang terjadi. Benar. Saat cinta menyapa, semuanya memang terasa aneh. Ayunan langkahnya yang cepat dan gesit telah merobohkan hembusan angin yang menerpa saat pintu keluar terdobrak. Hatinya bergelora. Pintu terbuka. Mengumpatkan sesuatu yang sebelumnya tak bisa terucap dari bibir hatinya. Serasa ngilu di sekujur tubuh indahnya. Namun nikmat memeka. Ini yang dia tunggu. Dia menunggunya. Dan sekali lagi dia berkata...
“Aku datang untukmu...”
Langkahnya semakin cepat di jalur trotoar. Cafe itu berada di depan kantornya. Namun, kenapa jaraknya makin jauh? Apalagi dengan gelombang kendaraan yang berlalu-lalang saat jam makan siang. Telah menghalangi hentakan kakinya. Dia tak kuasa menghindari ini semua. Halangan ini jangan sampai menggagalkan kisah yang diinginkannya untuk menjadi kenyataan.
Tiba-tiba deru kakinya terhenti. Dia mendongakkan kepalanya ke atas. Melihat jembatan penyeberangan yang melintang di atas aliran kendaraan yang mengganas di sungai aspal. Penuh kuasa. Namun, perlahan dia menunduk. Dia berpikir.
“Tak butuh banyak waktu. Aku segera ada untukmu...”
Diabaikannya kemegahan jembatan itu. Dia menerobos luapan asap jalanan. Menghindari mobil. Merentangkan tangannya untuk menghalau sepeda motor dan angkutan kota khas kota besar.
“Goblok! Jangan menyeberang di jalan. Ada jembatan di atas kepalamu. Sadarlah!”
Umpatan itu terlontar dari bibir seorang pengguna jalan dengan nada keras dan mencaci. Dia mendengarnya. Tapi dia menutup telinganya dengan hati. Tak diindahkannya semua itu.
“Apa pun kulakukan untuk menemuimu... Apapun...”
Di tempat lain. Seonggok manusia terduduk diam di atas sebuah sofa warna krem. Seorang lelaki berkaos biru dengan kerah V. Kulitnya yang kecoklatan namun bersih mengkilat. Mukanya dipenuhi rambut-rambut tipis. Khas kejantanan dari Amerika Latin. Ditambah dengan tubuhnya yang maskulin dan terlihat atletis, tak urung menjadi perhatian beberapa pengunjung cafe itu. Bahkan pelayan-pelayan yang berbaur dengan pekerjaan mereka, tak kuasa menolehkan dan menajamkan matanya hanya untuk melihat guratan yang diciptakan Tuhan di badannya.
Lelaki itu. Sesekali dia melihat ke arah jendela kaca di sampingnya. Memastikan bahwa dia di tempat yang tepat. Jari-jarinya sedikit bergetar. Jantungnya berdegup kencang. Keringatnya keluar meski ruangan itu ber-AC. Alih-alih dia memesan sesuatu, daftar menu makanan yang telah diberikan oleh seorang pelayan cafe beberapa menit yang lalu pun hanya tergeletak mati di hadapannya. Tak terjamah. Tak tersentuh sama sekali.
“Dimana dia? Dia datang ‘kan? Aku menunggumu...”
Saat dia melihat kaca untuk kesekian kalinya. Matanya membelalak. Sedetik kemudian bibirnya menyunggingkan senyum paling indah miliknya. Dia merasa kesejukan mulai menyelimuti kulitnya yang kecoklatan. Bunga lily putih bermekaran di sekelilingnya. Iya, dia menggandrungi lily putih itu. Bunga itu sedang bergulat dan berlari menerobos rentetan asap jalanan di luar sana.
“Dia menepati janjinya untuk menemuiku. Dia ada. Tidak. Dia hampir ada untukku.”
Sekonyong-konyong, dia melakukan kesibukan tak terencana. Ini konyol. Pikirnya. Dia mulai memegang dan mengotak-atik ponselnya, hanya untuk membenahi suasana yang tak jelas. Merapikan letak jam tangannya secara paksa. Dan berujung dengan dijamahnya daftar menu makanan yang sejak tadi tergeletak tak bergerak. Dia mulai menulis sesuatu di atas secarik kertas menu itu.
