Special for your loving life...

...Do the best for our life...

Wednesday 18 August 2010

Minor Atas Nama Perbedaan

Saat manusia terhubung satu sama lain, itu lah tanda dimana perbedaan mulai mencuat ke permukaan. Tak ada sesuatu yang sama dalam kehidupan ini. Mereka yang kembar identik pun memiliki beberapa sisi yang mungkin kasat mata dan di situ lah nilai perbedaannya. Perbedaan dari apa yang dimiliki manusia merupakan performa mereka dalam meneguhkan eksistensinya sebagai manusia. Manusia dengan latar belakang yang berbeda dan menciptakan sesuatu yang berbeda pula. Dari sini kita bisa mengambil benang merah bahwa perbedaan membuat manusia semakin paham akan keberadaan alam yang harus dibentuk dengan sebuah titik balik perbedaan itu sendiri. Melengkungnya pelangi di langit setelah hujan reda, tak akan disebut pelangi kalau warnanya sama. Tubuh kita juga akan melemah dan mati saat makanan yang kita asup hanya satu nutrisi saja. Di situ lah kita mengenal kekuasaan Tuhan yang bisa menciptakan perbedaan sehingga menjadi sebuah komposisi terlegalitas tanpa dusta bagi ciptaan-Nya sendiri. Satu kalimat: Kita tak bisa memungkiri itu. Lantas, di kala perbedaan menjadi suatu bumerang bagi manusia sendiri untuk menegaskan, sekali lagi, menegaskan dirinya sebagai khalifah di dunia. Haruskan konsep perbedaan yang disalahkan? Bukannya manusia memiliki egoisitas dan ideosinkretis yang berbeda, hingga mereka paham mereka memiliki itu untuk menciptakan sebuah perbedaan. Sesekali boleh lah kita mengatakan perbedaan itu membawa noktah hitam, tapi akankah noktah itu akan peka di tempatnya? Tidak, tentu tidak. Semua bisa dihapus dengan perbedaan yang dibentuk manusia sendiri. Kaya-miskin, rupawan-jelek, normal-cacat, dan sebagainya. Semua itu adalah warna. Warna-warna yang bisa disinkronisasikan menjadi sebuah rajutan nada indah itu sendiri. Sesuatu yang menggambarkan bahwa kita sebagai manusia bisa merasa bangga karena bisa merasakan dan memahami warna-warna tersebut yang merupakan bagian dari relasi kita dengan alam. Bahkan dibanding makhluk lain ciptaan-Nya. Suatu malam, sahabat saya berkata: "Jika Tuhan saja menciptakan begitu banyak perbedaan hingga indera kita tidak bisa mendeskripsikan semuanya, lantas kenapa manusia berusaha untuk menyamakan perbedaan dengan menghancurkan dan meminoritaskan perbedaan lainnya?" Tolong lihat dan rasakan dalam hati kita...

Setitik Surga... Darimu, Ma...

Aku tak pernah bisa membayangkan saat keikhlasanmu menerimaku hidup dalam rahimmu
Meridhoi aku menendang perutmu sewaktu-waktu hingga saat kau terlelap karena letih membawaku setiap waktu
Berkali membisikkan kata cinta dan mimpimu saat aku kelak bisa melihat dunia
Berucap doa dan harapan akan hidupku menjadi belahan jiwamu
Melindungiku, menghiasi langkahku, dan memberikan yang terbaik untuk ruas hidupku nanti
Sembilan bulan...
Dan tepat 25 Juni...
Saat senja mulai nampak...
Kamu memaksakan senyum saat rintihan kesakitan mengambil alih tubuhmu
Tersenyum untuk kerjap awal mataku...
Tersenyum untuk riuh suara pertamaku...
Tersenyum untuk hentakan hidup seonggok daging bernyawa dari rahimmu...
Tersenyum untuk laki-laki di sampingmu yang bangga dipanggil 'ayah'...
Dan tersenyum untuk semua orang yang merasa kamu adalah anak, menantu, kakak, adik, dan istri yang sempurna
Dan itu semua dibalik kesakitanmu...

Ayunan langkahmu mengiringi hidupku
Kenakalanku, bandelnya aku, sampai kedurhakaanku, hanya kau balas dengan air mata yang kau sembunyikan di balik mukena saat kau bersimpuh di hadapan-Nya...
Menuduh dirimu sendiri bahwa kau gagal mendidikku...
Itu salah, Ma!
Tidak benar!
Harusnya aku yang beringsut sembap di kakimu
Bukannya aku malah berteriak dan kabur dari rumah dengan debaman pintu yang ku banting...
Aku berdosa, Ma!
Aku durhaka!

Tapi semua itu lenyap saat aku pulang
Tak ada dendam, tak ada murka, hanya ada kata, 'Ayo maem dulu, gih! Setelah itu mandi!'
Dan aku...
Hanya cemberut, masih menuntut keegoisanku...

Empat anak dan suamimu...
Semua mendapat porsi cintamu
Membuatku yakin engkau surga cinta di hidupku
Engkau sang mahadaya cinta lewat telapak kakimu
Cintamu tak berkurang saat penopang hidupmu meninggalkanmu
Saat kekasihmu harus menghadap-Nya lebih dulu
Saat orang-orang mulai berpikir kau rapuh saat kehilangan segalanya...

Tapi tidak!
Wanita tangguh yang pernah menjadi bunga desa itu telah berubah menjadi burung rajawali
Siap melindungi anak-anaknya dengan kecantikan yang dimilikinya
Bisa menggenggam dunia dan membuktikan pada mereka bahwa single parents tak selalu kurang
Bahwa janda tak selalu hina
Engkau yang kusebut Mamaku, Pahlawanku!

Dan sekarang,
Saat impianku mulai terwujud
Hidupku mulai sedikit tertata rapi sesuai impianku
Anak-anakmu mulai melepas anak panahnya ke langit
Mencari arah hidup mereka masing-masing
Sang rajawali masih di pohon yang sama
Masih berkutat dengan hidup dan jiwa yang dia perjuangkan untuk belahan-belahan hatinya

Tapi tak pernah terkira di pikirku, Ma!
Telpon tadi siang...
Kau berkata lirih di ujung telepon berkilo-kilo meter dari duniaku
"Mama nggak apa-apa, Mas! Cuma pusing... Selamat berpuasa ya, Sayang..."
Dan tiba-tiba adek menelponku
"Mas, mama sakit typhus..."

Hancur duniaku...
Luluh lantak surgaku...
Mati jiwaku...

Kenapa kamu masih tega membohongiku saat dirimu terkulai lemah?
Mengapa kau berdusta saat kebisuan hatimu tertutup dengan dalih menutupi kekhawatiranku?
Apakah yang kau sembunyikan dariku, Ma?

Dan kau hanya berkata,
"Udah, ndak apa-apa, Sayang..."

Kau berbohong lagi...
Demi cinta abadimu padaku
Tak heran jika surga benar-benar ada padamu...
Kau sanggup menggerakkan ridho Tuhan padaku...
Kau memiliki yang tak dimiliki manusia lain...

Aku mencintaimu, Ma...

Tersenyumlah untukku...