“Aku pesan sepiring pertemuan. Segelas cinta. Semangkok asmara. Dan sebotol kasih.”
Di pelataran yang panas menyengat, pemuda yang berlari itu akhirnya sampai di pintu gerbang cafe. Dia mulai membuka pintu. Dan dalam se per sekian detik gelora udara yang dingin mulai merontokkan kisi-kisi hawa panas dari luar. Dia menghela nafas. Tapi ini harus cepat. Dia masih di sini. Dia dan dia harus memakai kesempatan yang diberikan oleh keganasan penakluk waktu. Harus.
Langkah kakinya semakin diburu waktu. Dia menaiki tangga layaknya menjangan dikejar singa. Dia mangsa dan mengharapkan untuk dimangsa. Oleh cinta. Dia bersemangat, tapi terlihat jelas raut mukanya menggambarkan sebuah keraguan. Keraguan terhadap apa yang akan dilihatnya. Dia lah...
“Apakah benar dia?”
Kepalanya menoleh ke setiap sudut ruangan itu. Tak sesenti pun terlewat. Perhatiannya hanya terfokus pada seseorang yang duduk di dekat jendela.
Jendela hatinya.
Pupil matanya tiba-tiba membesar. Dia melihat sesuatu yang diinginkan hatinya. Sesosok manusia duduk tenang, menunduk, dan di dekapan jemarinya terapit sebuah pensil. Dia masih menunduk. Waktu perlahan menuntun langkah kakinya untuk mendekati sesosok manusia itu. Dia berkaos biru. Badannya terlihat matang dan penuh dengan kuasa seorang pria sejati. Pasti banyak wanita yang mendambakannya. Bahkan pria di dunia ini. Yang tentu mengenalnya seperti dia mengenal dia.
Sedetik tak terasa...
Dia berucap dengan kata yang menghenyakkan lelaki itu dari kesibukan hasil buatannya.
“Hai Mas...” salam pemuda itu. (Wahai denyut jantungku...)
“Hai Dek! Ayo duduk...” jawab lelaki itu. (Engkau datang! Bersandarlah di tubuhku...)
Kenapa hanya ‘hai’ yang terucap? Bukan ini! Seharusnya tidak seperti ini.
Mata mereka bertatapan. Saling pandang. Jika waktu bisa berhenti. Biarkan mereka saling memancarkan pesonanya satu sama lain. Pancaran mata tak bisa dibohongi. Dia meradang. Dia teradang. Sungguh ini nyata. Dan guratan senyuman pun mulai nampak. Samar-samar tapi pasti terjadi.
“Maaf! Membuatmu menunggu lama, Mas!” (Biarkan waktu terhenti! Ku mohon! Biarkan mata pendosaku ini bisa melihat surga itu. Di wajahmu...)
“Tidak, Dek! Tidak apa-apa. Waktuku banyak untukmu.” (Seumur hidupku jika engkau menginginkannya. Ku berikan!)
Mereka bersalaman. Pertemuan antara kulit dan kulit. Ini nyata. Keduanya bersentuhan. Aliran darah dari sekujur tubuh sepertinya hanya bermuara di satu titik. Telapak tangan. Biarkanlah ini terjadi. Relakan setiap senti dari hamparan pori-pori kulit itu menyatu dalam sebuah genggaman yang menyatukan denyut nadi dalam intonasi dan tangga nada yang sama. Bebaskan helai kulit ari mereka menempel layaknya lem kanji yang telah lama diaduk. Kuat dan erat. Dan ini terjadi. Bukan kepalsuan.
“Apa kabar, Mas?”
“Baik sekali. Kamu? Sudah selesaikah pekerjaanmu?”
“Baik juga. Sudah selesai semuanya. Dan aku sekarang di sini. Kamu?”
“Sama. Sejam lalu aku baru saja bertemu klienku di kota ini. Dan sekarang aku di sini. Bersamamu.”
“Akhirnya kita bertemu ya Mas...” (Akhirnya kilatan cahaya itu bisa aku lihat dari matamu...)
“Ya. Akhirnya...” (Akhirnya hembusan angin itu terasa nyata lewat nafas kata-katamu...)
“Kamu pesen gih! Aku sudah.” ucapnya lirih.
“Iya Mas!” balasnya sambil membuka daftar menu dan menuliskan pesanannya di atas sehelai kertas.
“Aku pesan seraut harapan. Secangkir pesonanya. Dan sesendok aura. Aku memesan dia untukku.”
Semenit kemudian di menyerahkan kertas itu ke lelaki di hadapannya.
“Mbak! Ini pesanan kita.” (Menu hatiku untuk jiwa yang kita punya... Mengertilah!)
“Oke! Satu Kwetiau Goreng, satu Nasi Cumi Lada Hitam, satu es teh tawar, dan dua air meneral! Baiklah! Tolong ditunggu ya!” kata seorang pelayan yang tiba-tiba muncul entah dari mana.
Bukan makanan itu. Bukan minuman ini. Tapi ada harapan lain yang dia dan dia inginkan. Semua bisa dialihkan, tapi apa daya saat waktu memberikan jalannya. Semua hasrat ini bisa terwujud. Pertemuan ini.
Dua bulan yang lama itu sekarang telah meluruh menyisakan sebuah pertemuan manis. Pesan singkat yang terkirim bertubi-tubi setiap harinya, telah merobekkan jala yang menghalangi sebuah tatapan langsung dengan makna yang terjuntai tanpa henti. Mereka bertatapan. Terkadang kekakuan bisa dilenturkan hanya dengan sebuah tatapan yang meneduhkan. Hingar bingar manusia lain tak tergubris. Dunia semakin kecil. Waktu terasa berhenti. Lagi dan lagi. Hanyutan tawa kecil dan nada yang membuat telinga tak bisa berhenti mendengar seakan membawa sebuah asa. Dia ada karena dia datang. Datang menemui dia dengan lantunan nada yang tak terdengar namun terbisik di hati masing-masing.
Letupan janji-janji pertemuan itu telah menjadi sebuah ledakan yang membahana dalam ruang kecil mereka. Milik mereka sendiri. Sang pelayan yang mengantarkan pesanan mereka pun hanya dianggap sebagai sebongkah boneka yang tak bisa menghalagi rangkaian kata yang mengalir dan rengkuhan mata yang membisu namun memaknakan sebuah pusara dunia dimana mereka tak tahu apa itu. Dan dari mana itu.
Pekerjaan, keluarga, teman, kuliah, karir, dan perbincangan lainnya terlantun dengan tenang. Dentingan sendok di atas piring dan gelas kaca, seakan bertindak sebagai sebuah instrumen musik yang mengiringi alur nada percakapan mereka. Begitu indah, dan hanya mereka yang tahu lirik lagu itu. Waktu, tetaplah begini. Jangan bergerak saat dia menginginkan semuanya berjalan dalam genggamannya. Pertemuan ini mempercantik dunia mereka. Menggetarkan pori-pori hati dan jantung mereka dengan sapuan nuansa gelombang yang tak mereka mengerti. Apapun itu.
Pemuda itu tersenyum...
Lelaki itu tertawa...
Dia terdiam, memperhatikan...
Matanya tak pernah terlepas dari sorotan itu...
Berkata...
Berbicara...
Bercerita...
Berpusara untuk kesekian kalinya...
Dalam rotasi perasaan yang tak jelas
Teralami oleh dia dan dia...
amal rek....gaya iki...
ReplyDeleteeh namaku taruhen di blogroll mu po`o...
namamu dah tak taruh blogroll ku nie..
:)
Dapatkan Panduan Bina Otot Badan Untuk Lelaki Agar Anda Kelihatan Lebih Macho Dan Kacak....Jangan Segan2.....Milikilah Badan Impian Anda Disini....
ReplyDelete